EDURANEWS, JAKARTA-Prof Hafid Abbas sampaikan pentingnnya perspektif dunia ketiga untuk menilik ruang lingkup kajian hak asasi manusia (HAM) dalam melihat fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia (04/06).
Menurut Prof Hafid Abbas pada umumnya perspektif HAM negara dunia ketiga dalam melihat realitas LGBT tidak pernah terlepas dari beragam unsur kekerasan, diskriminasi, kebencian atau stigma dan segala keburukannya merujuk USAID Report.
Prof Hafid Abbas membagi tiga perspektif HAM diantaranya negara dunia pertama yang mengedepankan individu agar mendapat kebebasan, sebebas-bebasnya serta dilindungi Negara sepenuhnya.
Sementara itu, negara dunia kedua yang lebih mengedepankan hak kolektif atas hak individu, sehingga negara memiliki otoritas yang kuat dalam mengatur aspek kehidupan berkaitan HAM.
Oleh karena itu, menurut Prof Hafid Abbas, perspektif negara dunia ketiga pada konteks Indonesia memiliki Pancasila untuk mengelaborasi nilai hak asasi manusia (HAM) dalam melihat isu LGBT.
Menurut Prof Hafid Abbas konsep HAM di Indonesia menyebutkan manusia Indonesia harus dilindungi seluruh aspek termasuk sosial, ekonomi, politik, budaya serta kepribadiannya yang juga harus disejahterakan.
Prof Hafid Abbas mengungkapkan dalam UU 1945 terdapat bab tersendiri mengenai HAM pada pasal 28 B menyebut bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga untuk melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
“Sehingga perkawinan laki-laki dengan laki-laki tidak sesuai dengan dasar negara kita termasuk perempuan dengan perempuan.”
Prof Hafid Abbas mengungkapkan dasar pengakuan HAM LGBT kurang memiliki dasar legal di Indonesia jika mengacu pada bab narasi HAM dalam UUD 1945.
Prof Hafid Abbas mencoba mempertegas argumennya dengan merujuk UU HAM No. 9 Tahun 1999 pasal 10 yang menyebut setiap orang berhak membentuk satu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
“Jadi perkawinan yang kita anut itu tidak memberi tempat pada kelompok LGBT,”
Prof Hafid Abbas juga mengunkapkan terdapat pedoman HAM yang tertuang dalam Cairo Declaration yang mencangkup prinsip HAM bagi dunia Islam.
Prinsip HAM Cairo Declaration menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan punya hak berkeluarga agar memiliki keturunan, dan suami betanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarganya.
Prof Hafid Abbas menyebut nilai yang terkandung dalam Cairo Declaration memiliki perbedaan dari deklarasi HAM universal yang tidak mengutamakan nilai agama, kewargaan dan nilai etnisitas sehingga terbuka ruang memberi kebebasan dalam menafsirkan perkawinan.
Prof Hafid Abbas menyebutkan rekomendasi PBB yang tertuang dalam The Yogyakarta Principles memberikan kontroversi karena negara harus mengakui kebhinekaan bentuk keluarga yang tidak dibatasi.
Prof Hafid Abbas menambahkan bahwa peraturan tersebut meberi tanggung jawab negara untuk memberi jaminan hukum dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh serta negara tidak boleh memperlakukan diskriminasi perihal perbedaan seks dan gender.
Dalam penutup diskusinya Prof Hafid Abbas mengajak untuk tidak mendiskriminasikan kelompok LGBT,
Dirinya berharap kelompok LGBT dapat dirangkul dan diberikan kesempatan hak yang sama dalam hal pendidikan, pekerjaan dan akses pemerintah yang tidak boleh tertutup sebagai praktek inklusif.
“Mereka (kaum LGBT) harus diperlakukan sebagai manusia dan dituntun kearah yang lebih baik sesuai dengan prinsp-prinsip dan norma yang tumbuh di negeri kita berpaham Pancasila ini,”