Home Blog Page 52

EDURA UNJ UNTUK DIES NATALIS UNJ KE-56

0
Edura UNJ channel

EDURA UNJ sebagai university business center berperan aktif dalam mengembangkan potensi seluruh civitas akademika. Dalam bidang keolahragaan, unit bisnis ini memiliki misi pendidikan di setiap cabang olah raga, event kejuaraan tingkat pelajar, dan menyalurkan pelatihan professional. Dalam bidang media, ada UNJ PRESS yang menerbitkan buku berkualitas karya dosen, mahasiswa, dan pihak eksternal. Di hari jadi UNJ yang ke-56 , EDURA UNJ berkomitmen memberikan yang terbaik untuk kemajuan universitas

Hymne Universitas Negeri Jakarta

0
edurachannel

Hymne Universitas Negeri Jakarta

Karya: Drs. M. Soeharto

Paduan Suara Universitas Negeri Jakarta & Batavia Chamber Orchestra

Pendidikan Tak Lepas dari Pengaruh Global

0

“Pendidikan nasional masih mengalami persoalan klasik. Ada masalah global yang diidentifikasi sebagai bottleneck yakni pengaruh ideologi dan filosofi. Dan ini menjadi tantangan global bagi ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila dalam merumuskan pendidikan. “

EDURANEWS, JAKARTA – Forum Diskusi Pedagogik (FDP) Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengadakan Webinar bertajuk “Mengenali Sumber Persoalan Bottleneck Pendidikan Nasional untuk Melempangkan Jalan Napas Pendidikan Indonesia (29/7). Obrolan-obrolan mengenai masalah pendidikan itu dilihat dari kacamata kebijakan dan paradigma ekonomi pendidikan yang diulas oleh dua profesor begawan pendidikan yakni Prof. Dr. Sutjipto dan Prof. Dr. Yoyon Suryono, Msi. 

Rektor UNJ Dr. Komarudin Sahid mengawali diskusi dengan memberikan empat catatan penting; pertama, pendidikan yang masih bermazhab pasar, kedua, politik  pendidikan yang hanya fokus pada lapangan pekerjaan, ketiga, pendidikan yang belum berkorelasi dengan kesejahteraan, keempat, pendidikan yang masih melupakan proses.

“Padahal ada yang lebih penting yaitu memanusiakan manusia,” Rektor UNJ Dr. Komarudin  Sahid menekankan. 

Dalam kacamata ekonomi pendidikan diperlukan rasionalitas dalam mengambil keputusan yang menguntungkan serta pemahaman perilaku individu, organisasi dan negara yang menghimpun sumber daya manusia, material dan finansial. Hal inilah yang mendasari meskipun anggaran pendidikan sangat besar, menurut amatan Prof. Dr. Sutjipto permasalahan pendidikan di Indonesia karena kurangnya koordinasi antar lembaga yang mendapatkan kucuran dana.  

Prof. Sutjipto lebih cenderung melihat pendidikan sebagai sistem sehingga memungkinkan menemukan frame work pemecahan yang kompeherensif. Artinya dalam bottleneck , pendidikan tidak sibuk mencari leher botol yang tersumbat. Di sinilah Prof. Sutjipto menjelaskan mengenai entropi pendidikan, yang mengalami gangguan karena sistem tidak bekerja.

“Maka penting untuk memperlancar komunikasi,koordinasi antar sistem,” kata Prof. Sutjipto menjelaskan.

Pengaruh Global

Pendidikan juga tidak lepas dari pengaruh global.  Prof. Yoyon menjelaskan dari sisi  konsepsi pendidikan Indonesia yang masih belum teridentifikasi. Meskipun Ki Hajar Dewantara pernah mencoba mendefinisikan pendidikan nasional yang terpengaruh dari teori pendidikan barat yang kental dengan ekspresif budaya jawa. Konsepsi pendidikan Indonesia juga banyak ditafsirkan dengan pelbagai kekhasannya mulai dari Taman Siswa, INS Kayu Tanam dan lainnya. Keragaman inilah menjadi tantangan.

Ada masalah global yang diidentifikasi sebagai bottleneck yakni pengaruh ideologi dan filosofi. Dan ini menjadi tantangan global bagi ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila dalam merumuskan pendidikan. 

Dalam mainstream ekonomi, negara membutuhkan investasi dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang berujung pada pendapatan warga negara. Pendidikan pun digenjot untuk meningkatkan kemampuan (skill) yang berujung pada kesejahteraan. Adanya direktorat jenderal vokasi adalah adanya pengaruh global yang disesuaikan dengan ekonomi global. 

Pendidikan pun direalisasikan dengan pendekatan ekonomi yang berbasis tenaga kerja. Tantangan global yang luar biasa inilah menjadi amatan Prof.Yoyon yang pada dasarnya berpengaruh kepada budaya dan berpengaruh pada pendidikan nasional. 

“Mainstream pendidikan kita adalah pendidikan formal, memindahkan pendidikan formal ke informal. Semua dalam kondisi tak berdaya karena melawan mainstream global dan ekonomi,” jelas Prof. Yoyon.

Perlunya Paradigma

Tidak selesainya konsepsi mengenai manusia Indonesia, meluasnya praktik ego sektoral, tidak adanya koordinasi antar lembaga menjadikan paradigma pendidikan Indonesia kehilangan arah. Secara politik anggaran yang besar, pendidikan masih dalam tahap realisasi program secara keseluruhan. Namun belum menyentuh aspek dampak dalam pendidikan di masyarakat. 

Pendidikan pun dipersepsikan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan, kebahagiaan. Ini menjadi arah hilirisasi pendidikan kepada nilai ekonomi. 

“Pendidikan kita model pabrikasi,“ terang Jimmy Ph. Paat yang menjelaskan ekonomisasi pendidikan dalam diskusi. 

Prof. Sutjipto menjelaskan bahwa fungsi pendidikan adalah mengenai equifinality. Meskipun berbeda-beda dalam mengelola pendidikan tapi memiliki tujuan final yang sama. Tujuan pendidikan tak hanya mengajarkan anak pada cara membaca dan berhitung secara teknikal tapi juga belajar menjadi warga negara. Pendidikan Indonesia juga tidak berdasarkan penelitian pendidikan.

“Paling penting paradigma harus jelas bagi pengambil kebijakan pendidikan,” terang Prof. Sutjipto. 

Syarif Yunus dalam diskusi menjelaskan mengenai pendidikan non formal yang menjadi back up pendidikan di masyarakat. Covid 19 memberikan dampak yang sangat besar bagi pendidikan formal. Kegagalan pendidikan formal yang memiliki banyak masalah menjadi sorotan. 

Meski begitu, Prof. Sutjipto menjelaskan mengenai fungsi lembaga pendidikan yang memiliki fungsinya sendiri-sendiri di masyarakat. Harus ada yang dikoreksi. 

Menurut Prof. Sutjipto masing-masing orang Indonesia harus menjadi yang terbaik. Jika dalam pendidikan itulah yang dimaksud dengan mutu pendidikan.

“Jika menjadi tukang sapu, jadilah tukang sapu terbaik, jika menjadi guru jadilah guru yang terbaik,” ucap Prof. Sutjipto. 

Bagaimanapun pencarian mengenai konsepsi pendidikan Indonesia masih dalam proses yang sangat panjang dengan pengaruh global. Jika pra kemerdekaan pendidikan Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda dan tahun 70-an banyak terpengaruh oleh Amerika. 

“Sekarang tertarik dengan pendidikan di Finlandia,” kata Prof.Yoyon yang menekankan pada faktual dan ideal bagi pendidikan Indonesia.

Guru Penuhilah Rumah dengan Buku

0

Kita meyakini mentalitas suatu bangsa ada di tangan guru. Mentalitas yang dibentuk dari imaji buku-buku yang guru baca. Guru-guru kita jangan sampai terpenjara imajinasinya hanya karena tak berbuku. Kita mendapati guru yang bergaji tapi enggan membeli buku-buku. Oh guru…..

November lalu saya bertemu dengan Romo Mudji. Saat itu Romo Mudji sedang duduk-duduk di ruang tunggu kuliah Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dengan Romo Mudji saya pun mengobrol mengenai sejarah, pendidikan, buku, budaya tulis-menulis dan lain sebagainya. Satu hal yang tak lepas saat bertemu Romo Mudji adalah peristiwa berbagi buku. 

Saat ngobrol santai itu, Romo berbicara mengenai pemaknaan ulang mengenai hari guru.  Saya pun berujar mengenai ingatan guru yang tak lagi berumah buku. Ingatan-ingatan guru  tak berumah buku itu adalah ingatan generasi kami yakni generasi digital. Dalam ingatan kami mengenai guru adalah mereka yang bermobil dan bermotor dan bergadget. Di rumahnya, guru yang kita ingat adalah televisi bukan buku-buku. Ingatan itu berdasarkan obrolan dan diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa baru yang tergabung dalam Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ. Saya pun berucap kepada Romo, “Mungkin itu ingatan kami mengenai guru-guru yang di kota”

Romo Mudji mengajak saya untuk mendiskusikan mengenai ingatan guru itu dengan mahasiswa S3 Pascasarjana UNJ.  Kebetulan Romo memang mengajar filsafat pendidikan dan kebudayaan di Pascasarjana UNJ. Mengapa obrolan ringan mengenai ingatan guru ini menjadi penting? “Ini terkait dengan proses konsientisasi (penyadaran) mengenai pendidikan dan kebudayaan,” kata Romo.  

Guru pantas diingat dan dikenang. Romo Mudji berujar mengenai pemaknaan guru bermula dari ingatannya mengenai guru-guru di masa silam. Kini kita mendapati penghormatan guru melalui sertifikasi yang klise. Oleh karena itu kita akan mendapati guru profesional dan guru kebudayaan. Yang pertama adalah guru yang dihasilkan dari proses serangkaian pengumpulan sertifikat, tes, pengujian, dan penilaian. Yang kedua adalah guru yang sudi ikhlas mengajar berbagi pengetahuan dengan “membaca” dengan hati melalui serangkaian peristiwa pemaknaan hidup.  

Bagi Romo Mudji ingatan mengenai  guru kebudayaan adalah ketika ia mengingat masa kecilnya naik turun tangga di Borobudur. Di sana ada guru yang sudi mengingatkan kepadanya mengenai pembacaan makna relief-relief di batu-batu dan pemaknaan perjalanan Sidharta Gautama. Cerita dan kisah itu dicatat dan membekas melalui ingatan.

Kini ingatan berbeda tentang guru bagi kami sebagai generasi digital yang menganggap guru adalah yang mengajak kita untuk membaca dengan cara merekam dan berfoto melalui serangkaian kegiatan bernama “Study Tour”. Lalu dibekukan lewat InstagramFacebook dan Twitter. Kini ingatan guru yang dirasakan Romo Mudji sebagai guru kebudayaan semakin menghilang.

 Di Abad 21 Kita mengingat guru profesional yang masih terbelenggu dengan gaya dan metode dalam mengajar. Ingatan mengenai guru-guru profesional kita hari ini adalah guru yang tak berumah buku. Guru kita yang disibukan dengan pengejaran sertifikasi, cap,  silabus, dan juga RPP. 

Guru-guru kita akan memadati seminar-seminar hanya demi selembar sertifikat. Sertifikat yang dibutuhkan demi pemberkasan. Sehingga guru kita disibukan dengan formulir dan penghambaan terhadap gaji. Dalam kacamata profesionalitas itu kita mendapati guru yang hebat adalah guru yang lulus ujian kompetensi atau yang disebut dengan  Uji Kompetisi Guru (UKG).

Guru Berbuku

Kisah guru hari ini adalah cerita mengenai guru honorer yang belum dibayar gajinya. Di koran-koran kita masih mendapati guru-guru yang berdemo untuk disegerakan menjadi PNS. Miris sekali ada oknum yang menjual buku-buku yang ada di perpustakaan untuk diloakan, dibuang dan dilebur. Di abad 21 guru hidup di mana buku tak lagi menjadi bacaan mulia. Membeli buku tak pernah menjadi prioritas dalam hidup di tengah sibuknya berkredit mobil dan motor.  

Kita jarang mendapati guru yang berbuku. Membaca banyak buku dan berkisah kepada murid-muridnya. Mengajak muridnya menyelami makna hidup dengan kisah-kisah dari buku-buku. Mengajak muridnya ke toko buku. Memaknai peristiwa membeli buku menjadi penting sebagai pengembangan imajiinasi. Kita kesulitan berimaji guru yang mau memenuhi rumahnya dengan buku. Kita jarang mendapati guru mengajak muridnya main ke rumah mengobrolkan buku. 

Di koran-koran kita hari ini, ingatan tentang guru adalah adalah upacara penghormatan guru melalui  ‘Simposium Guru’ yang dihadiri oleh Jokowi dan Anies Baswedan nan megah. Sekaligus penghadiahan guru-guru berprestasi melalui selembar sertifikat. Semakin bersedih dan pilu jika kita jika penghormatan hari guru seperti ini. 

Di hari guru sekolah-sekolah guru berupacara memperingati guru. Kita jarang mendapati guru berupacara sunyi dengan buku-buku di rumahnya. Ketika kita masuk ke rumah guru, kita hanya mengingat televisi, kulkas, dan kipas angin. Kita merindukan guru yang mengisi rumahnya dengan buku-buku. Kita rindu bergurau sambil berdiskusi mengenai buku di rumah guru yang berbuku. Kita jarang diajak bermesraan dengan buku-buku di rumah guru yang berbuku. 

Kita meyakini mentalitas suatu bangsa ada di tangan guru. Mentalitas yang dibentuk dari imaji buku-buku yang guru baca. Guru-guru kita jangan sampai terpenjara imajinasinya hanya karena tak berbuku. Kita mendapati guru yang bergaji tapi enggan membeli buku-buku. Oh guru…..

Kreativitas Seni Ala Cikal

0

Kreativitas anak dapat diciptakan melalui pameran seni berdasarkan ketertarikan masing-masing

EDURA (Jakarta)– Banyak cara yang dapat dilakukan sekolah untuk menumbuhkan kreativitas dalam diri siswa. Salah satunya adalah dengan mengajak siswa berkegiatan melalui acara seni, musik, film dan lainnya. Ada hal yang menarik yang dilakukan oleh Sekolah Cikal Setu. Kreativitas siswa kelas 11 dan 12 diolah melalui acara pameran seni dan film bertajuk  Visual Arts and Films Exhibition International Baccalaureate Diploma, Program (IBDP), Maret 2020 di Hadiprana Art Galery. 

Ajang seni dan film ini menjadi bagian dari asesmen pembelajaran program Seni Rupa (Visual Art) bagi kelas 12. Pameran Seni ini juga menjadi ajang sekolah Cikal yang fokus pada pembinaan kompetensi kreatif sejak dini. 

Hal yang penting adalah bagaimana anak ditantang untuk menciptakan kreativitas berdasarkan ketertarikan masing-masing. Juga menyerap berbagai keadaan sehari-hari yang mereka lihat dan rasakan menjadi modal dalam menciptakan karya.

Guru menjadi teman belajar dan berdiskusi mengembangkan ide-ide menarik mereka. Dari pameran inilah diharapkan tumbuh nilai-nilai inovasi, creative thinking, skill, dan berpikir terbuka. 

Sekolah yang Memerdekakan Itu di Kampung Nitiprayan

0

Sekolah yang memerdekakan itu tidak mungkin bisa lepas dari akar masyarakatnya

EDURA NEWS (Jakarta)- Pada 20 Juni 2000, Toto Rahardjo dan Sri Wahyaningsih mendirikan “sekolah kehidupan” bernama Sanggar Anak Alam (SALAM) di sebuah perkampungan Bantul Yogyakarta. Kampung itu adalah Nitiprayan, di mana SALAM dihidupi oleh partisipasi warganya.

Sekolah ini tak hanya menekankan kepada pembelajaran di dalam kelas. Pembelajaran partisipatoris bersama lingkungan sekitar menjadi bagian dari Salam. 

Dari sini, SALAM menjadi sekolah yang tak lepas dari ‘geografis kelokalan’ yang memacu demokratisasi dengan memupuk  nilai-nilai kolektivitas dan kemandirian. Kemandirian yang dimaksud terkait dengan; cara pandang, metode belajar mengajar, media yang digunakan, sumber-sumber logistik, pendanaan serta adat istiadat yang bersumber dari komunitas setempat.

Salam sekolah yang disebut juga sebagai sekolah pinggir sawah ini juga memang dibuat dekat dengan warga dan masyarakatnya. Inilah yang dipercayai Salam dan juga lembaga pendidikan lainnya; sekolah harus bersinergi dengan masyarakat. Proses pembelajaran di Salam sengaja dibentuk dan diproses anak-anak sebagai proses bermasyarakat juga.

Lokalitas kampung

SALAM menjadi sekolah yang memerdekakan dengan mengacu kepada kebutuhan dasar manusia yaitu : Pangan, Kesehatan, Lingkungan, dan Sosial Budaya.  Isu dasar itu menjadikan Salam sebagai sekolah yang menitikberatkan kepada kehidupan sosial masyarakatnya. Sekolah tidak beku, namun cair masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan warga Nitiprayan.

Oleh karena itu pembelajaran di SALAM diidentikan dengan pembelajaran sehari-hari diambil dari nilai lokalitas Kampung Nitiprayan. Misalnya SALAM bersama warga tani Nitiprayan mengadakan upacara Wiwit Panen. Upacara panen ini sudah hampir tak lagi diadakan di kampung Nitiprayan.

Satu hal yang perlu diketahui, Salam memadukan pembelajaran yang “gembira” dan berakar dari masyarakatnya. Salam identik juga sebagai sekolah berbasis komunitas. Salam diuntungkan dengan Kampung Nitiprayan yang disebut juga sebagai kampung seniman. Keduanya saling isi-mengisi, keduanya saling mengajar-belajar.

Dengan itu SALAM mengajarkan bahwa sekolah yang memerdekakan itu tidak mungkin bisa lepas dari akar masyarakatnya yang dalam keseharian memberikan makna hidup dalam kebudayaannya. 

Sumber : https://www.salamyogyakarta.com/

SMAN Unggulan MH Thamrin Menerapkan Seleksi Ketat

0

Sebagai sekolah unggulan SMAN MH Thamrin menerapkan seleksi yang cukup kompetitif. Setelah dinyatakan masuk, siswa menghadapi iklim yang cukup positif dengan belomba-lomba menjadi nomor wahid. Nilai minimum saja 85.”

EDURA NEWS, JAKARTA – Tidak seperti sekolah negeri lain di Jakarta yang menggunakan angka, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Unggulan yang berada di Bambu Apus, Jakarta Timur ini menyandang nama pahlawan asal Jakarta, Muhammad Husni Thamrin. Biasa disebut SMANU MH Thamrin.

Tidak hanya dari namanya yang berbeda dengan sekolah negeri lainnya, sekolah inipun berasrama. Proses penerimaanyapun berbeda. Sedang persamaan dengan SMAN lain di Jakarta adalah tidak memungut biaya alias gratis. Padahal karena berasrama makan 3x serta diberi kamar yang bersih.

Kepala SMAN Unggulan MH Thamrin Drs Warnoto M.Pd mengatakan tiap tahun menerima empat kelas. Tahun lalu dan seterusnya akan menerima 88 murid. Satu kelas 22 murid. Sebelumnya menerima genap 80, jadi satu kelas 20 murid. Ternyata dalam perjalanannya karena berbagai alasan seperti orangtuanya pindah ke daerah atau ke luar negeri jadi berkurang. Nah Pemda DKI mensyaratkan satu kelas sekolah negeri berisi minimal 20 murid.

“Satu murid pindah sudah jadi 19 anak. Sehingga akhirnya diputuskan mulai tahun ini tiap kelas 22 murid buat cadangan kalau ada yang pindah,” tutur Warnoto kepada Warta Kota seusai peresmian Samsung Smart Learning Class di SMAN Unggulan MH Thamrin, Rabu (4/10).

NILAI SEMESTER MINIMAL 85

Selain menambah kursi, ada tambahan lain. Mulai penerimaan siswa tahun 2017 lalu, syarat nilai penerimaannya juga ditambah. Salah satu syarat bisa mengikuti seleksi penerimaan di SMAN Unggulan MH Thamrin adalah nilai rapor semester 1 sampai 5 di SMP tidak boleh kurang dari 85 untuk mata pelajaran matematika, Bahasa Inggris, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Sebelumnya syarat nilainya 80.

“Waktu syarat nilainya 80 yang daftar bisa ribuan. Terakhir 2000an murid. Kita keteter karena untuk syarat tes lain yakni psikotes kita kerjasama dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ada biaya yang harus ditanggung oleh Pemda DKI. Akhirnya mulai tahun lalu diputuskan syarat nilai ditambah jadi 85. Dan ternyata memang yang mendaftar jadi 500an murid karena sudah terseleksi di nilai yang dipatok tinggi,” katanya.

Karena dibiayai Pemda DKI dan murid tidak dipungut biaya, prosentase untuk murid non DKI Jakarta juga sama dengan sekolah negeri lainnya yakni 95 persen untuk warga DKI Jakarta dan hanya 5 persen untuk non DKI Jakarta.

Ternyata, keinginan warga non Jakarta untuk mendaftar di SMAN Unggulan MH Thamrin sangat tinggi.

Warnoto ingat tahun lalu yang mendaftar non DKI ada 104 orang dari 500an yang mendaftar. Karena hanya 5 persen dari kapasitas, jadi cuma ada 4 kursi yang disediakan untuk warga non Jakarta.

“Persaingan untuk yang non Jakarta lebih ketat. Mereka datang bahkan dari luar Bodetabek, ada yang dari Sumatera,” tuturnya.

Setelah proses administrasi dinyatakan lolos, seluruh murid yang mendaftar akan mengikuti psikotes yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dari psikotes akan diambil 120 murid yang selanjutnya berhak mengikuti Tes Pengetahuan Akademik (TPA) yakni mata pelajaran IPA, matematika, dan Bahasa Inggris dan wawancara. Dari tes tersebut akan lolos atau diterima 88 murid dan 8 cadangan atau 96 murid.

“Biasanya yang diterima tidak ada yang mengundurkan diri jadi biasanya yang cadangan terpaksa tetap jadi cadangan alias tidak masuk SMAN Unggulan MH Thamrin,” kata Warnoto sambil tertawa.

PERAIH OLIMPIADE BERJENJANG

Di SMANU MH Thamrin tidak menerima pindahan dan jalur prestasi (Japres) di luar prestasi peraih Olimpiade berjenjang. Olimpiade tingkat nasional harus mendapat juara pertama sementara tingkat internasional boleh juara 1, 2 dan 3.

Namun olimpiade inipun bener-benar dilihat apakah berjenjang atau tidak. Berjenjang artinya juara dari tingkat kotamadya lalu ke tingkat propinsi lalu tingkat nasional. Nah, di level internasional sudah mewakili negara dan juga berjenjang dari juara nasional.

“Ada olimpiade diselenggarakan di India tapi pesertanya bukan dari berjenjang tapi siapa saja boleh ikut. Itu tidak masuk kriteria kami,” jelasnya. Prestasi bidang lain seperti juara olahraga, seni atau hafalan Alquran juga tidak masuk kriteria Japres di SMANU MH Thamrin.

“Japres di luar olimpiade berjenjang silakan ke sekolah negeri lainnya. Karena kalau dipaksakan kasihan, takutnya tidak bisa mengikuti pelajaran. Kami juga tidak menerima pindahan karena murid yang masuk kan sudah mengikuti tes masuk yang ketat jadi kalau ada yang langsung pindahan rasanya tidak adil,” ujar Warnoto.

Penerimaan murid biasanya dibuka di bulan Februari. Seluruh persyaratan dan penerimaan ada di website PPDB SMANU MH Thamrin yakni http://ppdbsmanumht.jakarta.go.id.

Warnoto berpesan, bila berniat mendaftar di SMANU MH Thamrin harus rajin buka website mulai awal Februari. Soalnya, segala persyaratan dan proses seleksi terpampang jelas di website tersebut, termasuk nama-nama yang lolos di setiap tahap seleksi.

SUMBER: Wartakota

Concern Building Of Education (2)

0

Pesan Edukasi “Laskar Pelangi”

“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,”

Menurut analisa semiotik penulis terhadap kisah “Laskar Pelangi”, didapat suatu pesan bahwa pendidikan adalah hak mutlak warga masyarakat. Dengan latar pedalaman daerah terpencil, mimpi besar seorang siswa dapat terwujud. Hal inilah yang mungkin menjadi ihwal menyikapi keterbatasan menjadi hal yang menggugah semangat belajar. Penulis lebih sepaham bila kita mengistilahkannya sebagai wishfull thingking, artinya bahwa geliat pendidikan nusantara nantinya berangkat dari pelosok daerah pedalaman yang dengan keterbatasannya dapat memaksimalkan cita.

Kemunculan kisah “Laskar Pelangi” juga dapat dikatakan sebagai kritik bagi pemerintah. Terutama masalah perhatiannya terhadap pembangunan pendidikan di daerah pelosok. Hal yang memancing perhatian publik adalah bahwa sebenarnya kisah “Laskar Pelangi” adalah potret sesungguhnya tentang sikap apatisme pemerintah dalam akses pemerataan dan kualitas pendidikan. Ada pesan edukasi dalam kisah tokoh tersebut, Seperti, Ikal selaku tokoh utama yang kental dengan cita dan mimpi, Lintang yang jenius, Mahar yang artistik, Ibu Muslimah (Cut Mini) yang begitu komitmen terhadap pendidikan, serta Pak Arfan yang begitu setia pada sekolah mereka. Penjaga moral yang tak pernah surut semangatnya mengurus sekolah yang hanya bermuridkan sepuluh orang, meski tanpa keuntungan sepeserpun. “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya,” demikian lelaki renta itu menyemangati Laskar Pelangi.

Hal yang menarik dari kisah ini yaitu tidak meninggalkan tema sentral pendidikan, sebagaimana dinarasikan oleh Andrea. Kisah Laskar Pelangi, memberikan inspirasi bagi penonton dan pembaca betapa pentingnya pendidikan. Sosok Lintang yang jenius adalah potret buram pendidikan kita. Kisah ini memahamkan kita kalau di negeri ini pendidikan masih seperti menara gading yang harus di nomor duakan demi menafkahi keluarga. Minggatnya Lintang dari sekolah mereka membuktikan bahwa untuk sekolah di negeri ini tidak cukup hanya dengan semangat dan kecerdasan otak, unsur materi masih menjadi syarat utama. Di usianya yang masih belia ia dipaksa menanggung beban hidup yang belum seharusnya ia pikul. Bekerja menafkahi keluarga dan meninggalkan bangku sekolah.

Dalam Kisah ini pun dipesankan bahwa kecerdasan tidak diukur dengan nilai-nilai angka dan materi semata, tapi dengan hati, kata Pak Arfan. Bahwa memang arti kata hati terdapat pesan humanistik. Dimana pendidikan dilakukan untuk memanusiakan manusia. Membangun masyarakat cerdas untuk merencanakan kehidupan di masa depan. Kebhinekaan siswa dengan latar yang berbeda mengisi setiap kegiatan pendidikan dan kemudian menjadi kunci, bahwa pendidikan adalah perwujudan realita yang harus dijalani dengan kesabaran, keikhlasan, dan kesungguhan. Hadirnya sosok Mahar dalam film ini, setidaknya memberikan sudut pandang lain tentang paradigma kecerdasan. Bahwa bukan hanya Lintang yang cerdas, Mahar yang suka musik pun juga dapat dikatakan cerdas. Dimitri Mahayana menyebutnya sebagai Multi Intelegent.

Concern Building Of Education (1)

0

“Laskar Pelangi” Kebangkitan Pendidikan Di Daerah Pedalaman

Bila pemerataan akses pendidikan terwujud, pondasi pembangunan akan berjalan aktif bersama kesadaran masyarakat untuk selalu belajar dan mewujudkan pendidikan dari semua (education from all) sampai terbentuk kemandirian berkarakter.

(HI)

Indonesia adalah Negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri 13.000 pulau. Kebhinekaan yang terdiri 300 suku bangsa, dengan 200 bahasa yang berbeda. Begitu luas dan kaya negeri ini terhampar, bahkan dengan kesuburan tanah Indonesia analogi kayu dan batu saja bisa jadi tanaman. Belum lagi hutan dan kekayaan bahari yang melimpah, sampai-sampai kita lengah menjaga dan melindunginya. Di sisi lain Hal terpenting yang harus diingat adalah dalam setiap jengkal kekayaan, kedaulatan, kebhinekaan bangsa Indonesia ada hak yang harus dipenuhi, yaitu pendidikan untuk semua (education for all). Dimana kemanusiaan dijunjung, hak asasi dihargai, dan keadilan di wujudkan. Pendidikan mengambil peran penting dalam membangun kehidupan berbangsa saat ini.

Salah satu hal yang menjadi ironi dunia pendidikan saat ini adalah masalah pemerataan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia yang belum signifikan. Dari Laporan UNDP menunjukkan angka Human Development Indeks (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indikator pemerataan pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Angka putus sekolah masih tinggi, Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Terjadi penambahan tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk, dan tingkat kemiskinan yang terus bertambah kurang lebih 25% dari jumlah penduduk Indonesia.

Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat tinggi. Pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7 juta anak, namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20% menjadi 11,7 juta jiwa. Dapat dibayangkan, gairah belajar dan harapan 12 juta anak Indonesia terpaksa dipadamkan. Angka putus sekolah tersebut merupakan bukti apatis pemerintah terhadap dunia pendidikan. Berkaitan dengan hal itu sebenarnya dapat diatasi, bahwa pemenuhan anggaran pendidikan 20% sebagaimana diamanatkan pada pasal 31 ayat 4 UUD (Amandemen Keempat) harus dikelola dengan baik sesuai kebutuhan.

Belum lagi nasib pendidikan didaerah pedalaman. Di Nabire dan Manokwari, Papua. Terdapat kejadian, Akibat runtuhnya gedung sekolah yang tidak layak, siswa menjadi trauma untuk duduk dan belajar kembali di sekolah. Lain halnya dengan di Palas, fasilitas pendidikan dan kulitas guru yang terbatas telah mengubur impian dan cita-cita mereka untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Di Singkawang, Kalimantan barat. Siswa dihadapkan dengan keterbatasan daerah yang masih semak belukar, dan juga persepsi yang mengklaim bahwa pendidikan tidak penting. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami dengan realita “Laskar Pelangi”, dengan keterbatasan pendidikan mereka berjuang mewujudkan mimpi mengenyam pendidikan

Di sisi lain, menurut F.D. Rosevelt bahwa dalam “New Deal”, Sekolah merupakan hak yang menyeluruh. Artinya, setiap orang berhak atas pendidikan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Selain itu, pendidikan juga memegang peran yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan pendidikan sebuah bangsa bisa bermartabat, mandiri, dan kompetitif.

Srihadi Melukis Sejarah

0

Pada hari Sabtu, 20 Februari di Galeri Nasional puluhan orang menunggu gong dibunyikan tanda perayaan bedah buku dimulai. Bedah buku bertajuk Srihadi Soedarsono 70 Years The Journey of Roso ini digawangi Jim Supangkat, Jean Couteau, dan  Bambang Sugiharto sebagai pembicara. Ingatan-ingatan tentang Srihadi mengenai perjalanannya dalam sejarah melekat pada kertas sebagai medium dokumentasi sejarah mulai bermunculan.

Bambang Sugiharto mengatakan, karya Srihadi berbasis kertas  menjadi penting dalam memasuki  dunia spiritualitas. Menurutnya, membuat sketsa adalah kemampuan menangkap rasa. Dalam menangkap rasa inilah, menurut Jean Couteau, Srihadi pernah membuat sketsa kemiskinan era  Soekarno sebagai  pilihan sosial politiknya.

Penelusuran jauh dilakukan Jim Supangkat mengenai catatan sejarah hidup Srihadi. Dalam  buku Srihadi dan Seni Rupa Indonesia (2012) karya Jim Supangkat dikatakan,  Srihadi  lahir dari keluarga priyayi intelektual. Adalah Noto Soeroto yang mempengaruhi pemikiran orang-orang priyayi Jawa  saat itu dengan majalah Oedaya. Majalah itu mampir di pikiran Soedarsono Atmodarsono, ayah Srihadi. Soedarsono  akrab dengan berbagai literatur. Ayahnya memajang lukisan tokoh-tokoh seperti  Rabindranath Tagore, dan Mahatma Gandhi yang memikat mata bocah Srihadi. Obrolan-obrolan seni batik, keris, wayang, seta samurai ayah atau  kakeknya mempengaruhi kepekaan rasa Srihadi ke depannya.

Bagi Jim Supangkat, Srihadi mempunyai tempat di sejarah Indonesia. Dalam diri Srihadi terdapat kisah, peristiwa, pergulatan tokoh kebangsaan yang berkelindan dalam bingkai perjalanan seni rupa. Di tangannya kertas-kertas menjadi medium pendokumentasian sejarah berada. Pencatatan sejarah tak melulu berupa foto-foto. Sejarah Indonesia tercatat dalam kertas-kertas tipis. Di sana tampil peristiwa, tokoh, waktu,  perjalanan sejarah suatu bangsa. Dalam buku sejarah  yang tebal jarang dimuat peran pelukis dalam pergerakan kemerdekaan.

Maka dari hidup Srihadi, kertas menjadi medium sangat penting dalam pendokumentasian perjalanan sejarah Indonesia. Peran seorang pelukis di zaman pergerakan  ada di kisah hidup Srihadi. Tonggak penting Srihadi dalam pencatatan sejarah  adalah perekaman jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA 1 Agustus 1947 yang ditumpangi Agustinus Adisutjipto dan dr Abdulrachaman Saleh. Dengan kertas, Srihadi memotret jatuhnya pesawat yang terbelah menjadi dua. Peristiwa itulah yang memicu terjadinya Komisi Tiga Negara yang  menjadikan Srihadi tampil sebagai  pencatat sejarah perjanjian tersebut lewat  kertas dan gambar.

Ketika berumur 17, Srihadi menjadi remaja  yang terlibat dalam pendokumentasian wajah tokoh-tokoh republik dalam perjanjian Kaliurang antara Indonesia dan Belanda. Srihadi hadir menjadi wartawan-pelukis Balai Penerangan Tentara Divisi IV. Tercatat sketsa-sketsa wajah dari delegasi perundingan di Kaliurang tersebut. Di situ ada  Poppy Djajadiningrat, Abdul Kadir Widjajakusumah. Ada juga  sketsa wajah anggota delegasi Belanda Svan Loggem dan Amerika Eugene H Staryhorn.

Masa-masa genting dalam perang, kertas berupa gambar dan sketsa penting diselamatkan lebih dulu daripada  hidup Srihadi sendiri. Dia  mengaku, “Gambar-gambar ini saya simpan dalam kopor tua. Ke mana pun saya pindah, kopor tua ini selalu saya utamakan untuk diselamatkan” (Jim Supangkat, 2012).  Kertas gambar dan sketsa  berevolusi  mencatat perjalanan bangsa.

Godaan menyibak sejarah melalui medium kertas ini bukan saja menjadi peristiwa penting, tetapi juga mengamini pentingnya peran seorang jurugambar semasa  revolusi. Nashar mengungkapkan,  pelukis menjadi penyebar semangat revolusi melalui gambar-gambar. Dalam buku Nashar Oleh Nashar (2002), pelukis Nashar mengatakan,  pelukis berjuang melalui kuas. Nashar bergerilya dengan menebar gambar-gambar di sudut-sudut kota. Srihadi juga menyebarkan poster-poster perlawanan di  kota Yogyakarta dan Solo.

Dalam sejarah, tercatat lukisan-lukisan suasana perang seperti Seko karya Soedjojono, Persiapan Gerilya(Dullah), Laskar Rakyat Mengatur Siasat (Affandi), Seri Lukisan Pejuang (Hendra Gunawan), dan Medan Gerilya Wonosari (Kartono Yudhokusumo). Lukisan tersebut perlu ditafsirkan  lebih lanjut agar  bisa lantang bersuara dalam rekam jejak mentalitas sejarah bangsa.

Jejak

Bagi Srihadi, kertas merupakan  jejak sejarah yang mesti dirawat serius. Dia menjadi  medium special, meski bisa  lusuh, menguning, dan mudah sobek.  Dari kertas Srihadi mencatat  perjalanan sejarah dan kebudayaan Indonesia. Ini  mesti dirawat. Mudji Sutrisno dalam esainya Membaca Sejarah (2015) menuturkan, sejarah mentalitas  menuliskan tidak hanya peristiwa dari kejadian sebagai fakta, tetapi mencoba menunjukkan pula struktur nilai bingkai makna yang memberi roh strukturisasi sosial, sistem politik, perilaku ekonomi pelaku-pelakunya individual maupun kolektif.

Kertas yang diselamatkan Srihadi berupa gambar dan sketsa yang merekam  perjanjian di Kaliurang dan  jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA menyimpan cermin mentalitas sejarah. Kertas-kertas itu lantang meneriakkan pembacaan sejarah  pergolakan revolusi untuk membaca mentalitas sejarah bangsa. Srihadi mengajarkan  tentang revolusi kertas yang berandil  dalam pendokumentasian sejarah.

Lalu bagaimana  generasi muda harus  membaca sketsanya seperti  Penggeledahan Rumah Rakyat oleh Tentara Belanda (1948)? Dalam diri Srihadi yang saat itu berusia 15  banyak merekam berbagai situasi dan peristiwa pendudukan Belanda atas Yogyakarta tahun 1948. Gambar itu mencerminkan watak  KNIL yang anggotanya kebanyakan mercenaries  banal dan susah diatur. Srihadi menggambarkan watak. Srihadi menghayati  peristiwa, tokoh, tempat, dan waktu. Ini persis ucapan  Mudji Sutrisno pekerjaan  yang ditambah kerja sejarah menjadi etos  kebudayaan. Dia  hidup karena diberi makna demi  keberlangsungan peradaban. Pembacaan sejarah ini agar orang-orang lebih menghayati sebuah sketsa dan lukisan.

Bagi guru kebudayaan, cermin kertas-kertas  Srihadi merupakan  jalan pembelajaran sejarah. Bagi siswa,  kertas-kertasnya tak lekas berswafoto. Jadi, tetap diperlukan guru-guru kebudayaan yang mampu menggambarkan  karyanya dalam bingkai mentalitas sejarah. Dengan begitu,  bangsa dapat memahami  masa lalu untuk cermin kini ke depan.

*Tulisan ini masuk di Koran Jakarta 2 Februari 2016

Penulis Rianto

Recent Posts