RUU Sisdiknas Perlu Mengakomodir Kesejahteraan Guru dan Dosen

0
91
Foto: Satriawan Salim Koodinator P2G saat menjadi narasumber diskusi bertema "Membedah dan Menyempurnakan RUU Sisdiknas Baru Tahun 2022" di Gedung UTC-Kampus UNJ, Rawamangun, Jakarta Timur.

EDURANEWS, JAKARTA-RUU Sisdiknas Tahun 2022 yang saat ini tengah digodok pemerintah dalam hal ini Kemdikbudristek untuk menggabungkan UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen dan UU Pendidikan Tinggi sebagai omnibus law menuai polemik.

Satriawan Salim Koordinator P2G menyebut awal proses uji publik RUU Sisdiknas kurang melibatkan proses partisipasi bermakna.

Hal ini Dirinya sampaikan usai menjadi narasumber diskusi bertema “Membedah dan Menyempurnakan RUU Sisdiknas Tahun 2022” di Gedung UTC, Kampus UNJ (22/09).

Menurutnya, partisipasi bermakna melibatkan hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk diberi tanggapan atas pendapatnya.

“Kami hanya diberikan waktu lima menit menanggapi dalam proses uji publik RUU Sisdiknas, sebagai UU besar tentu tidak sesuai dengan partisipasi bermakna sesuai keputusan mahkamah konstitusi,”

Menurut Satriawan klausul LPTK dalam RUU Sisdiknas tidak tercantum sama sekali, padahal kata dia, di UU Guru dan Dosen pada pasal satu ketentuan umum sudah disebutkan tentang LPTK.  

“Padahal LPTK adalah lembaga yang menghasilkan calon-calon guru,”

Selain itu, Satriawan juga menyebut terjadi degradasi hak guru dan dosen dalam pokok isi RUU Sisdiknas menyangkut aspek kesejahteraan karena tidak tertuang secara eksplisit perihal tunjangan. Hal ini menurutnya berbanding terbalik dengan UU Guru dan Dosen.

Menurut Satriawan bahwa payung hukum kesejahteraan guru dalam RUU Sisdiknas baru akan mengacu pada UU ASN dan UU Ketenagakerjaan yang saat ini menjadi UU Cipta Kerja.

Permasalahannya kata Satriawan bahwa UU ASN misalnya tidak menyebut secara eksplisit tunjangan bagi guru dan dosen, sementara Menteri Nadiem memberi acuan tunjangan guru ASN pada UU ASN. 

Hal ini juga terjadi pada jaminan kesejahteraan guru non-ASN yang menurutnya keliru jika mengacu pada UU Ketenagakerjaan yang saat ini menjadi UU Cipta Kerja karena menciptakan relasi industri.

‘Ini bagi kami adalah cara pandang yang sangat keliru karena relasi guru dengan yayasan bukan relasi antara buruh dengan pemilik modal (perusahaan),”

Menurutnya, UU Sisdiknas harus mampu mewadahi secara eksplisit tunjangan guru baik ASN maupun non-ASN. 

“Mengapa tidak UU Sisdiknas saja yang mengatur tunjangan guru dan dosen secara spesifik sebagaimana yang terkandung dalam UU Guru dan Dosen itu harapan kami,”

Satriawan mengapresiasi langkah Baleg DPR RI yang menunda RUU Sisdiknas untuk masuk Prolegnas. Menurutnya, hal ini dapat menjadi upaya bersama untuk memberikan masukan terbaik agar RUU Sisdiknas sesuai harapan stakeholder pendidikan.

“Ini adalah pekerjaan mulia dan jangka panjang yang akan menentukan kualitas manusia Indonesia 30 atau 50 tahun kedepan,”