“Sekolah yang memerdekakan itu tidak mungkin bisa lepas dari akar masyarakatnya“
EDURA NEWS (Jakarta)- Pada 20 Juni 2000, Toto Rahardjo dan Sri Wahyaningsih mendirikan “sekolah kehidupan” bernama Sanggar Anak Alam (SALAM) di sebuah perkampungan Bantul Yogyakarta. Kampung itu adalah Nitiprayan, di mana SALAM dihidupi oleh partisipasi warganya.
Sekolah ini tak hanya menekankan kepada pembelajaran di dalam kelas. Pembelajaran partisipatoris bersama lingkungan sekitar menjadi bagian dari Salam.
Dari sini, SALAM menjadi sekolah yang tak lepas dari ‘geografis kelokalan’ yang memacu demokratisasi dengan memupuk nilai-nilai kolektivitas dan kemandirian. Kemandirian yang dimaksud terkait dengan; cara pandang, metode belajar mengajar, media yang digunakan, sumber-sumber logistik, pendanaan serta adat istiadat yang bersumber dari komunitas setempat.
Salam sekolah yang disebut juga sebagai sekolah pinggir sawah ini juga memang dibuat dekat dengan warga dan masyarakatnya. Inilah yang dipercayai Salam dan juga lembaga pendidikan lainnya; sekolah harus bersinergi dengan masyarakat. Proses pembelajaran di Salam sengaja dibentuk dan diproses anak-anak sebagai proses bermasyarakat juga.
Lokalitas kampung
SALAM menjadi sekolah yang memerdekakan dengan mengacu kepada kebutuhan dasar manusia yaitu : Pangan, Kesehatan, Lingkungan, dan Sosial Budaya. Isu dasar itu menjadikan Salam sebagai sekolah yang menitikberatkan kepada kehidupan sosial masyarakatnya. Sekolah tidak beku, namun cair masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan warga Nitiprayan.
Oleh karena itu pembelajaran di SALAM diidentikan dengan pembelajaran sehari-hari diambil dari nilai lokalitas Kampung Nitiprayan. Misalnya SALAM bersama warga tani Nitiprayan mengadakan upacara Wiwit Panen. Upacara panen ini sudah hampir tak lagi diadakan di kampung Nitiprayan.
Satu hal yang perlu diketahui, Salam memadukan pembelajaran yang “gembira” dan berakar dari masyarakatnya. Salam identik juga sebagai sekolah berbasis komunitas. Salam diuntungkan dengan Kampung Nitiprayan yang disebut juga sebagai kampung seniman. Keduanya saling isi-mengisi, keduanya saling mengajar-belajar.
Dengan itu SALAM mengajarkan bahwa sekolah yang memerdekakan itu tidak mungkin bisa lepas dari akar masyarakatnya yang dalam keseharian memberikan makna hidup dalam kebudayaannya.
Sumber : https://www.salamyogyakarta.com/