EDURANEWS, JAKARTA– Prof. Henry Eryanto melakukan orasi ilmiah dengan tajuk “Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi: Dinamika, Tantangan, dan Keberlanjutan” di Aula Latief Hendraningrat Gedung Dewi Sartika Kampus A UNJ (14/12).
Orasi ini menjelaskan pentingnya pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi sebagai solusi sekaligus penanaman pola pikir kewirausahaan yang berkelanjutan dengan model inkubasi. Artinya dunia usaha memerlukan ekosistem kampus dan akademisi dalam pengembangan kewirausahaan.
“Di sanalah pendidikan seharusnya memainkan peran sebagai pencipta para wirausaha,” ujar Prof. Henry.
Kemiskinan dan pengangguran memang menjadi problematik berkepanjangan. Pendidikan pun harus menjadi kunci ketika menciptakan angkatan kerja yang siap kerja. Pengangguran di sekolah formal termasuk perguruan tinggi sudah menyentuh angka 8 juta. Penyerapan tenaga kerja ke Industri belum maksimal.
“Nampaknya Link and Match masih menyisakan masalah,” ujarnya.
Prof. Henry pun menjelaskan bahwa perguruan tinggi haruslah berbenah dengan melakukan pembelajaran yang konkret dan empiris yang mendorong mentalitas wirausaha kepada mahasiswa.
Ilmu Manajemen dengan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) telah menjadi landasan dan tantangan baru bagi dunia bisnis di era disrupsi.
Amatan Prof. Henry, pendidikan wirausaha sebetulnya sudah ditanamkan sejak Orde Baru di tahun 1997.
Hal ini ditandai dengan pelbagai kebijakan dan program seperti Kegiatan Kuliah Kewirausahaan (KKW), Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan (PPBK) perguruan tinggi, Inkubator Wirausaha Baru (INWUB), Konsultasi Bisnis dan Penempatan Kerja, dan Inkubator Wirausaha Baru (KBPK).
“Sebetulnya pendidikan kewirausahaan ini difasilitasi oleh peraturan menteri pendidikan termasuk magang dan praktik kerja,” ujar Prof. Henry. Namun pengembangan pendidikan usaha harus menyentuh aspek kesinambungan.
Kritik dilontarkan Prof. Henry, di mana proses pembelajaran harus langsung menyentuh kepada yang dibutuhkan oleh industri dan dunia usaha. Pemagangan dan pola pembelajaran juga harus triple helix.
Yang tidak hanya terbatas pada pembelajaran tetapi juga menyentuh aspek teknik manajemen dan pemasaran industri serta menumbuhkan spirit kewirausahaan.
Model Inkubator Bisnis
Rekomendasi diarahkan kepada keberlanjutan usaha. Prof. Henry pun mengajukan inkubator bisnis sebagai gagasan implementatif pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi.
“Banyak ditemukan kelemahan-kelemahan terutama diseleksi bisnis dan monitoring,” ujar Profesor bidang Ilmu Pendidikan Ekonomi ini.
Menurut Prof. Henry tindak lanjut pendidikan kewirausahaan harus menggunakan inkubator bisnis. Pengalaman mengatakan bahwa 80% usaha yang diinkubasi lebih berhasil dari yang tidak sebanyak 33%. Hal itu didapat dari hasil evaluasi lima tahun setelah lepas dari inkubator bisnis.
Proses yang dapat dijalankan adalah transfer teknologi, komersialisasi teknologi, diversifikasi sumber daya ekonomi, revitalisasi SDM, investasi modal usaha, peningkatan pelaku bisnis, dan berakhir pada pemberdayaan ekonomi.
Bagaimana sebetulnya inkubator bisnis itu dapat berjalan?
Prof. Henry menjelaskan ada tahapan yang perlu dilakukan. Pertama, Tahapan Input berkaitan dengan usaha yang diinisiasi dan merupakan usaha rintisan.
Kedua,Tahapan Proses yang setelah dilakukan analisis terhadap aspek manajemen maka proses pembinaan harus diperjelas lagi tentang aspek bisnisnya termasuk proses inkubasi dan klasifikasi usaha pendamping,
Ketiga, Tahapan Output peserta harus dapat menjalankan bisnis secara mandiri yang bercirikan pada keberlanjutan bisnis, efisiensi pengelolaan dan efektivitas usaha
“Dengan demikian terjadi simbiosis mutualisme antara dunia pendidikan, dunia industri dan proses pendidikan menghasilkan manusia unggul,” ujar Prof. Henry.