Benarkah Kecerdasan Buatan menjadi ancaman bagi umat manusia?
Gareth Edwards melalui film The Creators telah membawa imajinasi yang tidak biasa, melupakan sejenak kehidupan yang serba cepat akibat teknologi yang begitu masif telah membawa banyak perubahan dalam komunikasi manusia; AI (Kecerdasan Buatan).
Sebagai film fiksi ilmiah, Gareth Edwards ingin membawa kita untuk dapat menikmati film dengan detak kagum tanpa henti-hentinya. Inilah presentasi ‘realisme magis’ dalam film ini yang siapa saja yang ingin menontonnya akan terbawa pada situasi yang mengagumkan.
Tentu ini berkaitan dengan masa kecil Gareth Edwards yang ia pikirkan dalam Film favoritnya adalah wahana bermain visual yang tidak hanya menampilkan drama tetapi juga emosi, yang tentu ini jika diselami seperti mimpi.
“Film ini adalah perpaduan film-film yang saya sukai sejak kecil,” ujar Gareth.
The Creators bukan film fiksi ilmiah ‘robot-robotan’ biasa yang hanya mengandalkan sisi perang teknologis, ia menawarkan gagasan visual yang mengandalkan potongan-potongan visual masa lampau sehingga filmnya menjadi sangat artistik.
Guntingan-guntingan visual itu menyatu dalam film menjadikan film ini terkesan artsy tetapi tidak terkesan hanya menempelkan saja entah itu berupa potongan film lawas maupun lagu-lagu lawas, termasuk lagu lawas Indonesia, pilihan-pilihan fonts teks yang robotik. Semua terasa pas dan menambah sisi humor, tragedi maupun nostalgia akan kehidupan masa lalu.
AI di film ini, ia adalah teks yang mempengaruhi kehidupan yang seharusnya membantu manusia dalam kehidupannya. Ia memang menggantikan, tetapi ia bukan hanya benda biasa yang tak memiliki emosi; ini gagasan sekaligus hal yang selalu dikritik oleh kita, AI ia memang cerdas tetapi tak memiliki emosi.
Untuk melawan ketidakadilan AI menciptakan senjata yang paling paripurna yakni Alphie (Madeleine Yuna Voyles).
The Creators menawarkan AI yang memiliki Emosi seperti manusia, ia bisa merasakan sakit sekaligus keinginan untuk merdeka. Ini yang kita rasakan saat scene Alphie ketika mengatakan untuk “Kemerdekaan”.
Pencarian Nirmata, dan pewaris Nirmata itu sendiri Maya (Gemma Chan) adalah seorang ibu. Hubungan-hubungan organik mengenai keluarga antar manusia dan AI begitu kental terasa di beberapa sisi tokoh yang ditampilkan, entah dalam tokoh utama Joshua (Jhon David Washington) maupun para tokoh biasa dalam film ini.
Meskipun terasa lemah dalam cerita, terutama kisah akhir, namun proses penyajian dalam pembabakan cerita dalam format seperti membaca sebuah buku, menjadikan pesan-pesan kuat dalam film ini terasa terangkumkan dengan baik. Memang sisi cerita peperangan melawan AI, dikotomi Barat-Asia, menawarkan sisi dramatis gelap dan terangnya sebuah tragedi teknologi.
Sia-siakah manusia (barat) menciptakan AI?
- Jika kalian ingin merasakan pengalaman menonton yang lebih, saya rasa memilih bioskop berlabel IMAX patut dipertimbangkan.