Pelajaran penting dapat dipetik dari penyelesaian damai dalam konflik Aceh dan Maluku. Universitas memiliki peran dalam menjaga aras restorasi. Menjadikan perjanjian Helsinki dan Malino tonggak penting persaudaraan.
EDURANEWS, JAKARTA- 15 Agustus 2005, tepat hari ini 15 tahun perjanjian Helsinki ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Penyelesaian konflik ini menjadi sukses stori bagaimana mengelola sebuah konflik.
Untuk menggali sukses stori itu, Pusat Penelitian Sosial, Humaniora Ekonomi LPPM UNJ dan Dewan Senat Indonesia mengadakan webinar dengan tajuk “Menjaga Keutuhan NKRI Belajar dari Penyelesaian Konflik Secara Damai di Aceh dan Maluku” (14/8). Webinar ini mencoba menggali lebih jauh cerita dibalik suksesnya proses perdamaian di Aceh dan Maluku.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil berkisah di webinar ini. Saat itu, ia turut aktif menemui dan mengakomodir semua komplain dari GAM. Mulai dari penyerahan senjata sampai tahanan politik. Dalam perjalanannya, perjanjian Helsinki terus dimonitoring.
“Yang krusial pada saat itu mengenai pendirian partai lokal di Aceh,” ungkap Sofyan Djalil yang pernah menjadi negosiator perjanjian damai Aceh di Helsinki. Sofyan Djalil meyakini ada lesson learning yang dapat diambil dari perjanjian Helsinki.
Juha Christensen yang secara aktif ikut dalam beberapa perundingan juga menceritakan pengalamannya. Juni 2003, Juha Christensen pertama kali bertemu dengan pimpinan GAM di Stockholm. Juha juga aktif komunikasi dengan pemerintah untuk mempersiapkan kesepakatan bersama untuk berunding. Poin-poin penting itulah yang nantinya dicatat menjadi MOU dalam perjanjian damai. Juha mengatakan perundingan ini tidak akan tercapai jika tidak adanya keseriusan dari pemerintah saat itu.
Proses menjadi lebih mudah ketika Pemerintah Indonesia mengizinkan adanya pihak ketiga dalam perundingan. Adanya pihak ketiga juga menjadi poin penting dalam proses perdamaian. Ketika itu proses perundingan yang menjadi fasilitator adalah mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.
“Kami sangat bangga Finlandia diterima sebagai perantara untuk menyelesaikan konflik ini,” ucap Juha.
Belajar dari Maluku
Selain belajar dari penyelesaian konflik di Aceh, webinar ini juga memberikan catatan penting mengenai penyelesaian konflik di Maluku. Tony Pariela mengatakan konflik Maluku yang sudah berakhir telah menyisakan pembelajaran yang sangat penting bagi masyarakat Maluku.
Konflik Maluku berlangsung lama. Konflik yang berakar dalam karena menyentuh simbol identitas privat dan eksklusif. Akar permasalahan diyakini ada di struktur masyarakat.
“Dampak destruktif secara bertahap mengalami restorasi yang signifikan,” ungkap Pariela yang pernah menjadi negosiator perjanjian damai Ambon Malino 2.
Penyelesain konflik di Maluku juga dapat diselesaikan karena berakar pada kebudayaan lokal. Konflik di Maluku dianggap sebagai konflik agama. Selama masa restorasi, kearifan lokal telah mengikat toleransi beragama.
“Pela gandong adalah ideologi persaudaraan,” kata Mus Huliselan, “dalam budaya pela gandong saling melindungi antar agama yang berbeda. Pela gandong menjadi nilai utama toleransi keragaman yang mengikat persaudaraan di Maluku,” lanjutnya
Peran universitas
Pelajaran penting dapat dipetik dari penyelesaian damai dalam konflik Aceh dan Maluku. Universitas memiliki peran dalam menjaga aras restorasi, Menjadikan perjanjian Helsinki dan Malino yang menjadi tonggak penting persaudaraan.
“Universitas adalah otak peradaban, universitas membentuk budaya inklusif,” ucap Hafidz Abbas.
Webinar ini juga diharapkan menjadi bahan catatan penting kedepannya yang dapat diterbitkan menjadi produk akademik.
“Semoga webinar ini menghasilkan produk akademik yang monumental dalam menyambut HUT RI ke-75, berupa model-model penyelesaian konflik secara Damai di Indonesia,” ucap Rektor UNJ Komarudin Sahid.