EDURANEWS, JAKARTA- Penyandang disabilitas mental (PDM) juga menaruh perhatian dan ketertarikan pada aktivitas kesenian dan tertarik menguasai jenis kesenian tertentu.
Hal ini yang menjadi motif terselenggaranya kegiatan Program Pengabdian Masyarakat (P2M) Program Studi (Prodi) Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta untuk mengembangkan potensi seni bagi penyandang diasbilitas mental melalui kegiatan membatik yang terselenggara beberapa waktu lalu.
Menurut Caecilia Tridjata selaku dosen program studi pendidikan seni rupa UNJ sekaligus ketua kegiatan program pengabdian masyarakat tersebut mengatakan bahwa faktor ketunaan kerap kali mempengaruhi kemampuan sosial dalam menjalin relasi dengan masyarakat dan kondisi psikologisnya, seperti tekanan jiwa, ketegangan emosi, labil, kurang percaya diri, maupun jadi pesimis.
“PDM yang telah pulih pun seringkali mengalami pengalaman ditolak kerja karena kondisi ketunaannya dan kondisi ini menjadi lebih parah karena sebagian besar dari mereka kurang memiliki keterampilan kecakapan hidup yang dapat memberi peluang wirausaha,” katanya.
Menurutnya kondisi tersebut menghendaki pengembangan solusi kreatif dengan pendekatan integratif yang melibatkan berbagai pakar dalam multi disiplin ilmu untuk mengembangkan program rehabilitasi vokasional sesuai kebutuhan PDM.
Seperti halnya yang dilakukan oleh tim Pengabdian Pada Masyarakat (P2M) Program Studi Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta yang memberikan kegiatan pelatihan membatik kepada para Penyandang Disabilitas Mental (PDM) di Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI).
Pelatihan membatik dilaksanakan di KPSI yang berlokasi di jl. Buluh, Cililitan, Jakarta Timur. Kegiatan ini sebagian besar dihadiri oleh peserta dari para penyintas disabilitas mental dan care givers.
Caecilia mengatakan pelaksanaan kegiatan membatik tersebut memanfaatkan limbah kemasan kardus sebagai bahan utama pembuatan canting cap batik.
Menurutnya pelatihan membatik cap dilakukan dalam rangka pemberian pembelajaran kreativitas dan keterampilan yang menjadi kebutuhan para anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia.
“Seluruh rangkaian kegiatan dan menghasilkan karya batik yang beragam, selain sebagai sarana memperoleh pengalaman berkreasi dan berekspresi, workshop ini juga dilakukan sebagai sarana mengatasi masalah psikologis dan sosial bagi penyandang disabilitas mental,” pungkasnya.
Menurutnya melalui pelatihan membatik tersebut dapat memberikan dampak baik kepada peserta terutama dalam peningkatan kepercayaan diri, mencegah kekambuhan, kesulitan dalam beriteraksi, dan mengurangi ketegangan emosi.
“Metode craft therapy dipilih karena keterampilan kriya mampu melatih kemampuan motorik halus, mengembangkan kepekaan estetis dan kemampuan untuk fokus serta bekerja sama dengan orang lain (caregivers),” ungkapnya.
Adapun proses pelatihan membatik dilaksanakan melalui beberapa tahapan seperti eksplorasi motif, membuat canting cap dari limbah kemasan karton, membatik di atas kain katun dengan proses cap, proses mewarnai kain, proses fiksasi, dan terakhir proses melorod atau proses melepaskan lilin malam dari kain batik.
Menurut Caecilia bahwa kegiatan ini tidak sekedar pelatihan akan tetapi juga dapat berorientasi ekonomi kedepannya bagi para peserta untuk membuat sarung bantal, selendang, ataupun taplak meja.
Dirinya menambahkan bahwa pengalaman berkarya menghasilkan produk batik cap telah membuktikan bahwa kegiatan kreatif ini mampu memotivasi PDM untuk produktif.
“Di masa mendatang diharapkan hasil P2M ini dapat meningkatkan kesadaran, kepedulian dan apresiasi masyarakat akan pentingnya isu-isu kesehatan jiwa,” tuturnya.