EDURANEWS, JAKARTA. Konsep dasar mekanisme kelindan dapat dilihat dari konsep literasi yang hanya dipandang sebatas membaca dan menulis menjadi praktik sosial. Hal itu diungkapkan Prof. Eva Leiliyanti dalam orasinya yang bertajuk “Kelindan Linguistik, Literasi, Sastra dan Kajian Budaya” di Aula Latief Hendraningrat Gedung Dewi Sartika UNJ (21/11).
Prof. Eva Leiliyanti menjelaskan literasi harus dipandang sebagai rangkaian kesatuan pembelajaran, yang meliputi berpikir kritis, pedagogi kritis dan literasi kritis itu sendiri. Di sini ada praktik isu kuasa dalam teks sambil merefleksikan laku perbuatan, identitas, keadaan dan representasi diri lewat ‘jokes’ yang di awal dipaparkannya.
Bagi Prof. Eva Leiliyanti, seorang peneliti tidak hanya sekedar menilik siapa atau apa saja yang berpartisipasi atau aksi yang dilakukan, tetapi juga partisipan (ibu, telur, uang) merepresentasikan apa atau membawa identitas seperti apa?
Pertanyaan-pertanyaan kritis pun muncul, misal mengapa harus ibu yang ke pasar membeli telur? Apakah ada isu yang bersifat misogynistic? Apakah terkait isu sosial? Di sinilah menurut Prof. Eva Leiliyanti kajian budaya tidak melulu berbicara mengenai budaya adiluhung tetapi juga gaya/cara pandang hidup dan perkembangan praktik budaya keseharian terjadi.
Bersama tim peneliti, Prof. Eva Leiliyanti banyak mengembangkan ke dalam penelitian yang tidak hanya di bidang linguistik dan kajian budaya, tetapi juga mengelindan dengan bidang pendidikan, sastra dan lingkungan.
Misalnya menggali kearifan lokal masyarakat Desa Pematang Gadung dengan mengidentifikasi dan membandingkan pola/struktur dongeng yang diceritakan lisan turun temurun. Lalu mendesain purwarupa dalam pembuatan animasi dua dimensi, monolog, podcast, video story telling, puppet show dan video dokumenter. Alih wahana ini menjadi penting agar menjadi bahan dalam TOT dan pendampingan terhadap siswa SMP dan SMA.