Ular Kobra itu menggelepar dijepit ujung tongkat kayu. Sementara wajahnya yang sangar sudah terlihat pasrah, memelas, tidak terlihat lagi kesangarannya. Ketika tongkat menimpa kepalanya, remuklah kepalanya dan seiring dengan itu matanya meredup. Dan wafatlah sang Kobra.
Kematian sang Kobra yang memasuki rumah manusia, tragis, mencuri tidak dan niat “mengganggupun” tidak, hanya “numpang” lewat memburu tikus makanan kesukaannya. Namun sang penghuni rumah menganggap kehadiran Kobra sebagai ancaman. Kobra mati mengenaskan seperti pencuri kue karena kelaparan tertangkap dan tewas dihakimi massa.
Kenapa kobra harus dibunuh? Manusia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan ular, seperti sleeping wih the enemy. Tidur dan bermalam bersama ular berbisa dalam satu rumah, sungguh sangat menyiksa.
Banyak manusia bernasib seperti ular kobra, hidup di tempat yang dianggap bukan pada habitatnya dan tidak saja karena kita diangap bahaya, namun mungkin dianggap sebagai penganggu kenyamanan seseorang atau suatu kelompok.
Suatu masa, juga kita pernah bernasib seperti kobra, dikuyo-kuyo bahkan terancam jiwanya. Namun di lain waktu kita juga menjadi manusia yang mengusir bahkan membunuh kobra. Tidak peduli status, pendidikan dan kekayaan kita, dapat saja kita berlaku seperti manusia pengusir “kobra”. Ketika melihat seseorang memasuki lingkungan kita, dan kita merasa terancam secara ekonomi, sosial atau lainnya. Dan rasanya kita pengen “getok” saja tuh kepala si “kobra”. Kalau perlu dihabisi nyawanya.
Kasihan si Kobra, nasib membawamu mati digetok manusia, karena salah mencari tempat hidup.
Untuk itu daripada mikirin Kobra, sekarang saya sedang menikmati es selendang Mayang, karena tergiur oleh tayangan kuliner di layar televisi.
Tetap ya rasanya memang makjleb, lazziiis. Rasa gurihnya santan dan manisnya gula jawa disertai glosoran sejenis kue lapis terbuat dari tepung kanji.
Kalau sudah begini, saya sudah tidak peduli mau ada kobra kek, apa kekā¦
Bodo amat.
Selamat malam Minggu.
BSA/11/7/20