EDURANEWS, Jakarta- Bertempat di Hotel Grand Sahid Jakarta, Universitas Negeri Jakarta menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan Fakultas Ilmu Pendidikan-Jurusan Ilmu Pendidikan (FIP-JIP) 2021 (09/11). Kegiatan tersebut merupakan program rutin dua tahunan Fakultas Ilmu Pendidikan-Jurusan Ilmu Pendidikan kampus LPTK Indonesia.
Prof. Dr. Muhadjir Effendy M.A.P, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI itu memberikan pandangan tentang peran strategis pendidikan, terutama kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi negara dalam orasinya.
Prof Muhadjir mengisahkan peta jalan pendidikan di Indonesia. Menurutnya, masa pendidikan dimulai dengan masa prenata (seribu hari pertama kehidupan anak) hingga berkembang pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan atas.
Menariknya, prof Muhadjir menyebut pada jenjang pendidikan tinggi atau kuliah dianggap sebagai opportunity cost, yaitu penundaan masa produktif untuk mendapatkan penghasilan ekonomi dengan meningkatkan kapasitas melalui pendidikan tinggi.
Dalam konsep itu menurut Muhadjir, penundaan tersebut dapat menghasilkan kelipatan penghasilan bagi individu kedepannya dari peningkatan kapasitas tersebut dalam dunia kerja. Akan tetapi faktanya, menurut Prof Muhadjir banyak lulusan pendidikan menengah menjadi pekerja asisten rumah tangga atau lulusan S1 menjadi supir.
Baca Juga: Rektor UNJ: FIP-JIP 2021 wujudkan Kolaborasi Ciptakan Pendidikan Unggul
Muhadjir melihat kondisi tersebut terjadi akibat adanya degradasi pendidikan. “Lapangan kerja yang mestinya cukup untuk para juru saat ini diisi oleh mereka yang levelnya vokasional bahkan professional. Ini menjadi tantangan pendidikan kedepan. Tugas kita kedepan memastikan dunia pendidikan menghasilkan manusia yang mumpuni dengan penghasilan yang lebih baik,”katanya.
Prof Muhadjir juga berkisah tentang fenomena pembangunan besar-besaran sekolah Inpres masa Presiden Soeharto yang menurutnya dapat terealisasi akibat oil boom. Menurutnya, semangat SD Inpres waktu itu adalah mengurangi angka buta huruf, sehingga orientasi pendidikan hanya berfokus pada aspek baca, tulis dan hitung (Calistung).
menurut Prof Muhadjir ketika dirinya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, isu yang seksi dalam dunia pendidikan waktu itu mengenai sekolah rusak yang kebetulan sekolah tersebut juga bekas SD Inpres. dirinya memuat kebijakan pembangunan besar-besaran dengan harapan tidak hanya fisik bangunan yang berubah, tetapi mindset sekolahnya juga berubah sebagai basic education bukan orientasi pemberantasan buta huruf semata.
Prof Muhadjir juga menyebut persoalan pendidikan menengah saat ini terkait dengan ketidaksesuaian antara sekolah dengan dunia kerja (link and Match). Untuk itu, Prof Muhadjir melihat pada masa ini pemerintah mesti fokus memperbanyak pendidikan vokasi terutama pada level pendidikan tinggi.
“Periode kedua ini mestinya pemerintah fokus memperbanyak pendidikan vokasi pada level pendidikan tinggi. Akan tetapi, sampai saat ini belum terlihat gerakan masif bagaimana merombak dan memformat pendidikan tinggi yang terlalu banyak pendidikan formal akademis menjadi pendidikan vokasional,”katanya.
Menurut Prof Muhadjir jika angkatan kerja tenaga professional terlalu banyak dan tenaga keterampilan tinggi kurang, maka kondisi tersebut akan menciptakan pengangguran besar-besaran. Prof Muhadjir berharap kegiatan FIP-JIP dapat menemukan rekomendasi yang terkait dengan merumuskan teori-teori yang applicable dengan pendidikan di Indonesia terutama dalam menghadapi fase bonus demografi saat ini.
Menurut prof Muhadjir bonus demografi atau demografi deviden merupakan keadaan negara dengan golongan angkatan kerja yang produktif jumlahnya lebih banyak dari pada mereka yang tidak produktif, seperti usia prenata, usia sekolah menengah termasuk mereka yang sedang menempuh perguruan tinggi serta usia lanjut 65 ke atas sebagai golongan tidak produktif.
Ketika usia produktif lebih banyak ketimbang usia tidak produktif kata Prof Muhadjir, golongan tersebut akan menciptakan penghasilan yang berguna bagi dirinya sendiri secara baik, bisa mencukupi penghasilan mereka yang tidak produktif dan menabung. Semakin banyak orang menerapkan prinsip tersebut maka tabungan agregat tersebut akan menjadi tabungan negara yang dapat digunakan untuk investasi.
“Kalau tabungan dari usia produktif melimpah itulah modal utama kita akan mengubah negara dari negara pendapatan menengah menjadi negara pendapatan tinggi,”katanya.
Prof Muhadjir berujar, jika tabungan nasional membesar, maka dengan kondisi tersebut, negara tidak memerlukan hutang untuk investasi. Akan tetapi, menurut Muhadjir, kondisi lebih lanjut yang tidak kalah penting adalah mengantisipasi bonus demografi ketika angkatan kerja usia produktif berubah menjadi aging population yaitu pergeseran generasi produktif menjadi tidak produktif.
Menurut Prof Muhadjir, ketika sudah terjadi pergeseran tersebut, kelompok aging population menjadi banyak, sementara angka kelahiran semakin sedikit, ditambah kelompok aging population tidak memiliki tabungan hari tua, maka negara akan menanggung beban kelompok tidak produktif tersebut dalam hal jaminan sosial-kesehatan mereka.
Menurut Prof Muhadjir, jika representasi kondisi tersebut terjadi dan semakin membesar, maka bahaya untuk negara adalah munculnya middle income trap, sebuah fase negara terjebak pada pendapatan menengah. “penghasilan menengah itu banyak tidak, sedikit juga tidak, seperti kaya tidak, miskin juga tidak,”katanya.
Prof Muhadjir menyebut, dalam kondisi middle income trap biasanya negara akan lebih rentan menjadi miskin. Menurut Prof Muhadjir, itulah bahayanya bonus demografi yang tidak diantisipasi secara serius. Jangan sampai menurut Prof Muhadjir hanya dilihat dari kacamata optimisnya semata.
Muhadjir berharap keluaran kegiatan FIP-JIP 2021 dapat mengkaji persoalan tersebut dengan teori-teori pendidikan dan applicable dan berguna mengatasi persoalan bangsa yang dirinya jabarkan.