EDURANEWS, JAKARTA– Prof. Budiaman melakukan orasi ilmiah dengan tajuk “Model Pendidikan Lingkungan Berkelanjutan Berbasis Sociopreneurship” di Aula Latief Hendraningrat Gedung Dewi Sartika Kampus A UNJ (14/12).
Tema ini dilandasi oleh pentingnya nilai-nilai pendidikan lingkungan secara berkelanjutan yang dapat diinternalisasikan dalam bentuk kesadaran dan perilaku peserta didik.
Prof. Budiaman mengingatkan pentingnya mengembangkan kemampuan individu dalam mengantisipasi permasalahan lingkungan. Kecerdasan individu ini merujuk pada peran strategis dalam menciptakan sinergitas hubungan dengan ekosistemnya.
“Fokus saya pada pendidikan di SLTP,” ujarnya.
Perubahan masyarakat yang cepat menjadi dilema lingkungan terutama di masa pandemi. Prof. Budiaman menjelaskan bahwa dilema lingkungan berpusat pada kelebihan penduduk, ketidakadilan serta konsumerisme.
“Dalam orasi ini saya mengangkat khusus hal konsumerisme,” ucap Profesor kelahiran Indramayu ini.
Penelitian Nurhati (2020) memaparkan dampak PSBB dan WFH membuat belanja online berbentuk paket naik 62%. Untuk layanan antar makanan melonjak 47%. Hasil survei 20 April hingga 5 Mei 2020 menunjukan angka aktivitas belanja online masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
“Dalam konteks ini banyak sampah di rumah kita,” ujarnya penuh prihatin.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemi menjadi tantangan pendidikan lingkungan bagi anak SLTP. Sehingga pendidikan lingkungan harus lebih praktis dengan meningkatkan pemikiran kritis peserta didik, kepemimpinan, kompetensi, pemecahan masalah, keterlibatan akademik dan gaya hidup sehat.
Prof. Budiaman juga menjelaskan ada tiga bagian penting yang perlu dibedah dalam pendidikan lingkungan di Indonesia. Pertama, peraturan menteri lingkungan hidup No. 05/2013 pedoman pelaksanaan program Adiwiyata. Stimulus hadiah dari pemerintah sepertinya masih diperlukan dalam memicu masyarakat peduli terhadap lingkungan hidup.
Kedua, Gerakan Peduli dan Berbudaya Lingkungan Hidup di Sekolah (PBLHS). Muara gerakan ini secara sadar menciptakan aksi kolektif secara sadar.
Ketiga, skema dukungan pelaksanaan gerakan dari pelbagai institusi terkait.
“Saya berkesempatan mengikuti program sociopreneurship,” ujar Prof. Budiaman yang ketika itu berkesempatan mengembangkan bank sampah di kota Bekasi.
Sociopreneur secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah model bisnis dengan strategi untuk hasil yang berkelanjutan.
Intinya haruslah sederhana, persuasif dan menarik. Di sekolah hal yang paling sederhana yang dapat dilakukan ditanamkan adalah memilah sampah non organik yang memiliki nilai ekonomis.
Dari sinilah Prof. Budiaman menemukan langkah-langkah praktis dalam implementasi socialpreneurship yang berkaitan dengan implementatif dan kurikulum.
Langkah-langkah itu adalah; kepala sekolah memberi pengarahan tentang pengelolaan sampah di lingkungan sekolah, pembentukan relawan peduli sampah dan membuat sistem tabungan sampah yang ada pada setiap kelas, siswa memilah sampah non organik dari seluruh kelas dikumpulkan pada karung khusus, relawan peduli sampah memilah berbagai jenis sampah setiap sabtu, kepala sekolah dan relawan peduli sampah menimbang sampah non organik, pemantauan rutin program Green School, setiap selesai jam belajar sekolah, program diinternalisasikan melalui lomba kebersihan kelas setiap sebulan sekali.
“Pada akhirnya saya teringat catatan Prof. Emil Salim bahwa kesadaran lingkungan akan menumbuhkan rasa cinta alam, ketaqwaan, dan pembentukan watak bangsa Indonesia,” ujarnya.