EDURANEWS, JAKARTA-Ketidaksepahaman antara masyarakat dengan pemerintah dalam membangun mega proyek Pulau Rempang telah menimbulkan konflik sosial. Terlebih proyek investasi dari negeri Tirai bambu itu akan menghilangkan penduduk asli setempat telah menyebabkan polemik berkepanjangan.
Dalam sebuah diskusi yang di gagas oleh center strategic studies bertajuk bertajuk “Investasi Asing dan Ancaman Eksistensi Melayu: Studi Kasus Pulau Rempang” (24/09). Prof Datok Abdul Malik budayawan melayu Serantau sekaligus Guru Besar FKIP-UMRAH beberkan asal-usul masyarakat wilayah Rempang.
Menurut Pria peraih Anugerah Guru Cemerlang dari Kesultanan Perak, Malaysia ini bahwa kawasan Pulau Rempang pada masa silam juga merupakan kawasan dari Kerajaan Bintan-Temasik pada abad ke-12 yang wilayahnya mencakup seluruh Kepulauan Riau, Selatan Semenanjung Malaysia, dan Singapura serta penduduknya tersebar di sepanjang wilayah pesisir.
“Ini merupakan cikala-bakal nenek moyang masayrakat melayu Rempang-Gelang,” ungkapnya.
Menurut Datok malik meski Kesultanan Bintan-Temasik selesai Kepulauan Riau berada di bawah pengaruh Kesultanan Malaka yang para rajanya adalah keturunan Kesultanan Bintan-Temasik.
Menurutnya sejak era Kesultanan Malaka orang melayu Rempang adalah prajurit yang gagah berani dari laksamana Huang Tuah dan selanjutnya laksamana Hang Nadim .
“Prajurit ini ditakuti oleh Portugis, Inggris, mereka disebut Celates oleh Portugis dan Slatter oleh Belanda atau dalam hal negatif disebut sebagai bajak laut atau musuh pada masa lalu,” katanya.
Datok Malik menceritakan bahwa pada perang melawan Portugis pada tahun 1512, 1523, 1524, dan 1526 misalnya pasukan laksamana Hang Nadim berasal dari masyarakat Rempang.
Era Kesultanan Riau lingga Johor Pahang
Datok malik menyebut orang Rempang dan rakyat Melayu Kepulauan Riau terutama mereka yang tinggal di kawasan pesisir namanya semakin melejit manakala Kesultanan Riau Lingga Johor 1528-1824 naik menggantikan Kesultanan Malaka yang sudah roboh.
Sejak saat itu, nenek moyang masyarakat Rempang merupakan merupakan bagian dari pasukan Petikaman atau prajurit terdepan dalam perang Riau 1782-1784 yang dipimpin oleh Raja haji IV (Pahlawan Nasional RI, 1997) melawan Belanda dan dimenangi Kesultanan Riau Lingga.
Kemudian Datok Malik menyebut terdapat perang ke-II (1784-1787) dengan Belanda yang dipimpin oleh prajurit Sultan Riayat Syah (Panlawan nasional Gerilya Laut RI, 2017) kembali dimenangkan Kesultanan Riau Lingga.
Menurut Datok malik perang itu terjadi karena Kesultanan Melayu Riau Lingga Johor Pahang tidak mau mengikuti aturan monopoli perdagangan cara Belanda. Padahal kata Dato malik sang raja sudah terbiasa berbisnis secara terbuka dan tidak menghendaki sistem monopoli.
Perjanjian Orang Melayu dan Bugis
Datok Malik menceritakan bahwa pada perang yang dipimpin oleh Tuan ke-IV Raja haji Fisabilillah keturunan Melayu dan Bugis membuat perjanjian dengan orang Bugis sejak mereka bersama dalam peperangan tahun 1722.
“Dalam hal ini mereka membuat perjanjian yang intinya musuh kepada Melayu itu sama halnya musuh kepada Bugis begitu juga sebaliknya, sementara teman bagi Melayu artinya teman bagi Bugis begitu juga sebaliknya, keduanya tidak dapat dipisahkan dan hal ini sebagai sumpah setiap nenek moyang kita dahulu dalam menjaga kesatuan negara Republik Indonesia,” ungkapnya.
Datko Malik menjelaskan dalam hal ini nenek moyang warga Rempang adalah pasukan yang dibanggakan oleh Raja haji Fisabilillah.
Setelah Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat Kesultanan Riau Lingga ke Daik Lingga pada 24 Juli 1787, Bulang Rempang galang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau Lingga dengan pemimpin perang bernama Engku Muda Muhammad (Temenggung) dan Panglima Raman (Keturunan Rempang-Galang) untuk mengawal wilayah perairan sepanjang Selat Malaka, Kepulauan Riau, Laut Natuna Utara, sampai ke Perbatasan laut Jawa.
“Dalam sejarahnya Raja Haji sudah membentuk koalisi Nusantara dan sudah berkirim surat ke raja nusantara bahwa akan ada perang besar, akan tetapi pasukan raja-raja Jawa tertahan di Batavia karena kekuatan Belanda waktu itu memang sangat besar sehingga tak sampat ke laut Kepulauan Riau, akan tetapi Raja haji sudah dibantu oleh Kesultanan disepanjang Sumatra Timur sampai ke Sumatra Selatan dan inilah pasukannya,” katanya.
Datok Malik menyebut akar sejarah masyarakat Rempang adalah darah pejuang sampai proses kemerdekaan Republik Indonesia. “Jadi ketika warga Rempang ingin digusur, bangsa kita tidak memahami sejarah,” katanya.
Untuk itu Datok malik menyebut memindahkan masyarakat Pulau Rempang hanya akan menyebabkan mereka kehilangan jejak historis sebagai masyarakat yang memiliki jiwa patriotisme dan para pejuang bangsa dari Kepulauan Riau.
“Masyarakat nantinya akan kehilangan warisan cagar budaya dan warisan budaya tak benda yang sampai saat ini diwariskan oleh anak cucu masyarakat Melayu Rempang-Galang,” ungkapnya.
Datok Malik menyebut masyarakat Pulau Rempang adalah pemilik sah dari wilayah rempang dari warisan nenek moyangnnya.
Dirinya menyayangkan bahwa pemerintah seharusnya membantu mengurus legal-formal segala bentuk legalitas pertanahan mereka dari nenek moyangnnya.
“Itulah sebabnya tanah di Kepulauan Riau tak bersurat karena tanah itu sudah mereka tempati secara turun-temurun dari warisan para pejuang bangsa yang menciptakan negara bernama Republik Indonesia, kalau begini maka kita tidak menghargai perjuangan nenek moyang kita,” tambahnya.
Datok Malik menyebut jika kondisi ini masih terdapat Raja haji, maka akan dibantah habis-habisan. “Raja Haji memiliki prinsip membangun tak boleh menyengsarakan rakyat, membangun tak boleh mempermalukan rakyat, dan tak boleh membuat rakyat berlari histeris,” ungkapnya.