Prof. Nurudin: Perjuangan Bangsa Palestina Lewat Karya Sastra Perlawanan

0
244

EDURANEWS, JAKARTA. Sastra sebagai refleksi terhadap realita tidak hanya berupa gagasan dan pikiran dari kepentingan sastrawan, tetapi juga realitas sosial budaya dan politik. Itulah yang coba Prof. Nurudin uraikan dalam orasinya yang bertajuk “Sastra dan Perlawanan Bangsa Palestina (Semiotika dalam Puisi Karya Ibrahim Thuqan dan Mahmud Darwisy”  di Aula Latief Hendraningrat Gedung Dewi Sartika UNJ (21/11). 

Perlawanan bangsa Palestina terhadap zionis Israel menjadi realitas kehidupan  yang menjadi inspirasi bagi para sastrawan melalui karya sastra. Sastra Perlawanan bagi Prof. Nurudin menjadi ladang gerakan perubahan. Dalam konteks bangsa Palestina yang mengalami represi, sastra perlawanan menjadi alat untuk menentang  kekuatan yang mendominasi dan menindas. 

Tujuan utama dari sastra perlawanan adalah untuk memotivasi dan memobilisasi masyarakat untuk melawan atau mengubah keadaaan yang tidak adil. Sastra perlawanan fokus pada isu-isu yang bersifat sosial, politik, dan ekonomi seperti ketidakadilan, penindasan, korupsi, dan kebijakan diskriminatif lainnya. 

Dalam konteks bangsa Palestina karya sastra puisi atau syair  seringkali menggunakan simbol-simbol khusus dan ikonografi  untuk mempresentasikan perjuangan terhadap ketidakadilan  yang dialami bangsa Palestina. 

Prof. Nurudin menggunakan analisa semiotika  yang menyoroti bagaimana bahasa digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politis dan dan emosional. Teori semiotika dapat digunakan untuk menggali lebih dalam makna dan pesan yang tersembunyi dalam karya sastra. 

Prof. Nurudin menyoroti puisi arab modern  yang mengalami pembaharuan dalam bentuk , sudah tidak kaku mengikuti kaidah puisi-puisi lama, seperti irama dan sajak. Prof. Nurudin menjelajahi  puisi perlawanan karya Ibrahim Thuqan (w.1941) yang berjudul “Mauthiny” (Tanah airku) dan Mahmud Darwisy (w. 2008) yang berjudul “An Insan” (Tentang Manusia).

Ibrahim Thuqan mengungkapkan perlawanan bangsa Palestina secara terbuka dengan menggambarkan kesedihan terhadap kondisi negaranya  dengan frasa, “duh tanah airku”. Yang dalam gambarannya bangsa Palestina  penuh kemuliaan, kebahagian dan kedamaian yang tinggal kenangan. Setelah menggambarkan keadaan bangsa Palestina, Ibrahim Thuqan mengajak  rakyat Palestina khususnya pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. 

Begitu pula dalam puisi “An Insan” Mahmud Darwisy (w.2008). Ia menggambarkan kekejaman dengan “Mereka mengambil (merampas) makanan, pakaian, dan bendera”. Serta simbol kejahatan psikis yang menjauhkan mereka dari orang-orang terdekat dengan menggambarkan, “Mereka mengasingkannya dari setiap yang dicintainya”.

Bagi Prof. Nurudin sastra perlawanan dalam karya sastra Arab merupakan karya sastra sebagai alat untuk menyuarakan perlawanan terhadap berbagai bentuk penindasan, perampasan hak, ketidakadilan, dan kejahatan lainnya.