Home Blog Page 6

Citra ‘Bapak’ Soeharto Yang Penuh Teror Dalam Film Autobiography

0

Menonton Autobiography berarti menonton bagaimana negara Orde Baru bekerja. Meskipun terlihat sederhana karena menampilkan hubungan pensiunan jenderal Pak Purnawinata (Arswendy Bening Swara) dan pembantunya Rakib (Kevin Ardilova), citra Bapak Soeharto yang memproduksi kekerasan terus mendominasi memori kolektif yang mengingatkan kita akan Orde Baru.

Orde Baru sebagai produsen kekerasan budaya dan politik beroperasi  atas dasar ideologi famili-isme ini. Bapak Soeharto menjalankan negara sebagai citra keluarga jawa yang menjadikan negara diasuhnya seperti mengelola keluarga ala jawa. Dan Autobiography menjadi semacam diorama kekerasan yang memunculkan memori kolektif Bapak Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya dengan citra Pak Purna yang seorang kakek sayang cucu itu. 

Energi destruktif Pak Purna terus ditanamkan dalam tubuh patuh Rakib. Tentunya Tubuh patuh Rakib adalah tubuh yang paling lemah dalam rumah itu. Hildred Geertz dalam bukunya Keluarga Jawa (1983), mengatakan bahwa setiap anggota keluarga adalah pribadi yang tunggal yang dipengaruhi salah satunya unsur pertalian keluarga. Meskipun unsur paling lemah, bagi orang jawa pertalian keluarga adalah salah satu yang paling penting. Tubuh patuh Rakib adalah tubuh ideologis yang terpenting dalam rumah itu karena  Pak Purna menganggap rakib sebagai anak laki-lakinya. Privilege yang didapatkan sebagai supir pribadi dan hubungan bapak-anak ini Rakib mulai merasakan perbedaannya saat makan, konflik dengan warga, hingga dipanggil ‘sersan’ oleh orang-orang. Ia mirip tentara karena  memakai pakaian Jenderal Purnawinata. 

Yang di awal-awal film ini kita disajikan tubuh patuh itu perlahan-lahan akan menjelma menjadi tubuh mesin nan arogansi, pelindung tuannya. Memberikan ekspresi Rakib yang begitu dekat lewat spion mobil dalam, memperhatikan bagaimana sang jenderal mencopot sepatu.

Kita mesti memeriksa lebih lanjut apakah upaya kekerasan yang dilakukan Pak Purna adalah karena kekuasaan atau sekedar tubuh penuh kepatuhan? Benarkah Rakib menjadi mesin yang melanggengkan kekerasan ?

Ideologi Keluarga 

Saya Sasaki Shiraishi dalam buku Pahlawan-Pahlawan Belia Keluarga Indonesia dalam Politik (2009) menjelaskan ideologi famili-isme ini dapat dilacak dalam perkembangan Taman Siswa. Soetatmo Soerjokoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara ‘bapak pendidikan’ inilah yang memberikan pondasi dalam ideologi famili-isme menjadi model dalam menjalankan negara ala keluarga. Taman Siswa meletakkan ideologi bagaimana sebuah organisasi dijalankan atas dasar kekeluargaan. Soetatmo mengajukan konsep keluarga dalam menjalankan negara yang akan memperbaiki demokrasi. Negara akan lebih baik jika nilai persaudaraan, kesetaraan, kasih sayang ini muncul jika hubungan dalam negara  itu dapat dirajut seperti  keluarga. Ideologi famili-isme ini diajukan sebagai hubungan penganti gusti-kaula. Dalam Orde Baru hubungan bapak-ibu dalam ideologi famili-isme mendominasi sampai ke sendi-sendi lembaga pemerintahan, sekolah, militer hingga rumah tangga. Yang sampai hari ini sisa-sisa ideologi itu masih bertahan dan luput dilupakan. Ben Anderson menjelaskan pelanggengan kekuasaan negara dapat langgeng jika lembaga keagamaan, keluarg

Di rumah itu, Pak Purna adalah sang majikan dan tubuh kecil Rakib adalah seorang pembantu yang tubuhnya penuh kepatuhan. Maka tubuh Pak Purna adalah ‘Bapak’ dan tubuh Rakib adalah ‘anak’ yang mesti patuh dengan apa yang diucapkan dan tindakan sang bapak layaknya mesin. Rakib juga adalah supir sekaligus pembantu yang bertugas antar jemput, masak, dan mencuci di rumah itu. Untuk menutupi akar-akar kekerasannya  Rakib diajarkan moralitas melalui kata ‘maaf’, ‘tenang’, ‘aman’. 

Suasana kengerian bisa terjadi di mana saja tak terkecuali di meja makan.  Soewito menjadi sasaran amarah dengan ejekan yang diberikan Pak Purnawinata,

“Kamu masih ingat waktu dulu saya merekomendasikan kamu masuk sekolah polisi padahal kamu berenang saja enggak bisa.” 

Dengan teknik pengambilan gambar yang natural terkesan tidak sempurna sehingga menimbulkan gambar distorsi telah menambah efek kengerian yang tercipta karena mampu menangkap mimik  Soewito yang tertekan. Sebagai tubuh yang patuh Soewito hanya diam mendengarkan. Inilah yang membuat terkesan gambar-gambar yang dihasilkan Autobiography begitu dekat karena mampu mewakili rasa tubuh-tubuh patuh Rakib, Soewito, dan Pak Amir kepada penonton.

Kengerian tubuh patuh itu juga tercermin saat di rumah sakit. Pengambilan gambar yang one take dengan teknik mengikuti tubuh Rakib yang menggambarkan perasaan gusar, takut dan kebingungan. Tubuh patuh itu kebingungan bahkan saat di rumah pun ia tak menyapa Pak Purna. 

Agresi tubuh kuasa Pak Purna yang penuh kendali ditunjukan saat tubuh patuh Rakib dimandikan. Tone warna merah dalam film sangat menggambarkan kengerian seutuhnya bagi tubuh patuh Rakib. Sekaligus ini menjadi momen paling horor dibandingkan dengan peristiwa yang melibatkan senjata dan darah. Kendali Bapak sangat kuat kepada anaknya.

Peristiwa Antar Jemput

Autobiography memberikan wacana antar jemput ini menjadi stigma memori kolektif. Kegiatan antar jemput ini menurut Saya Sasaki ini menjadi obsesi nasional serta memiliki memori kolektif yang berbeda beda mengenai tafsir dalam sejarah kekerasan budaya di Indonesia. 

Kita mungkin ingat, di awal peristiwa antar jemput ini adalah hubungan kekeluargaan yang baik. Kemurahan hati seorang bocah Rakib yang tulus mengantarkan sang pensiunan Jenderal ini. Hingga berubah menjadi peristiwa kekerasan penuh darah  mengantar sang jenderal pada kebun tebu. Ia dieksekusi oleh tubuh yang coba ia kendalikan dan tuliskan biografinya.  

Berbeda dengan peristiwa antar jemput ketika Rakib menjemput Agus (Yusuf Mahardika). Bisa dibilang ini adalah peristiwa penjemputan paksa yang dilakukan oleh Rakib karena ia memiliki kuasa sebagai supir pensiunan jenderal Purnawinata. Arogansi di sini muncul, akar-akar kekerasan yang ditanamkan dalam tubuh patuh Rakib menjadikannya bertindak sebagai pelindung tuan karena peristiwa perusakan spanduk pilkada. 

“Gampang kok kamu tinggal ikut sama saya nanti pulangnya saya anterin ke sini,” ucap Rakib. Nyatanya tubuh Agus tidak pernah benar-benar diantar pulang.

Dalam adegan penjemputan ini terlihat arogansi dan kenikmatan yang dirasakan Rakib. Di sini pula repetisi tindakan apa yang ia lakukan mereplika apa yang sudah dilakukan jenderal kepadanya dengan kata ‘tenang’ dan ‘maaf’.  Selain dari setelan baju, Rakib telah meniru tindakan dan bahasa dari sang pensiunan jenderal. 

Selain catur, teh/kopi, dan rokok, kita dapat menelusuri citra Bapak Soeharto dari pakaian yang dikenakan Pak Purna. Misalkan Pak Purna ketika berpidato dihadapan masyarakat ia mengenakan batik. OG. Reader dalam bukunya Soeharto Anak Desa, menyebutkan bahwa Soeharto adalah penemu diplomasi baju batik di Orde Baru, senang menggunakan jam tangan di kiri meski berbeda dengan Pak Purna di sebelah kanan. Serta gaya berpidato di depan warga dengan himbauan adalah gaya Soeharto. Catur memang bukan representasi Soeharto karena ia lebih suka main golf dan bowling. Dan mengurus kuda-kuda. Pak Purna lebih senang makan mie instan dibanding Bapak Soeharto yang menyukai nasi dan ikan asin. Meski sedikit berbeda keduanya memiliki stigma teror dalam ucapan dan tindakan yang dilakukannya.  

Dan justru yang paling horor adalah ketika kemiripan Jenderal Purna dan Bapak Soeharto saat tersenyum dan menunjukan ketenangan, kebaikan, kasih sayang kepada tubuh-tubuh patuh. Bahkan saat menjelang ajalnya di kebun tebu itu ia sempat tersenyum tipis. Kemenangan pensiunan jenderal ini begitu terasa karena ia telah berhasil  menuliskan biografinya ke dalam tubuh patuh Rakib.

Tubuh Mesin dan Tubuh Patuh

Untuk melacak tubuh Rakib yang patuh itu F. Budi Hardiman dalam buku Massa, Teror, dan Trauma (2010) menegaskan bahwa kekuasaan itu dapat langgeng karena ditopang oleh-tubuh-tubuh yang patuh. Menurut F. Budi Hardiman kekuasaan menghasilkan kepatuhan. Di sini kita mengerti, tubuh Rakib semula adalah tubuh patuh yang akan menjelma tubuh mesin yang terhubung juga dengan tubuh mesin lainnya dan dikontrol oleh tubuh rezim yang mendominasi. Sifat kepatuhan ini bergerak menurut skema-skema objektif; komando, norma, ideologi sehingga membentuk tubuh mesin yang disiplin yang dapat melakukan repetisi. Tubuh-tubuh patuh bak mesin inilah yang sebenarnya menjadi penopang kekuasaan.  

Bagi. F. Budi Hardiman tubuh mesin  yang disiplin ini terbentuk karena adanya motif kenikmatan dan survival. Inilah yang terjadi ketika Rakib begitu menikmati tubuhnya bergerak sesuai kehendaknya untuk menginvestigasi bocah SMA, Agus sebagai pelaku perusakan spanduk pilkada Pak Purna. Alasan survival sangat tergambar ketika Rakib mengobrol kembali dengan bapaknya. Yang penting ‘selamet’ dan ‘sehat’. Dorongan inilah yang membuat Rakib mengeksekusi Pak Purna

Ketakutan dan teror tidak pernah mengenal waktu dia terus ada dan diwariskan dengan segala cara. Tapi ia butuh tubuh-tubuh penuh kepatuhan untuk melanggengkan kekuasaan, dan persis ketika Pak Purna ini ingin mewariskan ideologinya dengan dominasi budaya yang dimilikinya ia sangat leluasa mengendalikan tubuh penuh kepatuhan Rakib, yang menjelma menjadi tubuh mesin yang akan mewarisi sisi terang dan gelap dari sang pensiunan Jenderal. 

Selain Rakib, tubuh patuh Soewito (Lukman Sardi) sebagai polisi yang merupakan anak asuh Pak Purnawinata ini sangat menggambarkan kengerian tersendiri dengan kemurungan, tekanan dan sikap diamnya. Nyaris di dalam film Autobiography, dalam tubuh patuh Soewito sering memperkuat tubuh kuasa Purnawinata yang ditopang oleh tubuh patuh Rakib dan Soewito ketika pensiunan jenderal ini mencoba meredam kemarahan warga dengan memberikan wejangan setelah sholat jenazah. Nyaris tubuh patuh Soewito itu selalu murung, diam, dan tertekan seperti banyak pertanyaan di kepalanya.

Kematian dan kematian. Inilah peristiwa yang menyadarkan Rakib si tubuh patuh ini mulai mengontrol tubuhnya sendiri menjadi tubuh yang memberontak. Setelah kematian Agus, Rakib mengalami pergolakan batin untuk memutuskan apakah ia harus tetap menjadi tubuh yang patuh dan disiplin atau mengikuti kehendak bebasnya?

 Kita tahu Rakib telah memilih mengakhiri hidup sang pensiunan Jenderal Purnawinata, tapi Purnawinata telah berhasil menanamkan akar-akar kekerasan pada Rakib sebagai pewaris sah ideologi sang jenderal. Ia menjadi pedagog teror, mendidik tubuh-tubuh patuh itu yang mewarisi kekerasan yang terus memproduksi kekerasan secara ulang-alik. Saya meyakini, kehororan film ini bukan karena peristiwa berdarah, tetapi lebih kepada pembentukan ideologi keluarga yang mendominasi tubuh-tubuh patuh untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara-cara sederhana dan memikat; batik, catur, rokok, antar jemput, mie instan, meja makan, kasih sayang, kamar mandi.. 

Hingga menciptakan efek trauma bagi siapa saja yang memiliki pengalaman yang sama menjadi tubuh patuh Rakib. 

Autobiography dapat dinikmati di Primevideo bagi yang belum pernah menyelami kengerian lewat tubuh rakib.

Ketika Barang-Barang Menyimpan Memori Kesedihan

0

Mengapa mengembalikan barang bisa menyebabkan kesedihan yang berkepanjangan?

Sebenarnya, apa yang Nawapol Thamrongrattanarit pikirkan ketika pertama kali menggarap Film Happy Old Year (2019) yang di mana ia mengolah filmnya dengan kesederhanaan namun penuh kesedihan di setiap adegan dalam film ini. 

Dengan durasi film yang lumayan panjang, Nawapol benar-benar menyajikan presentasi film yang padat akan cerita, dialog yang sederhana, konflik yang ‘diam’ karena banyak pergulatan batin begitu sangat performatif mengoyak-ngoyak kesedihan di setiap aktor yang memerankan dalam film ini. 

Jika ada film yang begitu indah berbicara tentang barang-barang pribadi namun banyak menyimpan memori; keindahan, kesenangan, kesedihan, barangkali Happy Old Year salah satu juaranya. 

Happy Old Year jelas membawa kejeniusan sutradara Nawapol yang sangat menjanjikan akan perkembangan film Asia Tenggara. Bagi siapa saja yang menyukai akting yang sederhana tanpa banyak kata-kata, Happy Old Year akan memberikan banyak kejutan.

Romansa yang dibangun dalam film ini menyajikan konflik yang begitu mendalam bagi orang-orang yang terlibat dari pikiran Jean (Chutimon Chuengcharoe) yang ingin membebaskan dirinya dari barang-barang yang menumpuk di rumahnya selepas ia pulang dari Swiss.  Ia sangat menyukai hidup yang minimalis.

Kamera yang menyorot bagian rumah-rumah Jean, dengan mengikuti orang-orang di dalamnya terasa sangat menyentuh. Sangat menggambarkan bagaimana barang-barang itu menjadi bagian yang sangat mendalam bagi yang memilikinya. 

Kita akan dihadapkan pada perubahan-perubahan sikap yang dialami Jean yang mencoba membuat ‘black hole’ bagian barang apapun yang akan ia buang akan menghilang begitu saja . Namun Jean salah besar, ternyata barang-barang yang baginya tidak penting, begitu sangat berharga bagi orang yang memiliki kenangan dari barang itu.

Jean agak kaget ketika teman dekat sekaligus desainer rumahnya yang akan merombak habis rumahnya itu yakni Pink (Patcha  Kitchaicharoen) mempertanyakan mengapa membuang disket berisi lagu-lagu yang pernah diberikannya saat Jean ulang tahun.

Waktu ke waktu Jean benar-benar mulai menyadari bahwa dirinya harus menyelesaikan masa lalunya ketika bertemu dengan barang-barang mantannya  Aim (Sunny Suwanmethanon) berupa kamera. 

Jean menyadari ada beberapa barang yang harus dikembalikan kepada orang-orang yang ingin menyimpan memorinya; kamera, sabuk, foto, anting,  biola dan lainnya. Ia pun dihadapi dengan respon orang-orang yang ditemuinya saat barang itu dikembalikan. 

Kresek menjadi simbol yang mengundang kesedihan. Di dalam kresek-kresek itulah Jean menyimpan barang-barang  yang akan disingkirkannya, mungkin saja barang dapat disingkirkan tetapi memori akan sulit untuk dilupakan.  Beberapa adegan yang menampilkan kresek-kresek itu bukan saja menjelma ‘black hole’ yang mampu menyerap barang untuk  mudah untuk dilupakan, tetapi menyimpan memori yang sulit untuk dilupakan.  

Konflik mendalam tidak hanya Jean dapatkan dari mantannya Aim. Ia pun mendapati konflik yang mendalam dari Ibunya (Apasiri Nitibhon). Adegan saat Jean menelpon ayahnya untuk menjual piano, dengan momen hening yang panjang jelas-jelas menggambarkan kesedihan yang mendalam baginya. Juga saat ia menjual piano itu tanpa persetujuan Ibunya. 

Jean, meskipun ia yang paling banyak menyingkirkan barang-barang di rumahnya itu, ia adalah orang yang paling menanggung derita atas memori yang tersimpan dalam barang-barang itu.

Mengembalikan barang dan kata maaf tidak cukup untuk menyelesaikan masa lalu yang begitu rumit, penuh luka dan kesedihan. 

 

Poirot, Logika dan Bayang-Bayang Kematian

0

Apakah  kesengsaraan dan dosa masa lalu dapat dibayar dengan kematian-kematian ?

Hercule Poirot (Kenneth Branagh) detektif yang sudah pensiun dengan segala ketajaman berpikirnya kembali mengajak masuk ke nuansa kelam, horor, serta dentuman kematian di sebuah Palazzo. 

Film A Haunting In Venice menawarkan presentasi yang berbeda dari dua film sebelumnya; Murder on the Orient Express (2017) dan Death on the Nile (2022). 

Poirot ditampilkan dengan agak berbeda dari dua sekuel sebelumnya. Ada sisi kemanusian yang berbeda dalam karakter Poirot, ia bergulat dengan segala logikanya melawan sebuah manipulasi horor mengenai hantu-hantu.  Segala kepintarannya mulai diragukan ketika harus melawan hantu-hantu. 

Di sini Poirot bukan saja berhadapan dengan kasus kriminal pembunuhan  yang harus dipecahkan, ia juga melawan logikanya yang mulai diganggu karena ia telah diracun, mengubahnya untuk mempercayai hantu-hantu.

Visual yang ditawarkan film ini begitu cantik dengan penggambaran kota Venice yang terasa mewah, set visual dari tim produksi ini sukses sekali menggambarkan kota Venice yang megah sekaligus mencekam dari bangunan-bangunan Palazzo Tua. Interaksi orang-orang di dalam kota selalu ditampilkan dengan elegan.   

Narasi-narasi horor dalam penggambaran dendam dari anak-anak juga dikisahkan melalui penggambaran yang artistik dengan pendekatan wayang kertas, gambar bergerak hitam putih untuk memunculkan imaji ketakutan.  

Namun imaji ketakutan dari narasi gambar bergerak itu, yang memang untuk menakuti anak-anak mungkin saja tidak begitu menakutkan dibanding Palazzo itu sendiri yang begitu lembab nan kelam, terutama ketika masuk ke kamar Allicia. 

Apalagi dengan teknik kamera yang agak bergoyang ketika masuk dengan fokus kepada benda-benda yang dimiliki Alicia menambah kesan dramatis kehororan.  

Yang selalu terasa dalam film-film Kenneth Branagh adalah pengenalan tokoh-tokoh dengan pengenalan close up di wajah yang akan memberikan gambaran dari karakter dengan gambaran  psikologi yang mengitarinya. 

Ambil saja sang cenayang Joyce Reynolds (Michelle Yeoh) dengan dialog yang kuat dan meyakinkan ia sangat percaya diri untuk tampil sebagai cenayang yang mampu menjadi medium bagi orang-orang yang telah mati. Yang coba dilawan oleh logika Poirot, ‘hanya sebuah permainan performatif’ dari sang cenayang dan asistennya.

Hal yang sangat-sangat ditunggu dari apa yang dikerjakan Kenneth Branagh, dengan karakter utama Poirot ini adalah sesi wawancara para tokoh yang dilakukannya. Kita akan menyelami karakter-karakter yang ada di dalamnya untuk curiga, mengamini atau menyanggah setiap tanya-jawab itu. 

Rasa bersalah akan kematian orang lain begitu menyiksa bagi beberapa karakter yang akan melihatkan lebih jauh sisi psikologis setiap karakter seperti Rowena Drake (Kelly Reily), Maxime Gerard (Kyle Allen), dan dr. Leslie Ferrier mantan dokter Alicia, Olga Seminoff (Camille Cottin), Vitale Fortfoglio (Riccardo Scamarcio).

Dalam  A Haunting In Venice,  kegamangan akan rasa bersalah atas kematian Alicia dan sekitarnya entah karena masa lalu yang tetap menghantui menjadikan setiap karakter memiliki motif tersendiri.  Wajah-wajah murung penuh kemarahan dan dendam kadang tersimpan dalam tatapan mata, senyuman, bahkan mimik wajah yang meyakinkan atas sanggahan-sanggahan dari pertanyaan yang diajukan Poirot. 

Akankah kematian-kematian yang mengitari Palazzo tua ini akan menyingkap betapa manusia mudah sekali menyalahkan dirinya kepada kematian seseorang hingga ketakutan merongrong begitu jauh memanggil kematian lainnya untuk menebus dosa di antara benar atau salah sikapnya di masa lalu.   

Tragedi Pelanggaran HAM Berat di Pulau Rempang

0

Beberapa hari terakhir ini, media ramai memberitakan proses penggusuran paksa warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Penggusuran itu menjadi sorotan publik setelah, pada 7 Sept. 2023, terjadi bentrokan antara aparat Kepolisian, TNI dan Satpol PP dengan warga setempat yang menolak digusur paksa agar meninggalkan tempat pemukimannya.

Akhirnya aparat menggunakan gas air mata untuk memaksanya berpindah. Bentrokan tidak dapat lagi dihindari, dilaporkan 11 orang korban yang telah dilarikan ke rumah sakit terdekat, 10 di antaranya adalah siswa dan seorang guru. Bentrokan itu terlihat terus berlanjut hingga hari ini  dan bahkan warga terus melakukan perlawanan ke BP Batam yang mengakibatkan bertambahnya enam orang korban luka-luka (CNNI, 11/09/2023).

Meski demikian, warga dalam wadah Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang dan Galang, yang terdampak proyek Eco-City, tetap menolak direlokasi. Alasannya, mereka sudah berada di sana secara turun temurun sejak 1834, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Mereka juga meminta aparat agar menghentikan segala bentuk intimidasi kepada masyarakat, dan juga meminta agar negara mengakui hak kepemilikan Tanah Ulayat mereka.

Dari perspektif HAM, kasus penggusuran paksa di Pulau Rempang ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dengan dasar berikut.

Pertama, merujuk pada Basic Priciples and Guidelines on Development-Based Eviction and Displacement  A/HRC/18, paragraf ke-6, oleh Dewan HAM PBB (2009) dikemukakan:

Forced evictions constitute gross violations of a range of internationally recognized human rights, including the human rights to adequate housing, food, water, health, education, work, security of the person, security of the home, freedom from cruel, inhuman and degrading treatment, and freedom of movement.

Ketentuan PBB ini menyebut penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat yang diakui secara internasional, karena hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan bergerak dan keamanan adalah hak asasi setiap orang.

Penggusuran paksa adalah perlakuan tidak manusiawi dan perlakuan merendahkan martabat seseorang yang semestinya harus dimajukan, dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Penggusuran harus dilakukan secara sah, hanya dalam keadaan luar biasa, dan sepenuhnya harus sesuai dengan aturan HAM internasional dan hukum humaniter.

Kedua, pada Fact Sheet No. 25/Rev.1 yang dikeluarkan oleh PBB pada 2014 tentang Penggusuran Paksa (Forced Evictions), dinyatakan bahwa: Forced evictions violate, directly and indirectly, the full spectrum of civil, cultural, economic, political and social rights enshrined in international instruments.

Kasus penggusuran paksa warga di Pulau Rempang dinilai sebagai pelanggaran HAM berat baik secara langsung atau tidak karena menyentuh seluruh aspek hak sipil, budaya, politik dan sosial yang dilindungi oleh hukum HAM internasional.

Ketiga, merujuk pada Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM penggusuran paksa bagi sekitar 7500 warga Pulau Rempang, agar berpindah dari tempat pemukimannya ke pulau lain atau ke tempat lain (population transfer), pemaksaan eksodus massal, yang menyebabkan warga tercabut dari akar kehidupan sosial budaya dan komunitasnya.

Pemindahan dan pengusiran secara paksa anak-anak dan kelompok penduduk asli Melayu, Orang Laut, dan suku lainnya yang mendiami 16 Kampung Tua di Pulau Rempang dapat dikategorikan sebagai kejahatan genosida (Pasal 8 ayat e), dan kejahatan atas kemanusiaan (Pasal 9 ayat d).

TANGGUNG JAWAB NEGARA

Sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan HAM internasional yang telah diadopsi oleh Dewan HAM PBB (A/HRC/18), disebutkan antara lain: Negara harus memastikan bahwa penyelesaian hukum yang efektif atau tepat tersedia untuk setiap orang yang mengklaim bahwa haknya atas perlindungan terhadap penggusuran paksa telah dilanggar atau terancam dilanggar; Negara harus menahan diri untuk tidak melakukan langkah-langkah retrogresif yang disengaja sehubungan dengan perlindungan de jure atau de facto terhadap penggusuran paksa; dan  Negara harus mengakui bahwa terdapat larangan penggusuran paksa termasuk pemindahan sewenang-wenang yang mengakibatkan perubahan komposisi etnis, agama atau ras dari populasi yang terkena dampak.

Terkait dengan aspek ini, komposisi penduduk di Pulau Rempang tidak boleh berubah, misalnya mereka digantikan dengan warga pendatang dari etnis Jawa, China atau Batak, dsb.

Selanjutnya, negara harus memastikan bahwa penggusuran paksa hanya terjadi dalam keadaan luar biasa. Penggusuran harus dihindari semaksimalnya karena menimbulkan berbagagai ragam dampak buruk dari aspek HAM yang diakui secara internasional. Penggusuran paksa hanya dapat dibenarkan apabila: dibenarkan oleh dasar hukum yang mengikat; dilakukan sesuai dengan hukum HAM internasional; dilakukan semata-mata untuk tujuan memajukan kesejahteraan umum bagi warga miskin; dapat diterima akal sehat dan proporsional; dan, dilakukan setelah adanya kepastian perolehan kompensasi dan rehabilitasi penuh dan adil (paragraf 21).

Karenanya, penggusuran paksa warga di Pulau Rempang tidak boleh dilakukan hanya atas dasar keinginan atau keputusan seorang Menteri atau Bupati, tetapi harus didasarkan pada undang-undang.

Jika penggusuran itu terpaksa harus dilakukan maka terlebih dahulu harus dipastikan bahwa dilakukan semata-mata untuk tujuan memajukan kesejahteraan umum bagi warga di Pulau Rempang, dan dapat dilakukan setelah adanya kepastian kesepakatan perolehan kompensasi dan rehabilitasi penuh dan adil.

PELAKSANAAN PENGGUSURAN PAKSA

Sekiranya semua ketentuan yang digariskan oleh PBB tersebut sudah terpenuhi, dan penggusuran paksa sudah dapat dilakukan, maka prinsip-prinsip berikut tetap harus diperhatikan. Pertama, penggusuran tidak boleh dilakukan dengan cara yang melanggar kehormatan dan HAM mereka atas kehidupan dan keamanan.

Negara juga harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa perempuan tidak menjadi korban kekerasan dan diskriminasi selama pengusuran, dan hak asasi anak dilindungi (paragraf 47).

Kedua, setiap upaya paksa yang dibenarkan secara hukum harus tetap menghormati asas-asas proporsionalitas dan kebutuhan, serta Prinsip-Prinsip Dasar tentang Penggunaan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum atau sesuai dengan aturan setempat yang sesuai dengan penegakan hukum internasional dan standar HAM (paragraf 48).

Ketiga, penggusuran tidak boleh terjadi dalam cuaca buruk, pada malam hari, selama haari raya atau hari libur keagamaan, sebelum penyelenggaraan Pemilu atau Pemilukada, atau selama atau sesaat sebelum jadwal anak-anak mereka mengikuti ujian sekolah (paragraf 49).

Ironis memang, upaya penggusuran paksa yang dilakukan di Pulau Rempang pada 7 Sept lalu, terlihat dilakukan pada saat-saat anak tengah belajar di sekolah sehingga sebagian di antaranya terkena dengan semprotan gas airmata.

Terakhir, sekiranya, penggusuran paksa telah dilakukan sesuai dengan ketentuan panduan HAM PBB, pada fase pasca penggusuran perlu diperhatikan, antara lain: tempat relokasi yang teridentifikasi harus memenuhi kriteria sebagai perumahan yang dinilai layak huni sesuai dengan hukum HAM internasional. Ini termasuk: keamanan kepemilikan; layanan, bahan, fasilitas dan infrastruktur seperti air minum, energi untuk memasak, penerangan, fasilitas sanitasi dan mencuci, sarana penyimpanan makanan, pembuangan sampah, drainase dan pelayanan jika terjadi situasi darurat, dan ketersediaan fasilitas umum yang memadai; perumahan yang terjangkau; perumahan layak huni menyediakan ruang yang memadai bagi penghuni, terlidung dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin atau ancaman lain terhadap kesehatan, bahaya struktural dan penyakit, dan memastikan keamanan fisik penghuni; aksesibilitas untuk kelompok yang disabilitas; akses ke pilihan pekerjaan, layanan perawatan kesehatan, sekolah, sarana pengasuhan anak dan fasilitas sosial lainnya, baik di daerah perkotaan atau pedesaan; dan perumahan yang layak secara budaya. Untuk memastikan keamanan rumah, perumahan yang memadai juga harus mencakup unsur-unsur penting berikut: privasi dan keamanan; partisipasi dalam pengambilan keputusan; bebas dari kekerasan; dan terdapat akses ke pemulihan dan perawatan kesehatan akibat penggusuran yang telah dialami (paragraf 55).

Sekiranya satu negara abai mematuhi ketentuan internasional ini dalam melakukan penggusuran paksa bagi warganya, negara itu dapat menjadi musuh bersama masyarakat internasional.

___________________________________________________

 

*Hafid Abbas, Penulis adalah Ketua Senat dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Komisioner/Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017)

 

Shah Rukhan Gak Cuma Romansa dan Bergoyang

0

Shahrul Khan kembali ke layar lebar, apa hanya menawarkan goyangan?

Setelah Pathaan (2023) menjadi pertanda baik kembalinya Shah Rukh Khan dengan kisah superheronya yang beken, kini ia kembali melalui film yang lebih menggebrak dengan tawaran penyajian yang lebih dramatis dan penuh nuansa kritik melalui Jawan (2023). 

Di bawah arahan Arun Kumar atau yang biasa dengan panggilan Atlee, yang telah membawa karakter Shah Rukh Khan menjadi sorot utama yang tak hanya jenaka, tetapi juga kharismatik.  

Atlee tak hanya membawa film ini ke arah heroik dengan aksi tembak-tembakan pada umumnya, jauh dari itu dia membawa banyak tawaran mulai dari gagasan, kritik sosial, peran perempuan,  isu petani, dan persoalan pelik lainnya yang berasal dari Negara yang rusak-rusakan. 

Cerita-cerita kesedihan dari kesedihan mulai terungkap dari karakter perempuan yang menggebrak di awal film akibat negara yang abai melalui kebijakannya yang nir akal. Mereka adalah Lakshmi (Priyamani), Eeram (Sanya Malhotra), Ishkra (Girija Oak), Kalki (Lehar Khan), Helena (Sanjeeta Bhattacharya). Yang menjadikan film ini mengikis maskulinitas heroik, karena menawarkan perjuangan sebuah perempuan lintas profesi. 

Narasi-narasi kekerasan negara mulai terungkap dari karakter Lakshmi yang harus melihat ayahnya gantung diri akibat Traktornya diambil paksa. Dan Dr. Eeram yang harus menanggung penderitaan karena sebagai dokter ia telah dipaksa menjadi tersangka dari sistem kesehatan yang buruk akibat pejabat-pejabat negara yang korup. 

Dibalik filmnya yang heroik nan penuh romansa dan goyangan karena khasnya musik India, ia menawarkan sesuatu narasi besar yang sangat relevan bagi siapa saja.

Narasi-narasi kekerasan negara dibalut dengan segala rupa sepak terjang Azhaad Rathore (Shah Rukh Khan) yang mengerjai para pejabat yang korup di bidang kesehatan dan pertanian. Dua isu yang sangat relevan di tengah krisis pangan karena el nino. Kita disajikan dua karakter heroik yang diperankan dengan sangat baik oleh Shah Rukh Khan serta karakter villain yang diperankan Vijay Sethupathi. Tentunya karkater Narmada Rai (Nayanthara) menjadi duet epik bagi Azhaad Rathore. Serta kejutan karakter Sanjay Dutt yang jenaka. 

Terlebih isu pemilu di dalam film yang menyajikan suara rakyat begitu penting dalam mempertahankan negara yang korup atau menghancurkannya. Jawan menjadi film heroik  yang menjanjikan, dengan story yang menarik, slow motion yang memikat,  peran perempuan, dan kritik sosial bagi negara yang korup menjadikan film ini sangat layak untuk ditonton. Ternyata, Shah Rukh Khan gak cuma romansa dan bergoyang! 

Menonton dan menarilah sambil memikirkan isu kritik sosial di  film yang mungkin saja relevan dengan kehidupan sehari-hari kita, apalagi menjelang pemilu.

Tragedi Kesunyian: Percakapan Singkat dengan Murakami

0

Mengapa Murakami begitu obsesi dengan narasi sehari-hari yang sederhana?

Ketika menonton Drive My Car film fenomenal garapan Ryusuke Yamaguchi, mengapa tokoh laki-lakinya  Yusuke Kafuku (Hidetoshi Nishijima)  digambarkan begitu tragis: nyaris tak bisa berkata-kata, kekecewaan yang enggan terhempaskan, dan menyisakan percakapan-percakapan sunyi, murung nan memikat.  

Murakami sering menggambarkan tokoh protagonisnya terjebak antara dunia spiritual dan nyata. Hingga bayang-bayang karakternya terutama tokoh laki-lakinya  terasa sangat pendiam, cerdas dan rendah hati. Berbeda dengan tokoh wanitanya yang cenderung aktif.  

Dalam Drive My Car, kita disuguhkan dengan rekaman suara dari kaset istrinya Oto Kafuku (Reika Kirishima), di mana ia pun begitu dominan dalam percakapan bahkan dalam bercinta sekalipun. 

Film pemenang kategori Film Feature Internasional Academy Awards 2022 ini memang langsung diadaptasi dari cerita pendek Haruki Murakami dengan judul yang sama dan beberapa cerita lainnya. 

Dalam beberapa wawancara, Haruki menjelaskan tragedi si laki-laki itu seperti apa yang juga pernah dituliskan oleh Fitzgerald salah satu pengarang paling termahsyur dari Amerika yang menginspirasinya. Ketika itu Murakami membaca dan begitu terpikat dengan ‘The Great Gatsby’ yang juga mengalami tragedi cinta yang menyesakan. 

Ketika mahasiswa ia membaca itu, namun semakin ia membaca lebih jauh dengan umur yang semakin tua, ia menemukan hal yang menakjubkan dari novel itu. Meskipun berbicara hal romansa sehari-hari, hati yang mencari dan kesedihan sangat melekat pada pribadi Murakami.

Tentu ini juga yang dirasakan jika kita mengingat-ingat kembali potongan-potongan scene film Drive My Car dengan wajah murung Yusuke Kafuku (Hidetoshi Nishijima) ditemani supirnya Misaki Watari (Toko Miura) yang memiliki tragedi kesedihan tersendiri, terutama saat ia menceritakan mengapa ia begitu pandai dalam mengemudi mobil, terasa dialog-dialognya sangat memikat sekaligus menyimpan kesedihan yang mendalam. 

Haruki Murakami, pengarang yang sangat menyukai maraton ini begitu gugup jika film yang diadaptasi dari ceritanya itu benar-benar murni dari ceritanya, Untungnya Yamaguchi banyak mengubah plot yang membuat dirinya merasa lega. 

Terkadang dalam proses kreatifnya dalam menulis, kejadian sehari-hari menginspirasinya dalam menulis, misalnya ketika ia menonton sebuah pertandingan baseball. Ia menuliskannya begitu kuat dalam menuliskan narasi. Ada juga cerita sederhana mahasiswa yang entah bertemu dengan seorang wanita namun tak mengingat nama dan wajah, diceritakan dengan sangat sederhana.

Entah dalam film ini, ataupun di cerita-cerita Murakami dalam novel maupun cerita pendeknya, kita selalu disuguhkan narasi yang memikat, sebetulnya apakah sebuah narasi dalam novel atau cerita pendek begitu penting? Murakami menjelaskan narasi sangat penting dalam menulis buku.

“Saya tidak peduli soal teori. Saya tidak peduli soal kosa kata. Bagi saya yang terpenting adalah apakah narasinya bagus atau tidak,” ujarnya. 

    

 

Melampaui Kegilaan Orang-Orang Kota

0

Apakah hidup di kota begitu menakutkan?

Kesepian kapan saja dapat membunuhmu, baik secara tiba-tiba ataupun dengan segera, walau dengan pelan-pelan. Sleep Call (2023) garapan Fajar Nugros ini menggali akar-akar kekerasan dari hal yang sangat sederhana; kesepian.  

Dina (Laura Basuki) adalah perempuan yang kesepian–tubuhnya penuh luka karena kekerasan yang dialaminya dari sang bapak.  Sleep Call menjadi hal yang begitu ambisius menampilkan realitas kehidupan sehari-hari orang kota yang penuh dengan kekerasan, kemunafikan, dan kegilaan tersendiri. 

Mengapa laki-laki dalam film ini terlihat menjadi sumber kerusakan; bapak, Rama (Bio-One), Bayu (Kristo Imanuell), Tommy (Bront Palarae), Iwan (Rukman Rosadi). Kerusakan yang dilakukan laki-laki ini menyebabkan semesta tubuh Dina menjalani lingkaran kekerasan yang tak henti; ancaman dan manipulasi yang mengganggu jiwanya.  

Fajar Nugros sang sutradara menggali fenomena pinjaman online (pinjol) yang menjadi katalis cerita yang akan menyajikan kekerasan, ketakutan, dan kengerian. Dina yang memiliki hutang banyak harus menjalani bisnis ini menjadi penagih hutang. Tubuh perempuan Dina tak berdaya menghadapi lingkaran kekerasan itu, meskipun hiburan satu-satunya adalah Sleep Call. 

Sketsa-sketsa obrolan sederhana Dina dan Rama terkadang terasa keren dan artistik apalagi saat di danau. Mengingatkan pada penyajian Fajar Nugros pada Inang (2022) yang sangat performatif. Mungkin hal yang mengganggu adalah pengemasan kengerian yang kurang terutama dalam penyajian adegan kekerasan.

Apa yang perlu kita yakini adalah problema data pribadi menjadi isu yang begitu sedikit nampak, padahal data pribadi menjadi hal utama yang harus dijaga dengan baik-baik. Dalam hidup di dunia digital, menjaga data pribadi adalah tameng dalam menghidupi dunia maya dan nyata. 

Hidup yang begitu ‘anjing’ mesti harus dirayakan dengan pura-pura. Inilah yang diyakini Dina dengan segala akrobatik hidupnya yang ngos-ngosan. Yang berbahaya dari segalanya adalah sikap baik nan manipulatif dari orang-orang kota yang ditunjukan oleh Tommy dan Rama. 

Kita ditunjukan sebuah ketamakan atas cinta yang palsu; eksploitasi atas tubuh. Di sinilah kegilaan-kegilaan Dina meresap menjadi kekerasan penuh darah untuk mengakhiri segala manipulasi yang didapati tubuhnya secara bertubi-tubi, berputar tak henti-hentinya. 

Kengerian yang ditawarkan dari hidup Dina melampaui kegilaan orang-orang kota yang selalu mengintip dan mengendap-endap masuk dari kulit kita, ketika sedang bekerja, berkaraoke, di tempat kerja ataupun di kereta komuter. 

Meskipun karakter Dina (Laura Basuki) begitu dominan dalam film ini, secara keseluruhan karakter lainnya terutama kawan-kawan palsunya di perusahaan pinjol itu sangat berkarakter dan menawarkan tragedinya masing-masing.  

Entah aku sangat noticed karakter Bella (Della Dartyan) yang mewakili kita orang-orang kota yang selalu menyinyiri hidup. Ceplas-ceplos Bella–’wahyudi emang gak becus ngurus anak– adalah pengakuan bahwa hidup orang-orang kota emang gak sebaik yang dibayangkan. 

Sepertinya hidup di kota yang penuh kegilaan membutuhkan teman nongkrong seperti Bella, nyinyir lalu dengarkan! 

Atau gak juga sih. 

Thiel dan Mengapa Bisnis Harus Monopoli?

0

Apakah bisnis yang bagus harus monopoli?

Ada hal yang sangat menggelitik dalam sebuah pikiran Peter Thiel, dan mungkin saja ini resep yang menarik dalam memandang sebuah bisnis yakni apakah bisnis yang bagus  harus monopoli? Thiel sepertinya memberikan hal yang tak terduga bagi sebuah bisnis jika ingin memenangkan sesuatu, ‘jangan berkompetisi’ sebisa mungkin adalah monopoli’. 

Mengapa kita sangat senang berkompetisi? Bagi Thiel, ini berkaitan dengan apa yang diajarkan oleh sekolah. Sekolah dan masyarakat kita mengajarkan selalu berkompetisi dan mengejar sesuatu yang berbeda. Hal ini disadari Thiel bahwa sekolah kita mengajarkan kompetisi dan menyukai sebuah persaingan. 

Dalam sebuah bisnis, apalagi bisnis yang akan memenangkan pertarungan, Peter Thiel menganjurkan sebuah ‘monopoli’, menghindari segala persaingan. Sehingga bisnis yang dihasilkan sangat spesifik dan sulit dikalahkan. 

Thiel mencontohkan Google dan Tesla. Google adalah contoh perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan monopoli. Cerdiknya, Google tidak menyatakan secara gamblang bahwa mereka adalah perusahaan yang monopoli. 

Ini juga yang menyadarkan Thiel agaknya, banyak perusahaan yang memiliki klaim bisnis yang baik dan memiliki ‘produk’ nomor satu, tetapi sesungguhnya memiliki bisnis dan produk yang lemah. Karena mereka terlalu fokus pada persaingan.  

Tesla dengan kejeniusan Elon Musk juga disukai Thiel. Terkadang bisnis yang baik adalah dimulai atau tumbuh dari komunitas kecil namun memiliki kekuatan monopoli yang dahsyat. 

Inilah yang dilakukan Elon dengan Tesla, menyasar komunitas-komunitas spesifik orang-orang kaya yang menginginkan mobil yang mewah dan tentunya ada sentuhan ‘green’ yang akan menunjukan identitas ‘mewah’ mereka. Saking monopolinya bisnis mereka, tentunya dengan kekuatan teknologi di belakangnya yang sulit ditiru dan digandakan.  

Sebagai investor kawakan, agaknya Thiel yang juga penulis buku Zero to One ini memberikan kita pandangan yang berbeda mengenai bisnis; sebisa mungkin monopolilah! Yang akan memberikan ketakterhinggaan nilai yang akan mempengaruhi orang-orang banyak. 

 

del Toro, Pinocchio, dan Kematian-Kematian lainnya

0

Bagaimana del Toro menampilkan Pinocchio yang begitu intim?

Anak-anak adalah keajaiban yang tak bisa disentuh oleh kematian sekalipun.  del Toro dengan segala kreativitas, kesabaran dan kecintaannya terhadap film, Pinocchio (2022) hadir menjadi film animasi yang begitu menakjubkan dari segi artistik, story, dan penyajian. 

Tidak tanggung-tanggung del Toro dan kawan-kawannya, animator dari Mexico- di bawah arahan ShadowMachine- menggarap Pinocchio selama 15 tahun. Butuh kesabaran, detail yang mempesona, kerja tim yang solid, diskusi yang panjang dan tentunya kecintaan terhadap sebuah film, yang menjadikan Pinocchio bukan hanya sebuah film animasi, tetapi juga sebuah karya seni yang performatif.

Jika Anda menganggap Pinocchio adalah film animasi tentang ‘kehidupan’, bukan, bukan itu yang dimaksud oleh del Toro, justru Pinocchio adalah film tentang ‘kematian’. Perayaan kematian yang dijalani oleh tokoh-tokoh yang ada di dalamnya; dengan simpul bocah ala Pinocchio.  

Lalu mengapa del Toro memilih stop motion dalam menyajikan Pinocchio sebagai bentuk performatifnya?

Pinocchio dengan bentuk stop motionnya mengembalikan citra film dari hal yang sangat purba; ia dibuat dari tangan-tangan terampil. Ia tidak hanya menangkap citra sebuah film, tetapi juga hubungan yang sangat sakral dari pembuat bonekanya yang telah menghasilkan seni tertinggi dari film animasi.  

Seperti sihir, potongan-potongan motion itu bergerak menjadi sebuah pernyataan paling tegas dari del Toro mengenai film adaptasi Pinocchio yang paling intim, yang digarapnya melampaui sebuah film animasi; ini adalah seni!

Geppetto begitu murung dan sedih berkepanjangan semenjak ditinggal Carlo anak lelaki kesayangannya. Pinocchio hadir di dalam hidupnya dengan jiwa bocahnya yang tak seperti Carlo, anak yang selalu menurutinya.

Inilah apa yang dikatakan del Toro di Guillermo del Toro’s Pinocchio: Handcarved Cinema, “Ini tentang siapa diri kita,” ucap del Toro, “jujur pada diri sendiri, dan tak harus berubah untuk dapat diterima.”

Dalam sebuah dokumenter kecil di Netflix itu, del Toro berkisah bagaimana dirinya begitu tertarik mengenai aspek keterasingan dari Pinocchio, mengingatkannya pada sebuah karakter Frankenstein.  Pinocchio begitu asing, bahkan di usianya yang begitu ranum ia hadir ke dunia manusia yang selalu curiga dan tak diterima oleh manusia. Hingga ia membandingkan dirinya dengan Yesus yang dibuat oleh Geppetto yang sama-sama dari kayu. Mengapa ia harus diperlakukan berbeda? Yesus begitu dicintai, sedangkan dirinya begitu dibenci. 

Pinocchio dengan segala tingkahnya yang sangat bocah itu, murni menjadi manusia sepenuhnya. Dengan tingkahnya yang konyol itu Pinocchio mengubah orang-orang yang ada di sekitarnya; Gepetto, Tuan Jangkrik, Spazzatura, dan lainnya. 

Tidak ada kematian yang menggembirakan selain kematian dan kematian yang dialami Pinocchio. Kematian dirayakan dengan gembira karena dengan polosnya ia tahu bahwa dirinya tak akan mati; tertabrak mobil, ditembak Mussolini .

Hal yang paling menyentuh bagi saya adalah ketika dirinya menghancurkan jam pasir untuk dapat segera menolong Geppetto. Dengan tanpa pikir panjang khas bocah, Pinocchio menghancurkan jam pasir itu.  Segala kematian dirayakan dengan takjub.

Jika memang film ini adalah tentang kematian, bukankah Pinnochio yang harus menanggung pelbagai kesedihan karena melihat teman-teman lainnya mati meninggalkannya?

Ia menyadarkan kita dari kematian-kematian untuk merayakan kehidupan sebenarnya lewat mata bocah Pinocchio.

Manusia-Manusia Apartemen: Ketika Kemanusiaan Disingkirkan Demi Hidup

0

Um Tae-hwa sutradara film kelahiran 1980 asal Korea Selatan ini menampilkan Concrete Utopia sebagai film yang patut dicermati tahun ini. Um Tae-hwa menyajikan peristiwa yang siap mengoyak-koyak kemanusiaan kita. Berdiri di antara sikap manusiawi tolong-menolong atau menjadi manusia sebagai serigala yang menghadirkan  akar-akar kekerasan demi bertahan hidup. 

Concrete Utopia menjadi film yang masuk dalam nominasi Academy Award ke 96, sebagai film ‘Best International Feature Film’ tahun 2023. 

Concrete Utopia menjadi film yang begitu lekat dengan cerita orang-orang Korea Selatan dengan simbol apartemen. Apartemen bagi orang korea selatan adalah budaya sehari-hari, mereka hidup dari apartemen ke apartemen. Concrete Utopia menghadirkan pengalaman yang gelap, ia bukan saja film mengenai bencana tetapi juga film yang lekat dengan isu-isu sosial. Kritiknya sosialnya sangat lekat dengan kehidupan kita sekarang, apalagi mengingatkan kita akan pandemi covid 19 yang menghadirkan manusia-manusia nir akal. 

Apartemen itu adalah Hwang Goong, menjadi fokus utama di mana apartemen satu-satunya yang masih kokoh berdiri setalah dihantam gempa bumi.  Pasangan muda  Min Seong (Park Seo-joon) dan Myeong-hwa (Park Bo-young) adalah pasangan yang bertahan di apartemen itu. Min Seong pernah menjadi menjalani wajib militer sebagai tentara dan Myeong-hwa adalah seorang perawat. 

Yang tentunya membuat Myeong-hwa memiliki jiwa penolong, dan mau menampung seorang ibu dan anaknya korban gempa dari apartemen mewah yang ada di sebelahnya. Hwang Goong adalah apartemen murah, kelas menengah yang menampung orang-orang yang memiliki profesi seperti guru dan lainnya. Yang memiliki apartemen harus bekerja keras dan menjadi impian selama puluhan tahun untuk memilikinya. 

Ketika sang ibu menginginkan ia dan anaknya untuk ditampung di apartemennya dengan simbol memberikan syal yang menurutnya itu harganya sangat mahal. Adegan itu menjadi penanda ketimpangan sosial. 

Setelah hantaman gempa bumi  meluluhlantakkan kota Seoul, apartemen Hwang Goong menjadi ‘citra surga’ para penyintas gempa bumi lainnya. Apalagi para penyintas mulai akan menghadapi musim dingin. Status sosial tidak berharga, ketika itu, namun untuk sikap tolong-menolong tidak cukup, mereka harus memikirkan cara karena tidak selamanya mampu menampung orang lain dalam keadaan ini.

Pengalaman gelap pun sering dihadirkan dalam film ini, meski hanya dalam adegan makan, atau mengantri. Konflik sosial akibat  ketimpangan sosial menjadi sumbu pemantik konflik yang mengakibatkan para pemilik apartemen ingin mengusir para pendatang. Apalagi mereka ingat atas arogansi orang-orang pendatang itu yang berasal dari apartemen mewah sebelum gempa telah menghancurkan apartemen mereka. 

Concrete Utopia menyadarkan kita akan pentingnya kepemimpinan dalam kondisi penuh konflik dan kekerasan. Demokrasi untuk memilih pemimpin, mengambil suara, pembagian makanan, menjadi faktor bagaimana mereka mampu bertahan dalam kondisi bencana. 

Isu sosial mengenai kepemilikan apartemen membawa kita kepada hal yang paling hakiki mengenai tindakan seorang pemimpin sementara Young-tak (Lee Byung-hun) yang menjadi sorotan utama dalam tindakan yang dilakukannya. Apakah ia ada di atas nama malaikat atau iblis? Untuk mempertahankan rumah yang tak kunjung ia miliki.  Concrete Utopia mengingatkan kita, di dalam sebuah bencana akan selalu tampil wajah-wajah manusia serigala  yang penuh dengan akar-akar kekerasan.  

Recent Posts