Iwan Simatupang, Penerbit dan Tuah Bagi Pengarang Muda

0
912

EDURANEWS, JAKARTA–  Iwan Simatupang adalah bagian dari mozaik penting pemikiran sastra Indonesia. Hidupnya telah menghasilkan karya sastra yang bernas seperti ‘Merahnya Merah’, dan ‘Ziarah’. Dan selain karya sastra tentu saja buku ‘Surat-Surat Politik’ yang ditulisnya sangat apik nan biografis.

Iwan pemikir ulung sastra yang menghasilkan banyak esai seperti kritik sastra, ulasan mengenai biografi sastrawan, polemik kebudayaan, teater, humor-humor. Mozaik pemikirannya yang paling lengkap dapat ditemui di buku “Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air” (Penerbit Buku Kompas, 2004).

Adalah HB.Jassin yang sangat berjasa mengumpulkan pelbagai pemikiran Iwan yang terserak di pelbagai media cetak, kini tulisan aslinya berada di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin di Cikini. 

HB. Jassin sang ‘Paus Sastra’ seperti sudah mengendus penyakit lama para penulis/pengarang sastra; mereka adalah arsiparis yang buruk!

“Iwan bukanlah dokumentator yang baik,” tulis Oyon Sofyan dan Frans M. Parera dalam prakata buku. 

Mereka menganggap Iwan tidak pernah mengumpulkan tulisan-tulisannya. Hingga sulit untuk dapat membaca secara utuh membaca pikiran-pikirannya mengenai sastra,  kebudayaan, teater, naskah drama dan lainnya. 

Oyon Sofyan dan Frans M. Parera sangat memikirkan itu.  Mereka pun menyusun keping-keping pikiran dari Iwan menjadi sebuah kumpulan esai yang rapi dan berurutan. Pun tujuan itu untuk memudahkan karena tuntutan zaman jika menghendaki seperti itu.

“Pikiran-pikiran  tentang masalah kebudayaan Indonesia modern yang dia lontarkan dalam begitu banyak kesempatan pada dekade lima puluhan sampai dekade enam puluhan, lama-kelamaan hilang ditelan masa silam. Dan, menjelma menjadi fosil yang tidak dihargai karena kehilangan pemaknaannya bagi manusia dari generasi berikutnya,” tulisnya panjang.

Pembabakan yang dilakukan Oyon dan Parera adalah Periode Penulis Artikel Majalah kebudayaan dan Guru Bahasa di SMU 1950-1955, Periode Penulis Naskah Drama dan Mahasiswa Humaniora di Kampus Universitas Negara-Negara Barat 1955-1959, Periode Penulis Novel, Surat Politik dan Reporter Media Massa 1960-1970.

Dari pembabakan inilah mungkin pembaca dapat mengarungi pemikiran Iwan dari waktu ke waktu, dengan pelbagai nuansa politik dan peristiwa sastra dan kebudayaan yang melekat pada zaman itu. 

Peran penerbit dan pengarang muda

Di bagian kedua, Periode Penulis Naskah Drama dan Mahasiswa Humaniora di Kampus Universitas Negara-Negara Barat 1955-1959, ada satu artikel yang menarik yang sangat relevan sampai sekarang yakni “Kemungkinan-Kemungkinan bagi Para Tunas Muda” (hal 195)

Esai ini berisi tuah Iwan mengenai perkembangan sastra dan para juru bicaranya terutama pengarang muda. Iwan banyak memukakan hal-hal yang penting terutama bagaimana peran penerbit bagi keberlangsungan ekosistem sastra itu sendiri. 

Meskipun banyak melihat dari perkembangan di Netherland (Belanda), Iwan banyak merefleksikan peristiwa-peristiwa yang amat relevan sampai sekarang ini. 

Ketika itu Iwan mengawali esainya dengan  bercerita mengenai Winston Churchill yang menampik anggapan bahwa populernya buku yang ia karang karena sudah terlanjur ia dikenal sebagai negarawan/politikus cum peraih nobel. 

“Bukanlah agitasi bila secara kasar dikatakan bahwa naskah seorang yang sudah mempunyai nama umumnya lebih besar kemungkinannya diterima oleh sang penerbit daripada naskah yang belum mempunyai nama,” tulis Iwan. 

Sikap penerbit yang hanya memikirkan ‘komersil’ bagi Iwan inilah sangat erat hubungannya dengan tampilnya para pengarang baru/muda. 

Ketika itu banyak para penerbit yang enggan menerbitkan sajak, novela, roman, drama, meskipun naskah itu bernilai sastra yang tinggi. 

Akibatnya adalah ‘mutu sastra’ tidak akan dilirik kecuali ‘gema sastra’ ramai dengan pelbagai peristiwa-peristiwa penting seperti simposium, penghargaan sastra dan lainnya. Penerbit perlu pemicu gema sastra yang ramai itu barulah sastra dapat dikerek naik.

Iwan meminta penerbit untuk tidak sekaku itu.

“, kian jelaslah kini gambaran persoalannya bagi kita. Yakni; di keadaan seperti kini, sungguh banyak kemungkinan-kemungkinan terbuka bagi para tunas muda! Para penerbit kini umumnya tak berlaku sekaku dulu lagi terhadap para pengarang muda yang datang menawarkan naskah-naskahnya,” tulis Iwan. 

Sikap penerbit yang tidak kaku itu mungkin saja membuat banjirnya karya pengarang muda. Di sinilah Iwan juga mengingatkan penerbit janganlah membabi buta, masyarakat akan tetap kritis dari setiap karya yang akan diterbitkan oleh pengarang muda. 

Tampaknya bagi Iwan ketekunan harus dipegang bagi para pengarang muda.

“..Bila ketekunannya memang besar dan sungguh demikian, hingga naskah yang dihasilkannya itu bukanlah sekedar hasil serampangan saja, tetapi suatu kesaksian, suatu hasil  kejujuran yang disertai oleh bakat dan ilmu pengetahuan, maka harapan adalah besar bahwa naskahnya itu akan diterima sang penerbit,” tulisnya.