Pada tanggal 1 Juni 2024, kita kembali memperingati Hari Lahir Pancasila, sebuah momen bersejarah yang merayakan dasar negara Indonesia yang kaya akan nilai-nilai kebersamaan dan keberagaman. Pancasila, yang dirumuskan oleh para founding fathers melalui proses yang panjang dan reflektif, mengakui dan merangkul pluralitas bangsa Indonesia. Melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” Pancasila menyatukan berbagai perbedaan menjadi satu kesatuan yang harmonis. Tahun ini, tema peringatan Hari Lahir Pancasila adalah “Pancasila Jiwa Pemersatu Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045,” yang menekankan pentingnya Pancasila sebagai pilar persatuan dalam perjalanan bangsa menuju masa depan yang gemilang. Dalam semangat inilah kita diingatkan untuk merayakan keberagaman dengan memakai pakaian adat tradisional. Namun, muncul pertanyaan penting: apa makna dari ‘kepantasan’ dalam penggunaan busana adat tersebut?
Isu Kepantasan: Menurut Siapa
Dalam konteks ini, ‘kepantasan’ menjadi isu yang kompleks dan sensitif. Kepantasan menurut siapa? Menurut yang memakai pakaian tersebut atau menurut yang melihat? Pemahaman tentang kepantasan ini sering kali bersifat subjektif dan ambigu. Ambiguitas ini muncul karena standar kepantasan bisa berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya tergantung pada latar belakang budaya, norma sosial, dan perspektif pribadi. Apa yang dianggap pantas oleh seseorang dalam satu budaya mungkin dianggap tidak pantas oleh orang lain dalam budaya yang berbeda. Misalnya, pakaian adat dari suku tertentu mungkin mengandung makna simbolis dan dianggap sangat pantas dalam konteks budaya mereka, tetapi bisa terlihat aneh atau tidak sesuai bagi orang yang tidak memahami konteks tersebut.
Ambiguitas ini menimbulkan berbagai pertanyaan kritis. Apakah yang melihat berhak menilai budaya pihak yang berbeda? Penilaian dari luar sering kali tidak mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma internal dari budaya yang sedang dinilai. Hal ini dapat mengarah pada ketidakadilan dan ketidakpahaman yang mendalam. Dalam masyarakat yang multikultural, penting untuk membuka ruang diskusi yang lebih inklusif dan empatik. Diskusi tersebut harus mencakup pemahaman bahwa setiap budaya memiliki standar kepantasannya sendiri dan standar tersebut sah dan layak dihormati. Oleh karena itu, menilai kepantasan harus dilakukan dengan mempertimbangkan perspektif orang yang menjalani dan menghargai budaya tersebut.
Ruang Diskusi yang Inklusif
Ruang diskusi yang diharapkan adalah ruang di mana ada saling pengertian dan penghargaan antara berbagai budaya. Diskusi ini harus didasari oleh prinsip-prinsip multikulturalisme, di mana setiap budaya dilihat sebagai bagian dari kekayaan yang memperkaya masyarakat secara keseluruhan. Dalam diskusi ini, penting untuk mempromosikan cultural relativism di mana penilaian terhadap budaya dilakukan dari dalam budaya itu sendiri, bukan dari luar. Dengan demikian, kita dapat menghindari bias etnosentris dan membangun masyarakat yang lebih harmonis dan saling menghargai. Mewujudkan ruang diskusi yang inklusif seperti ini adalah langkah penting menuju penerimaan dan penghargaan terhadap keberagaman budaya yang pada akhirnya menguatkan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar negara kita.
Cultural Relativism dan Etnosentrisme
Kajian antropologi tentang keberagaman mengenal konsep cultural relativism yang mengajarkan bahwa penilaian terhadap budaya tidak boleh dilakukan dengan kacamata budaya lain, melainkan dengan kacamata budaya tersebut. Artinya, setiap budaya harus dinilai berdasarkan standar dan nilai-nilai internalnya sendiri. Dengan demikian, apa yang dianggap pantas dalam satu budaya mungkin berbeda dengan budaya lain. Misalnya, pakaian adat yang dipakai oleh suku tertentu mungkin memiliki makna dan nilai yang mendalam bagi mereka, meskipun terlihat asing atau tidak biasa bagi orang luar. Sebaliknya, etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menilai budaya lain berdasarkan standar dan nilai-nilai budaya kita sendiri. Ini sering kali mengarah pada pandangan yang bias dan merendahkan budaya lain. Ketika seseorang menilai pakaian adat suku lain tidak pantas hanya karena berbeda dari apa yang biasa mereka lihat, mereka melakukan tindakan etnosentrisme. Hal ini bisa merusak hubungan antarbudaya dan menghambat upaya untuk mencapai pemahaman dan penghargaan yang lebih dalam terhadap keberagaman.
Apresiasi Terhadap Keberagaman
Konteks multikulturalisme mengharapkan apresiasi terhadap kebersamaan dalam keberagaman, dan bukan justifikasi hitam-putih tentang apa yang pantas dan tidak pantas. Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia merupakan kekayaan yang harus kita hargai dan rayakan. Dengan memahami bahwa setiap budaya memiliki akar dan proses yang berbeda, kita bisa lebih menghargai perbedaan tersebut.
Multikulturalisme mengajarkan kita untuk melihat nilai dalam setiap budaya dan untuk menciptakan ruang dialog yang memungkinkan pemahaman bersama. Dialog ini penting untuk membangun harmoni dalam masyarakat yang multikultural. Pemahaman bukan berarti harus sepaham, tetapi mengerti dan mengakui adanya keberagaman. Dalam semangat Pancasila, kita diajak untuk mengatasi perbedaan dan bekerja sama dalam kebersamaan.
Menghadirkan Kepantasan dalam Keberagaman
Menghadapi isu kepantasan dalam penggunaan busana adat, kita perlu mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan empatik. Kita harus mengakui bahwa setiap budaya memiliki nilai dan makna tersendiri yang layak dihormati. Oleh karena itu, penilaian tentang kepantasan seharusnya tidak hanya berdasarkan pandangan satu kelompok budaya saja, melainkan mempertimbangkan perspektif dari berbagai budaya yang ada.
Penting bagi kita untuk menghindari pandangan etnosentris dan mengadopsi pandangan yang lebih relativistik dalam menilai budaya lain. Dengan demikian, kita bisa menghindari bias dan prasangka yang merusak dan sebaliknya membangun penghargaan yang lebih dalam terhadap keberagaman budaya.
Bhineka Tunggal Ika: Mewujudkan Kesatuan dalam Keberagaman
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” mengajarkan kita bahwa meskipun berbeda-beda, kita tetap satu kesatuan. Konsep ini sangat relevan dalam konteks peringatan Hari Lahir Pancasila. Keberagaman budaya di Indonesia bukanlah sesuatu yang harus kita hindari atau takutkan, tetapi sesuatu yang harus kita rayakan dan hargai. Melalui keberagaman inilah kita bisa belajar satu sama lain dan memperkaya pemahaman kita tentang dunia. Dalam praktiknya, kita bisa mulai dengan membuka ruang dialog dan saling belajar antarbudaya. Misalnya, dengan mengadakan acara-acara budaya yang memungkinkan setiap suku untuk menunjukkan keunikan mereka, kita bisa meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap keberagaman. Selain itu, pendidikan multikultural di sekolah-sekolah juga penting untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan sejak dini.
Kesimpulan
Dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila, mari kita renungkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Isu kepantasan dalam penggunaan busana adat mengingatkan kita akan pentingnya mengadopsi pandangan yang lebih inklusif dan empatik dalam menilai budaya lain. Dengan menghindari etnosentrisme dan mengadopsi cultural relativism, kita bisa membangun penghargaan yang lebih dalam terhadap keberagaman budaya.
Mari kita rayakan keberagaman ini sebagai kekayaan yang menyatukan kita dalam satu kesatuan. Dengan memahami dan menghargai perbedaan, kita bisa mewujudkan harmoni dan kesatuan dalam keberagaman sesuai dengan semangat Pancasila. Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2024. Semoga semangat kebersamaan dalam keberagaman selalu menyertai kita dalam setiap langkah menuju masa depan yang lebih baik, menuju Indonesia Emas 2045.