Ramadhan dan hari Tari Sedunia Sebagai Pintu Liminalitas Seniman Tari Menyongsong Pasca Pandemi

0
215

EDURANEWS, JAKARTA: Tahun ini Hari Tari Dunia diperingati dalam suasana yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya peringatan hari tari dunia diselenggarakan dengan berbagai acara yang memobilisasi seniman tari selama 24 jam penuh. Namun bulan Ramadhan dan pandemi covid 19 memaksa para seniman tari melakukan manuver dalam selebrasinya. Tentu ini bukan kebetulan apabila kita dapat menyikapi secara cerdas dan bijak. Berbarengan dengan ini, Pademi Covid 19 ternyata masih menyelimuti masyarakat dunia. Tak ada yang bisa mengelak atau escape dari kondisi ini. Lalu apa makna dari semua ini? Bagaimana cara menyikapi yang paling cerdas dan bijak? Mari kita urai satu persatu.

Ramadhan merupakan ruang perenungan yang suci untuk merefleksi segala sikap dan perbuatan selama setahun terakhir, sebelum akhirnya tiba di hari lebaran yang kembali suci. Selama bulan Ramadhan aktivitas secara fisik tentu harus lebih diperhitungkan agar dapat menjalankan ibadah secara optimal. Sementara itu, Pandemi Covid-19 telah merubah total sistem perilaku masyarakat dalam berinteraksi. Hal ini berdampak luar biasa terhadap komunitas seniman tari sebagai salah satu bidang seni pertunjukan. Praktek berkesenian yang memerlukan keterlibatan banyak pihak, baik pelaku maupun penonton ternyata harus menghadapi realita dimana terjadi pembatasan aktivitas dan mobilitas secara fisik. Dunia serasa berhenti; dan seni pertunjukan jelas pasukan terdepan yang terdampak. Berbagai persoalan bermunculan, di antaranya dengan mandegnya bisnis dunia seni pertunjukan, sistem pewarisan terkendala secara teknis akibat tidak bisa bertatap muka langsung, kreativitas dan pengelolaan seni budaya tradisi terkendala, dan sebagainya. Bagaimana memaknai dan mencari jalan keluar dalam menghadapi situasi yang sulit ini?

Merujuk pada kajian Turner (1967) tentang simbol ritual disebutkan bahwa liminalitas merupakan teori peralihan dalam sistem ritus. Ritus dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu rites of passages dan rites of affliction. Diartikan bahwa rites of passages merupakan ritus dari krisis hidup yang digunakan untuk menandai siklus hidup manusia, sejak dalam kandungan, hidup hingga kematian. Sedangkan rites of affliction merupakan ritus yang digunakan untuk menangkal adanya gangguan roh jahat, makhluk yang mengganggu atau gangguan-gangguan eksternal lainnya. Dalam prinsip liminalitas, yang berasal dari kata limen (pengalaman ambang) diartikan sebagai kondisi ketidakberdayaan yang dialami seseorang ketika berada di ruang antara. Ada satu masa di mana seseorang akan terjebak dalam situasi semacam itu, mungkin ketika pingsan, ketika transisi fase kehidupan, ketika mengalami situasi yang luar biasa atau di bawah kesadaran. Pada saat tersebut, seseorang akan mendapatkan pengalaman anti struktur, misalnya dunia terbalik, tanpa gravitasi, terlepas dari dimensi ruang dan waktu, dan sebagainya. Ketika berada dalam posisi ini seseorang akan merefleksi diri terhadap seluruh pengalaman hidup yang pernah dijalani, sehingga terjadi semacam pembentukan ulang (formatting) dalam sikap dan perilaku selanjutnya. Sekeluarnya dari ruang liminalitas ini, seseorang akan memiliki kehidupan baru yang lebih stabil dan berbeda dengan kehidupan sebelumnya.

Siklus liminalitas terdiri dari 3 bagian, yaitu pemisahan (separation), pertengahan (liminality), dan pengintegrasian kembali (reagregation). Proses liminalitas berlangsung dengan 3 tahap sebagai berikut:

Bagan 1. Proses Liminalitas

Dalam proses liminalitas ini, seseorang akan terlepas dari status asli dan terpisah dalam ruang dan waktu. Pada tahap berikutnya pada diri seseorang akan terjadi ambigu karena keterasingannya, tidak lagi berada dalam status lama, tetapi juga belum masuk ke status baru. Tahap akhir, seseorang akan sampai pada status baru yang stabil dan memiliki hak serta kewajiban yang nyata. Berbagai contoh dapat ditunjukkan dari pengalaman orang-orang dari berbagai suku di dunia. Dalam situs YouTube misalnya:

https://www.youtube.com/watch?v=HWlKLhJW_P8, https://www.youtube.com/watch?v=gyTJciOLJNA, https://www.youtube.com/watch?v=7zBOPRs1yRE,

dan sebagainya ditunjukkan bagaimana pengalaman orang-orang yang mengalami peristiwa memasuki ruang liminalitas, serta ada yang bahkan dihadirkan untuk kepentingan pengobatan.

Berdasarkan pengalaman memasuki ruang liminalitas tersebut di atas, momentum Ramadhan dan Pandemi Covid-19 ini dapat dianalogikan sebagai ruang liminal bagi para seniman untuk merefleksi diri. Kondisi di ruang peralihan tentu saja akan merasa sangat terasing, menyakitkan, ambigu dan anti struktur. Bagaimana tidak? Kehidupan berkesenian yang semula normal, stabil, bahkan saling berkejaran untuk mencapai berbagai achievement, tetiba harus memasuki ruang antara yang tak terbayangkan sebelumnya. Tak pernah ada dalam perhitungan atau dugaan sekalipun bahwa seniman akan berada pada situasi dimana tidak ada tempat lagi untuk menghindar. Semua harus diterima dan dijalani. Persis seperti memasuki ruang liminalitas dalam konsep liminalitas Victor Turner. Bertepatan dengan peringatan hari tari dunia, berlangsung pula pada bulan Ramadhan di mana semua umat muslim memasuki masa untuk perenungan dan penjernihan diri agar terlahir kembali menjadi insan yang suci. Tanpa bermaksud menggurui, menghadapi momentum penting ini, maka yang perlu dilakukan oleh para seniman tari di antaranya adalah merefleksi diri dan memformat ulang agar lebih siap menghadapi kehidupan mendatang pasca Pandemi.

Satu hal yang penting selama masa reflecting dan formatting adalah keterlibatan teknologi mutakhir dalam komunikasi, pengolahan bahan, pelaksanaan kegiatan dan berbagai kebutuhan berkesenian. Ketika masa Pandemi, teknologi mutakhir yang bisa mewakili interaksi langsung menjadi interaksi virtual menjadi kebutuhan pokok. Prediksi ke depan, setelah Pandemi berlalu bisa dipastikan bahwa penggunaan media teknologi mutakhir tidak akan pernah bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, cara cerdas dan bijak yang bisa disarankan untuk berkesenian pasca Pandemi adalah penguasaan artistik berkesenian dan penguasaan teknologi mutakhir. Ketrampilan ini akan embedded (menempel) pada diri seniman dalam kelancaran berkesenian. Seniman yang sekedar menguasai teknik artistik akan dikalahkan oleh seniman yang menguasai teknik artistik sekaligus menguasai teknologi mutakhir.

Sebagai epilog narasi ini, mengingat pengalaman ketubuhan (embodiment) sebagaimana yang diuraikan oleh Ponty (1974) dalam Phenomenology Perception yang mengatakan bahwa manusia memeroleh pengetahuan dari pengalaman ketubuhannya. Tubuh adalah media untuk memahami dunia. Tubuh adalah sarana untuk memersepsi dan merasakan bagaimana hadirnya segala sensasi keduniawian. Sesuai dengan aktivitas dalam seni tari, segala fenomena alam merupakan stimulus dan bahan terpenting dalam proses penciptaan tari, yang diserap melalui sensasi gerak tubuh. Oleh karena itu, momentum hari Tari Dunia pada bulan Ramadhan dan Pandemi ini hendaknya menjadi pintu liminalitas yang mengantarkan seniman tari menyongsong pasca Pandemi yang lebih baik. Terimakasih.

 

Happy world dance day

When you dance, your purpose is not  to get to a certain place on the floor. It’s to enjoy each step along the way (wayne Dyer)