EDURANEWS, JAKARTA-Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Prof Hafid Abbas dalam sebuah diskusi bertajuk “Investasi Asing dan Ancaman Eksistensi Melayu: Studi Kasus Pulau Rempang” yang diprakarsai oleh Center for Strategic Studies menyebut konflik proyek pembangunan di Pulau Rempang memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat (24/09).
Mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2012-2017 itu menyebut ada beberapa kriteria kesalahan sehingga kasus tersebut memenuhi unsur kriteria pelanggaran HAM berat.
“Penggusuran paksa yang memaksa orang meninggalkan tempat tinggalnya atau tempat kelahirannya sama dengan genosida,” ungkapnya.
Dirinya menyebut ada beberapa kriteria dalam proses pemindahan orang, seperti harus ada Undang-Undang yang cukup kuat bukan sekedar putusan presiden atau di bawahnya.
Ketika pemindahan, kata Prof hafid harus memberikan keadaan hidup yang lebih sejahtera dari tempat sebelumnya. “Sebelum digusur harus ada kesepakatan antara pihak yang menggusur dan pihak yang tergusur,” katanya.
Dirinya menyebut dalam aturan PBB misalnya, kalau terpaksa melakukan penggusuran, maka ada aturan teknis yang harus dupatuhi dan dilaksanakan seperti tidak boleh dilakukan pada keadaan cuaca yang kurang baik, saat anak-anak mendekati ujian sekolah, hari besar, tidak boleh dilakukan malam hari, dan tidak boleh menggunakan simbol kekuasaan negara.
Prof Hafid menyayangkan semua kriteria dalam kasus konflik Pulau Rempang dilanggar oleh pemerintah.
Padahal kata dia proyek dengan modal investasi dari negeri Tirai Bambu itu memiliki beberapa keajaiban. Dirinya mencontohkan kebutuhan proyek 17.000 Ha merupakan sebuah keserakahan.
Selain itu penggunaan alat kekuasaan negara seperti militer untuk melakukan force eviction sangat berlebihan. Prof Hafid juga menyayangkan mengapa Pulau tersebut harus dikosongkan sementara disitu ada penduduk yang sudah ada secara turun-temurun.
Menurut Prof hafid nilai investasi proyek yang menyebabkan konflik sosial itu mencapai 11.5 Miliar USD, sementara perusahaan investor asal China hanya memiliki net cash flow 41 juta USD.
“Kelihatannya ini ada semaca hidden agenda, pertama China menjadi negara berkepentingan, dari 2013 China telah mendeklarasikan proyek OBOR dan saat ini China juga memiliki pengaruh dalam pertarungan ekonomi global, “ungkapnya.
Prof Hafid berpesan skema investasi harus memberi sikap hati-hati, jangan sampai ketika tidak bisa membayar maka negara ada dalam kontrol pemberi investasi.