Prof Totok Bintoro: KBKB Jadi Penguat Pendidikan Berkebutuhan Khusus Kategori Tunarungu

0
109
Prof Totok Bintoro saat menyampaikan orasi ilmiah pada pengukuhan guru besarnya di Aula latief hendraningrat, Kampus UNJ.

EDURANEWS, JAKARTA-Prof Totok Bintoro sebut Kurikulum Berbasis Komunikasi dan Bahasa (KBKB) bisa jadi penguat pendidikan berkebutuhan khusus tunarungu dan mampu memecahkan problem pendidikan komunikasi dan bahasa bagi kelompok tuanrungu berat sekalipun.

Hal ini dirinya sampaikan pada saat pengukuhan guru besarnya pada bidang kepakaran ilmu pendidikan bahasa untuk anak berkebutuhan khusus Fakultas Ilmu Pendidikan, UNJ di Aula Latief Hendraningrat (14/11). Prof Totok Bintoro membawa orasi ilmiah bertema “Kurikulum Berbasis Komunikasi dan Bahasa untuk pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus”.

Pada kesempatan itu Prof Totok juga juga mengenalkan kurikulum berbasis komunikasi dan bahasa untuk pendidikan anak berkebutuhan khsus dengan hambatan komunikasi dan bahasa yang diinisasi oleh Menteri-menteri pendidikan se-Asia Tenggarapada Tahun 1986 dengan menetapkan kesepakatan bahasa akan menjadi penentu keberhasilan proses pendidikan dengan istilah “Language Across All Areos Curriculum”.

Menurut Prof Totok kelompok tunarungu pada hakikatnyame adalah kelompok miskin bahasa. Karena menurutnya bahasa pada hakekatnya harus dapat ditangkap melalui indera pendengaran, meski sudah dibantu alat pendengaran mereka tetap membutuhkan program pendidikan khusus.

Pada kesempatan itu prof Totok juga menyebutkan bahwa tunarungu terbagi menjadi dua yaitu kategori kurang dengar (hard of hearing) dan tulis (deaf)yang berbeda satu sama lain. “Banyak diantara kita menyamakan diantara keduanya,” ungkapnya.

Menurut Prof Totok mengutip pemikiran Arthur Boothroyd tunarungu menimbulkan persepsi auditif yaitu bunyi tidak bisa masu, termasuk bunyi bahasa dimana kendala ini mengakibatkan seseorang atau anak-anak sulit mencapai kemampuan berpikir abstrak.

“Dimyati seorang tunarungu yang bisa berbahasa pun tetap mengalami kekurangan bahasa tertuama yang bersifat abjektiva, kata sifat dan sebagainya. Sebetulnya banyak kelompok Tunarungu yang malah tidak bisa berbahasa,” katanya.

Kenyataan ini menurut Prof Totok mengutip Boothroyd adalah akibatkan tunarungu lahir tidak mengalami masa perolehan bahasa, mengalami hambatan perkembangan bahasa dan komunikasi, mengalami hambatan komunikasi karena hambatan miskin bahasa, mengalami masalah dalam pendidikan dan belajarnya, dan akan tertinggal dalam segala aspek kehidupan.

Menurut Prof Totok anak dengan tunarungu harus memiliki kecukupan bahasa, karena bahasa akan sangat terekait dengan berpikir, kognitif dan aspek intelektual. Kenyataan itu menurutnya harus di awali dengan konsep pendidikan kepada kelompok tunarungu secara humanis.

Selain itu menurut Prof Totok perlunya pendekatan yang holistik dalam pembelajaran kepada anak tunarungu agar dapat berbahasa. Dirinya mengenalkan konsep Metode Maternal Reflektif (MMR).

MMR menurutnya merupakan strategi pembelajaran komunikasi dan bahasa bagi anak tunarungu seperti bayi yang belum mengenal bahasa.

“Metode ini mengumpamakan fenomena seorang ibu yang secara alamiah mengajarkan bahasa kepada anaknya hingga anak emmperoleh pengalaman bahasa secara alami,” ungkapnya.

Prof Totok melalui penelitiannya telah membuktikan bahwa metode MMR cukup baik diterapkan untuk melatih kemampuan komunikasi dan bahasa kaum tunarungu baik untuk mencapai berbahasa lisan maupun isyarat dan memiliki kemampuan lebih unggul dengan konsep belajar konvensional.

Dirinya cukup mengapresiasi bahwa saat ini UNJ baru saja mewisuda magister lulusan olahraga tunarungu, karena dia punya bahasa.

“Kelompok tunarungu ketika memperoleh pendidikan tidak bermutu maka tidak akan mendapatkan ilmu yang berdampak pada ingatan jangka panjang, sehingga gudang ingatannya kosong, maka kita perlu menyiapkan guru dan pendidikan yang bermutu untuk kebutuhan pendidikan kelompok tunarungu,” ungkapnya.