Pascasarjana UNJ Selenggarakan Monthly International Programme

0
65
Foto: Wakil Rektor Biang Akademik Universitas Negeri jakarta Profesor Suyono menyampaikan sambutan pembukaan diskusi

EDURANEWS, Jakarta-Pascasarjana Universitas Negeri jakarta selenggarakan diskusi rutin dengan program kegiatan Monthly International Programme: Language, Society and Education merupakan kajian rutin Pascasarjana UNJ dengan narasumber dari berbagai mancanegara (17/02).

Monthly International Programme kali ini bertema “Examining Indonesia’s Sociolinguistic Situation-From Diglossia to Superglossia” dilakukan secara daring yang disiarkan melalui kanal youtube PASCASARJANA UNJ OFFICIAL.

Narasumber Kajian tersebut antara lain Subhan Zein Ph.D dari Australian National University, Canberra dan Hywel Coleman dari University of Leeds, UK. Honorary Senior Research Fellow in The School of Education University of Leeds, Visiting Lecturer UNJ, selaku moderator.

Menurut Prof Suyono Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Negeri Jakarta dalam sambutannya menyebut Program ini adalah bagian dari visi pascasarjana UNJ bereputasi di kawasan Asia.

Baca Juga: PKJS UNJ Selenggarakan Lokakarya Metodologi Penelitian dan Penciptaan Karya Seni

Prof Suyono menambahkan diskusi tersebut merupakan kolaborasi dengan universitas-universitas di luar negeri agar UNJ akan berkembang dan dikenal secara internasional.

Prof Suyono berharap Program diskusi tersebut dapat menginspirasi para mahasiswa pascasarjana UNJ terutama untuk membantu riset-riset mereka.

Foto: Direktur Pascasarjana UNJ Profesor Dedi Purwana menyampaikan sambutan pembukaan diskusi

Direktur Pascasarjana UNJ Profesor Dedi Purwana menyebut program tersebut merupakan rangkaian kegiatan rutin Pascasarjana UNJ bernama “Monthly International Languange Society and Education Zoominar”.

Direktur Pascasarjana UNJ itu menyebut Program tersebut adalah bagian dari visi pascasarjana UNJ sebagai kampus bereputasi di kawasan Asia dan berharap dapat bermanfaat.

Dalam materinya Subhan menyampaikan hasil analisisnya yang menunjukan bahwa konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya dalam sociolinguistic tidak cukup untuk menjelaskan kompleksitas yang ada didalam ekologi linguistic yang ada di Indonesia.

Menurut Subhan, konsep-konsep seperti diglossia, complex diglossia dan polyglossia gagal dalam meneliti situasi sociolinguistic di Indonesia.

Menurutnya konsep tersebut dirasa gagal untuk memperhitungkan kompleksitas, dinamisme dan polycentricity dari ekologi linguistic di Indonesia.

Menurut Subhan peniliti dari barat seperti Lauren Zentz misalnya, memiliki skeptisisme yang menyebut sesungguhnya orang Indonesia tidak berbahasa Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya literasi di Indonesia.

Subhan membantah hal tersebut dengan data dari badan sensus yang menunjukan tingkat literasi di Indonesia mencapai 92.08 persen pada tahun 2010.

Subhan menyadari bahwa bahasa indonesia sebagai bahasa itu sangat luas, ide tentang bahasa Indonesia pada dasarnya bisa mengandung derivatif dimana hal itu memerlukan data sophistication (kecanggihan data) untuk memahaminya.

Fenomena lain menurut Subhan yaitu adanya penggantian bahasa, dari yang sebelumnya menggunakan bahasa daerah kini menggunakan bahasa Indonesia.

Menurut Subhan bahwa orang-orang Indonesia dapat membaca dan berbicara bahasa Indonesia, namun tidak berarti menguasai bahasa Indonesia.

Pada diskusi tersebut, Subhan juga menyoroti terkait kurangnnya kesadaran dalam mengidentifikasi berbagai macam hal yang sebenarnya dapat diteliti lebih lanjut seperti penggunaan bahasa yang digunakan selebritis  “sesuatu banget”, “sultan”, dan itu menjadi hal yang familiar dan digunakan secara umum.

Selain itu Subhan juga melihat kontekstualisasi sensus bahasa terutama terkait pertanyaan: “apakah anda dapat menggunakan bahasa indonesia” yang menurutnya, Pertanyaan itu cukup ambigu dan dapat diintepretasikan bermacam-macam dalam sebuah sensus.

Subhan menyebut kesulitan dari badan sensus untuk menghasilkan kecanggihan data berasal dari sulitnya mengeluarkan pertanyaan yang spesifik, karena untuk menambahkan satu pertanyaan tambahan memerlukan tambahan biaya sebesar 2 milyar rupiah, sesuai dari peraturan Kementerian terkait.

Subhan juga tak lepas mengomentari persoalan penggunaan bahasa campuran dan menghimbau para peneliti mengkaji kekayaan dan keragaman persoalan tersebut sebagai bagian dari kebebasan berekspresi linguistik.

“Orang-orang sekarang lebih serba bisa, lebih dinamis dan lebih bebas dalam menyampaikan ide-idenya dalam komunikasi yang dilakukan, dan media sosial memberikan mereka platform. Karena itulah kita menemukan istilah seperti “jujurly”, “sultan” atau “bigiminisi” sebagai bentuk kebebasan berekspresi secara linguistik,” tegasnya.

“Penggunaan bahasa campur-campur” menunjukan keberagaman dan kreativitas orang-orang Indonesia. Itu bukan sesuatu untuk dicela, ya kan? Itu bukan sesuatu untuk diejek kan? Itu adalah sesuatu untuk diinvestigasi. Sikap kita terhadap “bahasa campur-campur” sudah berubah banyak sejak dari zaman orde baru, “terangnya.