Kebijakan MBKM dan Pelaksanaan Ferienjob di Jerman

0
37
Foto: Oklan Ferienjob Program in Germany. Dok. Tempo

Pada 28 Maret lalu, Menko Polhukam Hadi Tjahjanto telah membentuk tim terkait dengan penanganan dugaan kasus Tidak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok magang (ferienjob) ke Jerman.

Dilaporkan bahwa program ini telah diikuti oleh 1047 mahasiswa yang berasal dari 33 perguruan tinggi, dan menjadi korban dari tindak pidana kejahatan lintas negara ini. Pihak kepolisian bahkan telah menetapkan lima orang tersangka, dua di Jerman dan tiga di Indonesia. Para tersangka dijerat dengan UU Perlindungan TPPO (pasal 4) dan UU No 17 Tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia dengan ancaman pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling banyak Rp 15 miliar (pasal 81).

Menanggapi kasus ini, pihak Migrant Watch sebagai organisasi independen mitra PBB dalam penanganan masalah-masalah buruh migram telah mengecam pernyataan pihak kepolisian Indonesia bahwa Program Ferienjob di Jerman diduga sebagai TPPO. Migrant Watch menilai pihak kepolisian salah memahami program tersebut. Bahkan dinyatakan: “Kok begitu entengnya kepolisian menyeret kasus mahasiswa yang ikut program Ferienjob di Jerman adalah TPPO. Itu sangat sadis dan keliru. Apakah ini karena kepolisian tidak mengerti definisi TPPO atau bentuk kriminalisasi pada perguruan tinggi.” (medcom.id, 24/03/2024).

Tentu ini amat keliru jika melalui kasus ini ada tendensi untuk melakukan kriminalisasi terhadap perguruan tinggi.

Esensi Perdagangan Orang dan Ferienjob di Jerman

Pada Panduan Penanganan TPPO (2021) yang disusun bersama antara United Nations International Organization for Migration (UN IOM) dengan Kejaksaan Agung RI, TPPO dinilai sebagai kejahatan luar biasa terhadap harkat martabat manusia. Korbannya dalam kendali untuk dieksploitasi dengan berbagai modus operandi, seperti eksploitasi seksual, eksploitasi anak, eksploitasi pekerja migran, eksploitasi berupa transplantasi organ tubuh manusia, dsb. Cara melakukannya pun amat sadis seperti, antara lain: ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan kepada korban dan/atau keluarga korban, dilakukan dengan penculikan, dst. Singkatnya, korban berada dalam kondisi teraniaya dan menderita psikis berat.

Dengan menggunakan kriteria TPPO itu, terlihat berbeda sekali dengan pelaksanaan ferienjob di Jerman. Program ini adalah sebuah program resmi pemerintah Jerman untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa dari berbagai negara untuk bekerja paruh waktu dengan tenaga fisik di bidang pekerjaan yang ditawarkan di berbagai perusahaan atau jenis pekerjaan di Jerman.

Sebagai negara maju, Jerman adalah salah satu negara paling aman di dunia bagi mahasiswa asing. Bahkan dilaporkan hasil survei Kementerian Pendidikan Jerman bahwa lebih 80 persen mahasiswa internasionalnya mengaku tidak pernah mengalami gangguan keamanan (DAAD, 2021). Jika ada masalah, siapa pun dapat menghubungi polisi selama 24 jam dengan cukup menekan telpon 110.

Oleh pemerintah Jerman, pelaksanaan Ferienjob dinilai sangat aman dan diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Ordonansi Ketenagakerjaan Jerman Beschäftigungsverordnung/BeschV) yang menyatakan bahwa Ferienjob dilakukan hanya pada saat “official semester break” atau libur semester yang resmi, durasinya 90 hari. Selain sangat aman, Jerman adalah salah satu negara yang paling menyenangkan bagi mahasiswa internasional karena standar mutu pendidikan tingginya berkelas dunia, bebas uang kuliah, mahasiswa bisa kerja sambil kuliah, dan jika libur bisa program mengikuti ferienjob ini.

Belajar di Jerman

Di antara 423 universitas dan pendidikan tinggi di Jerman, umumnya memiliki akreditasi sebagai world class university. Technical University of Munich, misalnya, berada di peringkat ke-37 terbaik di dunia, unggul di bidang Data Engineering and Analytics, Management, Computer Science, and Business & Economics dengan menawarkan lebih 200 program gelar Sarjana, Master dan Doktor. Universitas ini berdirinya sejak 1868 , selain membebaskan uang kuliah kepada mahasiswanya, juga menawarkan biaya penelitian unggulan apabila usulan penelitiannya dinilai akan menghasilkan produk teknologi inovatif. Anggaran tahunannya sebesar 1,9 miliar Euro (2022).

Begitu pula Heidelberg University yang menempati peringkat terbaik ke-87 di dunia, berdiri sejak 1386, unggul di bidang Ancient History, Biomedical Engineering, Earth Sciences, Law, Political Science, Scientific Computing, and Sociology, tersebar di lebih 180 program studi, dan sekitar 20 persen dari seluruh jumlah mahasiswanya yang berjumlah sekitar 30 ribu adalah mahasiswa internasional.

Bandingkan dengan Indonesia dengan jumlah perguruan tingginya yang sudah mendekati 4700, belum satu pun yang berada di peringkat terbaik 100 perguruan tinggi di dunia.
Dapat dibayangkan jika Presiden Habibie tidak belajar di Jerman, belum tentu beliau bisa membuat pesawat terbang dan menjadi Presiden Indonesia.

Fereinjob dan Kebijakan MBKM

Terdorong oleh keingintahuan yang dalam, saya telah mewancarai seorang mahasiswa yang telah mengikuti program fereinjob ini. Kesannya amat positif, dapat mengikuti keseluruhan program ini tanpa keluhan dan kendala yang berarti. Total biaya yang dikeluarkan sebelum pemberangkatan berkisar Rp 10 juta, sudah termasuk pengurusan visa, asuransi, penyiapan dokumen-dokumen dan pembayaran 350 Euro kepada perusahaan yang memfasilitasinya (PT SHB). Dua bulan sebelum pemberangkatannya ke Jerman, ia dibekali tambahan penguasaan Bahasa Jerman selama sebulan dan Bahasa Inggris dan pengenalan budaya Jerman juga selama sebulan. Pembekalan ini dilakukan oleh pihak universitasnya tanpa biaya.

Mahasiswa ini berangkat ke Jerman dengan Oman Air pada 2 Oktober dan kembali ke Jakarta dengan Turkish Air pada 29 Desember 2023. Total biaya tiket yang dikeluarkan pulang pergi adalah Rp 23 juta.

Ketika tiba di Berlin, mahasiswa ini menjalani masa adaptasi selama lima hari, baru mulai bekerja pada 7 Oktober dengan penempatan yang diatur oleh PT SHB. Ia ditempatkan di satu Café di satu rest park di luar kota Berlin, tepatnya di Serways Raststätte Eichsfeld Süd di Kirchworbis. Ia bekerja 7-8 jam sehari sesuai dengan waktu shift-nya, dan hanya bekerja selama 20 hari sebulan. Ia mengaku dapat menerapkan ilmunya sambil belajar bagaimana berinteraksi dengan sesama pegawai lainnya, mengamati bagaimana perusahaan itu dikelola, dan bagaimana melayani dan berinteraksi dengan para tamu dari berbagai suku bangsa dengan menggunakan bahasa Jerman atau bahasa Inggeris. Ia terekspos ke pergaulan dunia, mendapatkan pengalaman dan ilmu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Pada bulan pertama, ia memperoleh upah sebesar 1500 Euro, bulan kedua naik ke 1600 Euro, dan pada bulan ketiga mendapat 1700 Euro. Di luar dugaannya, ketika ia sudah selesai masa kerjanya, oleh perusahaan tempatnya bekerja ia diberi bonus 2000 Euro karena tidak pernah cuti.

Dengan segudang pengalamannya yang begitu berkesan selama tiga bulan mengikuti ferienjob di Jerman, ia berniat akan meneruskan kuliahnya kelak ke jenjang S2 dan S3 karena ia sudah mengetahui bahwa belajar di Jerman akan bebas uang kuliah dan bisa bekerja paruh-waktu.

Setelah tiba kembali di tengah-tengah keluarganya di tanah air, ternyata ia masih bisa menyimpan uang yang diperoleh dari ferienjob ini sebesar Rp 15 juta.
Jika Dikti menilai pelaksanaan program ini belum sempurna sesuai dengan kebijakan MBKM oleh Menteri Nadiem Makarim, pertanyaannya apakah program ini harus dihentikan.

Kasus 4 orang mahasiswa Indonesia yang mengadu ke KBRI di Berlin tentang beragam masalah yang dialaminya ketika mengikuti ferienjob, tentu tidak tepat jika digeneralisasi kepada 1043 mahasiswa lainnya, sebab setiap mahasiswa memiliki latar belakang dan tempat kerja yang berbeda. Salah seorang di antara pengadu itu memang tidak mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga fisiknya. Ternyata anak ini belakangan diketahui memiliki penyakit bawaan.

Terakhir, kiranya program ferienjob ini tetap dapat diteruskan dengan belajar dari pengalaman yang ada, dan kepada para professor dari perguruan tinggi yang telah mendukung perogram ini kiranya segera dibebaskan statusnya sebagai tersangka.

Jika terjadi kekeliruan dalam penanganan masalah ini, kiranya cukup ditangani oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan melibatkan masing-masing pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan dan dari pihak Jerman biarlah ini juga diselesaikan oleh pihak Jerman sendiri. Jika diteruskan, Kepolisian dapat mengadopsi penanganan kasus ini melalui Alternative Dispute Resolution (ADR “Surat Kapolri 8/2009).

Semoga masalah yang telah menimpa 33 perguruan tinggi dapat menjadi pelajaran yang amat berharga bagi pembinaan pendidikan tinggi di tanah air kini dan ke depan.

______________________________________________________________

*Hafid Abbas, Penulis adalah Ketua Senat dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Komisioner/Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017)