Home Blog Page 51

Eksper Bukan Ahli Dadakan

0

Berbicara dengan “ahli” yang benar benar ahli itu memang mencengangkan, membuat takjub. Kemarin saya bertemu dengan seorang ahli yang menekuni urusan meracik sardencis. Seorang berpendidikan urusan pengolahan pangan dan sudah menekuni bidang olahan ikan selama 20 tahun. Sangat menakjubkan. Ibarat montir ahli mau ditanya bagian apa, dan mengapa seperti dijawab dengan lugas dan tidak muter-muter. Tidak harus menggunakan referensi, pengetahuan tentang pengolahan sudah “merasuk” pada sendi-sendi tubuhnya. Seperti perpustakaan berjalan.

Memang sangat menyenangkan berbicara dengan eksper. Menjadi eksper tidak dapat dadakan. Kecuali menjadi eksper dalam hal “gaib”, karena ngomongnya juga soal yang “gaib” yang hanya dipahami yang bersangkutan dan Tuhan, apakah perkataannya bohong atau ngibul.

Di depan saya ada sepiring rawon, katanya dibuat oleh eksper kuliner rawon. Saya tidak usah bertanya kepada sang eksper, bagaimana membuat rawon yang uenake puoolll.

Biarlah sang rawon akan menjelaskan keahliaan sang pembuatnya. Tidak usah terkena “hallo effect” karena terkesima oleh yang membuatnya. Ada pepatah, tidak peduli siapa yang ngomong yang penting isi omongannya. Itulah rawon yang saya santap pagi ini. Saya tidak peduli siapa yang membuatnya.

Haaajjjaar..saja..!! Ludes daah.

Selamat berhari Minggu

BSA/5/7/20

Kolaborasi Pengetahuan Diperlukan dalam Membentuk Literasi

0

“Zaman digital dan masa pandemi memberikan tantangan yang besar bagi pembentukan literasi. Perlu adanya kolaborasi pelbagai elemen agar literasi tidak hanya membeku di lingkar wacana”

EDURANEWS (Jakarta)-Perpustakaan Nasional mengadakan Webinar Inkubator Literasi  bertajuk “Pendidikan” (5/8). Webinar ini menghadirkan Muhammad Ivan dan Ahmad Syawqi.

Pemaparan Ahmad Syawqi memberikan pemahaman mengenai  nilai-nilai Tri Dharma Pustakawan. Ahmad Syawqi mengadopsi nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi.  Bagi Ahmad Syawqi, nilai-nilai Tri Dharma perguruan tinggi juga harus dimiliki oleh para pustakawan. Ahmad Syawqi menilai adanya keterkaitan antara undang-undang  pendidikan, perpustakaan, dan tri dharma perguruan tinggi.

“Pustakawan mesti memiliki karya kreatif, kecakapan, dan inovatif,” kata Ahmad Syawqi yang merupakan pustakawan Ahli Madya dan dosen luar biasa bidang ilmu perpustakaan UIN Antasari Banjarmasin. 

Di sinilah tugas  pustakawan dalam kegiatannya mesti melakukan transfer pengetahuan. Tak hanya itu, dalam kaitannya dengan tri dharma pengembangan pengetahuan juga diperlukan oleh pustakawan dengan penelitian.

“Penting melakukan kajian penelitian tidak hanya sekedar berbagi informasi,” ujar Ahmad Syawqi.

Sayangnya peran pustakawan secara konvensional terkadang hanya menjadi penjaga buku dan terpaku di kantor. Padahal pustakawan dapat menyatu dengan masyarakat. Langsung menyentuh jantung literasi di masyarakat. Pengalamannya sebagai pustakawan itulah Ahmad Syawqi juga banyak terlibat program literasi di desa-desa. Ia  pernah menginisiasi Program Amal Buku. Mahasiswa mengumpulkan buku-buku untuk disumbangkan ke berbagai perpustakan di daerah. 

Kolaborasi

Muhammad Ivan yang merupakan lulusan pendidikan luar sekolah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memberikan pemaparan yang sangat fondasional bagi siapapun.  Pertanyaan yang sangat penting diajukan Muhammad Ivan , ‘Setelah membaca, Lalu Apa?’. Menurutnya, penyeragaman di pendidikan, beban guru yang berat dalam administratif menjadikan literasi mandek di sekolah-sekolah. Inilah juga yang mengakibatkan menurunnya ranking PISA mengenai tingkat membaca dalam amatan Muhammad Ivan.

“Sekolah memiliki peran vital dan fondasional,” kata Muhammad Ivan yang juga Kasubid Ketenagaan dan Kesiswaan Pendidikan Menengah Kemenko PMK.

Bagi Muhammad Ivan , di zaman digital seperti ini diperlukan literasi sejak dini. Apalagi di masa pandemi, orang tua, guru sulit mendampingi siswa. Terlebih Generasi Z yang lahir tahun 90-an memiliki mental health yang sangat kurang. Kecenderungan media sosial membentuk mereka menjadi generasi yang membutuhkan pemirsa berupa berapa banyak like, reviews dan lainnya. Artinya kegiatan literasi mereka banyak dipengaruhi seberapa banyak pemirsa yang memperhatikan dirinya. Tantangannya siswa juga mesti mengetahui realitas di luar dirinya. Guru menjadi pendamping ketika tatap muka.

“Bagaimana siswa tidak hanya mengenal teks, tapi juga konteks,”  kata  Muhammad Ivan. 

Aktivitas membaca menjadi bagian utama dalam pembentukan literasi. Menurut Muhammad Ivan, dalam membaca level paling kerdil, aktivitas membaca tidak perlu memilih-milih buku. Semua buku bisa dilahap, setelah itu barulah bisa memilih buku yang memang menjadi passion sesuai ketertarikan masing-masing. Juga bagaimana mengikat makna dari bacaan  itu seperti apa yang dikatakan oleh Hernowo yang dapat dibagikan kepada orang lain. 

“Literasi tidak hanya memberikan pengetahuan, tapi juga membentuk pengetahuan didalam diri kita,” ujar Muhammad Ivan. 

Ahmad Syawqi juga memberikan penjelasan mengenai pentingnya kolaborasi antara dosen, mahasiswa ketika membangun literasi terutama dalam bidang penelitian. 

“Mahasiswa atau para sarjana dapat menjadi penggerak perpustakaan di desa,” kata Ahmad Syawqi. 

Akhirnya intensitas kolaborasi antar elemen di masyarakat menjadi kata kunci yang sangat penting dalam pengembangan literasi.

Menelusuri Pengalaman Hidup di Bantaran Kali

0

Kota Jakarta selalu memiliki sisi unik untuk ditelisik. Tempat ini menawarkan imajinasi kaum urban. Melalui kegemerlapan gedung-gedung mewah pencakar langit, segala bangunan bersinar bagai di istana.

Bentuk modernisasi tercitra dalam film, musik, iklan layar kaca. Kita dibius gemerlap kota. Memaksakan diri, mencari pekerjaan dan nekat meninggalkan desa.

Hanya berbekal menumpang bus untuk sampai ke Ibukota. Siapa pun bisa berlomba mengadu di sana, mencari kehidupan yang diimpikan.

Kehidupan yang didamba ini membuat Roanne, peneliti asal Belanda tertarik membabad kisah lain dari kota.  Ia nekat mengulik soal kehidupan orang-orang di Bantaran Kali. Dalam buku Tempat Terindah di Dunia, Roanne menarasikan sering gelisah, ketika akan ke Jakarta.

“Saya menanti-nantikan saat keberangkatan ke Jakarta, sekaligus gelisah memikirkanya” (hlm. 13). Tentu bagi Roanne, tantangan hidup di perkampungan kumuh, tak bisa masuk ke akalnya. Roanne terbiasa dengan kehidupan modernnya di Belanda.

Kini untuk penelitiannya Roanne wajib menjalani kehidupan sebagai WNA (Warga Negara Asing) di Bantaran Kali. Ia menegaskan “Sebagai seorang peneliti, saya ingin tahu bagaimana rasanya tinggal di hunian yang setiap tahunnya beberapa kali dilanda banjir”(hlm. 18).

Aksi Roanne bertahan mencari-cari sendiri tempat kumuh, acap dipandang dengan tatapan sinis dan curiga dari setiap orang. Entah itu, kalangan pemerintah atau orang-orang kampung.

Meski begitu, ia tidak menyerah. Sampai perjalanannya terakhir, Roanne bertemu dengan sosok bernama Tikus. Seorang pengamen yang mengajaknya ke Bantaran Kali.

Roanne dan Tikus menyusuri jalan-jalan kecil, di sana terdapat sebuah rumah alakadarnya. “Gubuk kayu seluas kira-kira dua puluh lima meter persegi dengan lantai tanah, dinding kayu dan lembaran kardus bergelombang sebagai atapnya” (hlm. 25).

Dalam rumah ini, Roanne mencoba bermalam.  Ia pun dihadapkan dengan penerangan minim dan segala serangga yang dapat mengusik kenyamanannya selama ini.

Roanne kerap dikelilingi orang lain, mereka mengiranya takut dengan kesendirian. Padahal, ia tentu saja tidak pernah merasa takut sendirian, karena ia sudah biasa kemana-mana sendiri.

Berbeda dengan kebudayaan orang di kampung itu, yang melakukan semua kegiatan secara berkelompok. Ia pun cukup risih, dengan dikelilingi banyak orang, lantaran tak punya banyak waktu untuk mengetik laporannya, tetapi ia bersabar dan tetap bertahan di sana.

Warita Roanne dimulai dengan Tidur bersama portofon.  Portofon (alat komunikasi), orang-orang kampung menaksir harganya setara mobil atau rumah. Alat portofon, berhasil dibeli oleh Yusuf dari hasil tabungan. Dengan alat inilah, orang-orang langsung mengerubungi rumahnya.

Semua orang rela antri bermeter-meter dan berpanas-panasan, demi mendapatkan giliran melihat portofon. Alat ini tentu sangat istimewa kehadirannya, sebab bisa menangkap informasi kedatangan banjir.

“Mereka itu kayak dukunnyabanjir, makanya mereka jadi penting di Bantaran Kali. Lebih penting dibanding kepala kampung dan sesepuh kampung” (hlm. 46). 

Status seseorang pun naik karena benda portofon ini. Mendadak Yusuf dipanggil guru, sebutan ini berupa penghargaan warga kampungnya kepada Yusuf. Ia menjadi orang yang setiap hari fokus mendengarkan bebunyian dari Portofon.

Ironisnya, karenakan rajin mendengarkan benda itu, Yusuf pun dipecat dari pekerjaannya sebagai Cleaning Service. Tak ada raut muka penyesalan di wajah Yusuf, saat istrinya mengomelinya karena Portofon.

Sebab, ia merasa bertanggung jawab bakal keselamatan orang-orang di Bantaran Kali. Yusuf menganggap tentunya akan berbahaya kalau portofon ini diserahkan ke orang lain.

Selain kisah Yusuf dan Portofonnya, Roanne pun menyajikan kisah-kisah seru lainnya, selama tinggal tinggal di Bataran Kali. Kisah paling mengocok perut, begitu Roanne sedang sakit.

Ia tak pernah menyangka, setelah lima bulan tinggal di sana, baru kali itu sakit. Ia pun meminta dibawa ke dokter, tapi Enim malah menganjurkan meminum jahe merah, diterapi dengan lilin, dipijat kaki dan sampai kerok punggungnya.

Semua hal yang tak pernah Roanne alami, dampaknya badan Roanne berontak dan tambah ringsek. Ia sedari tadi meminta ke rumah sakit, tapi malah dianggap “bahaya” oleh Enim.

Tentu kisah-kisah horor terbayang oleh Enim begitu juga warga di Bantaran Kali. Mereka sudah pasti ditolak oleh rumah sakit, kalau pun diterima, mereka disuruh menunggu dan tidak akan lagi ditangani. Sampai mereka harus menyaksikan teman meninggal di rumah sakit atau pulang tanpa obat.

Lewat kesaksian itulah, Roanne memiliki ide menyusuri rumah di sekitar Menteng, demi menemukan alamat rumah palsu. Sebab, menurut Enim, Roanne tidak akan diterima kalau ia menyebut tempat tinggalnyadi Bataran Kali.

Dengan kesadaran seadanya, Roanne diantar Edi (ojek langganan) pergi mencari rumah di Menteng, sebelum  ke rumah sakit. Roanne pun tak lupa memakai pakaian kondangan dan sepatu tinggi hasil pinjaman dari tetangganya.

Sesampainya di rumah sakit, Roanne diberikan obat dan langsung terasa reaksinya. Ia diperlakukan dengan baik oleh dokter yang merawatnya. Menurut dokter ia sakit karena tujuh macam parasit dan infeksi perut.

“Anda betul-betul hanyaminum air mineral botolan dari supermarket, kalau anda tinggal di kampung miskin itu… dan sebetulnya, anda bahkan tidak seharusnya berada di sana, itu bukan tempat buat turis, kotor sekali di sana!” (hlm. 113).    

Memang terasa aneh dan janggal, seorang perempuan asing berkutat di tempat yang dalam benak dokter tidak layak huni. Dokter pun menyarankan, ia harusnya ke tempat-tempat bagus di Jakarta.

Namun, Roanne tentu  tidak mendengarkan dokter itu, iatidak merasa kapok dengan penyakit yang telah dideritanya. Roanne malah antusias segera pulang dari rumah sakit. Ketika pulang, langsung saja Roanne diberikan pertanyaan dan makanan supaya cepat pulih.

”Ada ikan goreng da tempe dibalut sambal, oseng kangkung kecap, sayur asem, nasi kuning, pisang goreng dan jus pepaya”(hlm. 115). Bapak kepala kampung pun datang menengok keadaan Roanne, semua yang mencemaskan Roanne kembali lega melihatnya lahap makan.

Kisah Roanne, seakan meruntuhkan stigma negatif dari kalangan masyarakat miskin di Bataran Kali. Stigma yang dianut dengan kepercayaan, tak ada hal kebaikan di lingkungan tersebut, tidaklah benar.

Justru Roanne menemukan sikap kekeluargaan lebih terasa di kampung itu. Bahkan menurut penuturan Roanne, ia tidak mengunci rumahnya. Tak ada maling yang merebut benda-benda elektroniknya.

Untuk dapat berbaur, Roanne pun tidak mengeluarkan kameranya, ia hanya menggunakan gawai pintarnya selama memotret. Ia sadar betul, akan terlihat kontras, kalau ia mengeluarkan benda-benda miliknya.

Membaca Tempat Terindah di Dunia tentu menyibak riwayat kehidupan yang dipertahankan oleh orang-orang di Bantaran Kali. Mereka merelakan tetap berjuang meski keadaan tak mengenakan, seterpuruk apa pun itu. Kisah-kisah ini menyiratkan,barangkali tak hanya orang kaya yang ingin bertahan hidup, mereka yang miskin pun ingin hidup.

Mereka, tentu mengingkinkan kehidupan yang lebih baik, tapi apa daya. Keinginan itu harus disertaidengan kemampuan  memiliki ijazah yang memadai. Sementara demi makan sehari-hari pun, mereka sudah kesusahan. Apalagi bakal biaya pendidikan, yang meminta anak berseragam, bersepatu, dan segala kebutuhan lain, rasanya terlalu sulit dicapai.   

Judul Buku : Tempat Terbaik di Dunia
Penulis : Roanne Van Voorst
Penerbit : Margin Kiri
Cetakan : Kedua, 2018
Tebal : vi + 192 Hlm
ISBN : 978- 979-1260-79-4

Ketika Perusahaan Mulai Oleng

0

Bubaran rapat, para manajer mulai “blingsatan”, muka kusut dan pikiran penuh dengan pertanyaan “gagasan” apa yang akan saya berikan. Pasalnya baru saja rapat dengan Big Boss, kena damprat dan Big Boss marah besar. Semua disemprot, semua dianggap “guoblok” tidak kreatif. Perusahaan butuh duit, malah banyak yang dikerjakan oleh bawahannya justru menghabiskan uang.

Perusahaan butuh manajer yang seperti wirausaha, ujung-ujungnya agar cepat menghasilkan uang. Butuh manajer yang tidak sekedar gagasan dan rencana muluk, jangka panjang, tetapi butuh manajer yang selangkah dua langkah dalam jangka pendek menghasilkan uang. Perusahaan sedang S.O.S.

Konon dalam siklus usaha, ketika berusaha diawal usaha dibutuhkan sikap kewirausahaan, yang penting dapat uang, pokoknya all out. Palugada. Apa lu mau gua ada. Segala aturan yang njlimet belum ada. Setelah mulai maju dan sejahtera perusahaan sering membuat banyak rambu-rambu dan sistem agar semua berjalan ada aturannya.

Siklus usaha selalu ada, seperti hukum alam. Siklus lahir tumbuh, berkembang, menurun dan mati. Ketika siklus usaha mulai menurun menjelang mati, uang masuk mulai berkurang dan menipis, banyak pengelola perusahaan mulai “kalap”, dan menganggap aturan yang dibuatnya mengekang dirinya. Maka kembali lagi dimunculkan sikap kewirausahaan, kerjakan saja all out yang penting dapat uang, dan kadang dipersilahkan menabrak aturan yang dibuatnya sendiri, atau kalau perlu ubah saja aturannya.

Masa Covid 19 sekarang banyak perusahaan, bahkan negara “nyungsep”, tidak ada uang masuk, banyak perusahaan mangalami siklus hidup lebih cepat dari yang direncanakan.

Dibutuhkan para manajer yang out of the box, tidak hanya terkurung dengan prosedur, bukan doing the right thing, tapi doing the thing right.

Analogi sebuah kapal mengarungi badai, anak buah berteriak, “Kapal sudah oleng kapten”. Selanjutnya apakah akan meniup prosedur evakuasi dan penyelamatan atau tetap menerobos badai dengan intuisi sang kapten. Di mana setiap ABK fokus pada penyelamatan kapal, meskipun berbeda tugas dan fungsinya.

Pertanyaannya, apakah para manajer yang dididik dan berpengalaman dan dipaksa taat aturan, menjadi kreatif dan bersikap seperti wirausaha ?

Saya hanya melihat Kardun sebagai manajer bagian back office hanya bisa planga-plongo, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dan hanya berdoa agar sang Big Boss menemukan jalan terbaik untuk menyelamatkan perusahaannya. Itulah yang dapat Kardun lakukan.

BSA/ 9/7/20

Bernasib Seperti Kobra

0

Ular Kobra itu menggelepar dijepit ujung tongkat kayu. Sementara wajahnya yang sangar sudah terlihat pasrah, memelas, tidak terlihat lagi kesangarannya. Ketika tongkat menimpa kepalanya, remuklah kepalanya dan seiring dengan itu matanya meredup. Dan wafatlah sang Kobra.

Kematian sang Kobra yang memasuki rumah manusia, tragis, mencuri tidak dan niat “mengganggupun” tidak, hanya “numpang” lewat memburu tikus makanan kesukaannya. Namun sang penghuni rumah menganggap kehadiran Kobra sebagai ancaman. Kobra mati mengenaskan seperti pencuri kue karena kelaparan tertangkap dan tewas dihakimi massa.

Kenapa kobra harus dibunuh? Manusia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan ular, seperti sleeping wih the enemy. Tidur dan bermalam bersama ular berbisa dalam satu rumah, sungguh sangat menyiksa.

Banyak manusia bernasib seperti ular kobra, hidup di tempat yang dianggap bukan pada habitatnya dan tidak saja karena kita diangap bahaya, namun mungkin dianggap sebagai penganggu kenyamanan seseorang atau suatu kelompok.

Suatu masa, juga kita pernah bernasib seperti kobra, dikuyo-kuyo bahkan terancam jiwanya. Namun di lain waktu kita juga menjadi manusia yang mengusir bahkan membunuh kobra. Tidak peduli status, pendidikan dan kekayaan kita, dapat saja kita berlaku seperti manusia pengusir “kobra”. Ketika melihat seseorang memasuki lingkungan kita, dan kita merasa terancam secara ekonomi, sosial atau lainnya. Dan rasanya kita pengen “getok” saja tuh kepala si “kobra”. Kalau perlu dihabisi nyawanya.

Kasihan si Kobra, nasib membawamu mati digetok manusia, karena salah mencari tempat hidup.

Untuk itu daripada mikirin Kobra, sekarang saya sedang menikmati es selendang Mayang, karena tergiur oleh tayangan kuliner di layar televisi.

Tetap ya rasanya memang makjleb, lazziiis. Rasa gurihnya santan dan manisnya gula jawa disertai glosoran sejenis kue lapis terbuat dari tepung kanji.

Kalau sudah begini, saya sudah tidak peduli mau ada kobra kek, apa kek…

Bodo amat.

Selamat malam Minggu.

BSA/11/7/20

Menyongsong Kematian

0

Game of Death adalah judul film tahun 80-an yang dibintangi aktor laga Bruce Lee. Ada gelanggang pertarungan bela diri yang mematikan. Di zaman pandemi sekarang warga seperti masuk dalam gelanggang untuk bertarung melawan virus, warga dituntut dengan kepiawaian “jurus beladiri” masing-masing.

Risiko terkena Covid 19 dari data hari ini terkena 70 ribuan, sembuh 40 ribuan, mati 4 ribuan. Artinya dari 270 juta penduduk Indonesia ada 0,02 % terkena Covid 19 dan potensi mati di bawah 5% dari yang terkena atau 0,001 dari penduduk Indonesia. Kita lihat dan bandingkan dengan mati akibat kecelakaan, jantungan, cacingan, dibacok begal, atau miskin kelaparan karena kemiskinan. Siaran laporan angka korban Covid, lama-lama dianggap seperti biasa saja seperti korban kecelakaan lalu lintas. Orang berkeliaran dengan santainya seperti tidak terjadi apa-apa.

Memang kalau melihat risiko terus dengan ketakutan sepertinya kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita harus berani masuk gelanggang seperti Bruce Lee, masuk gelanggang kematian dalam Game of Death, jika ingin tetap hidup. Tetapi Bruce Lee bersiap diri sebelum memasuki gelanggang, bukan sekedar mengadu nasib. Kalau persiapan sudah dan akhirnya “kelar” juga hidup kita, ya anggap saja memang sudah waktunya.

Kemarin ada ambulans membawa orang sakit parah yang sudah megap-megap, mengalami kecelakaan, masuk jurang. Sang supir dan pengantarnya yang sehat pada mati, sedangkan yang sakit parah malah masih hidup, sambil menelepon meminta bantuan dan menolong sang supir.

Ada juga ambulans membawa jenazah, terlihat pengantar dan supirnya istirahat makan dan ngopi di rest area, sementara jenazah tetap di dalam mobil, beberapa kilometer selanjutnya terjadi kecelakaan. Pengantar dan yang diantar sudah sama-sama statusnya, almarhum.

Saya juga bingung bagaimana harus menjelaskan selanjutnya.
Ya orang Jawa bilang, “Urip iku dermo ngelakoni,” kita sekedar bermain peran, tergantung “Dalang” atau sutradara yang mengaturnya.

Kita tidak tahu mati dalam keadaan apa? Memakai jas, sedang nyanyi, sedang dipijat, telanjang di kamar mandi, di kamar operasi atau sedang makan bakso. Atau sedang asiik maen fesbukan, ketabrak mobil.

Hanya kepada Tuhan kita kan kembali. Maaf saya menggunakan kata mati, bukan meninggal dunia. Karena kita mengenal hanya isitlah menyongsong kematian bukan kemeninggalan.

Selamat shalat Jumat.
BSA/10/7/20

Pendidikan Anak di Tangan Orang Tua?

0

Katanya anak-anaknya Pangeran Charles, Pangeran Harry dan pangeran William menjalani masa sekolahnya di Eton. Hal ini berbeda dengan tradisi kerajaan Inggris sebelumnya seperti Pangeran Philip, Pangeran Charles, Pangeran Andrew, Pangeran Edward dan Zara Tindall semua terdaftar di boarding school, Sekolah Gordonstoun, Skotlandia.

Sekarang pangeran William dan Kate Middleton “nyleneh” menyekolahkan anaknya. Pasangan kerajaan ini memilih untuk mengirim anak-anak mereka menempuh pendidikan ke sekolah Thomas Battersea.

Itulah gaya keluarga kerajaan, “sugih” dan berkuasa. Maka “suka-sukalah” bersekolah. Orang tua lah yang berperan mengarahkan anak-anaknya memilih sekolah. Tidak harus antri “mantengi” layar hasil PPDB.

Sepertinya mirip sebagian dari kita, bersekolah sampai SMA selama ini, selalu sesuai arahan orang tua. Kita seperti diproses sesuai kehendak orang tua kita, berdasarkan pengalaman, kemampuan orang tua dan referensi terhadap cerita sukses terhadap alumni sekolah yang disasar.

Ketika saya mengantar anak ke sebuah sekolah asrama berbasis keagamaan, saya bertemu dengan banyak orang tua siswa yang bercerita alasan “mengasramakan”. Banyak alasan dikemukakan, ada karena merasa lebih irit, tidak usah ongkos dan merasa aman. Ada juga yang merasa sudah tidak sanggup lagi mengurusi anaknya yang “super bandel”. Jadi, orang tua mensubkontrakan pendidikan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut.

Sama dengan Kate Midleton, menginginkan anaknya mau jadi apa? Hampir semua orang tua juga sama, menyekolahkan anaknya sesuai dengan angan-angannya ingin anaknya menjadi apa.

Saya termasuk tidak diarahkan harus sekolah apa oleh orang tua saya, sesuka saya asal bertanggung jawab terhadap pilihannya. Untung saja saya “baik-baik” saja, saya tidak tahu hasilnya kalau diarah-arahkan atau dipaksakan sekolah tertentu. Saya tidak tahu akan menjadi apa? Dapat juga mblangsak atau lebih baik.

Kate Middleton hidup dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan menghendaki anaknya seperti dirinya.

Saya tidak tahu mana yang lebih baik, karena kita punya selera yang berbeda dalam hidup. Ada yang bahagia dengan sarapan nasi urap atau ada juga yang tidak bisa sarapan karena tidak punya uang.

Bagi saya, menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungan adalah yang paling diharapkan. Karena orang tidak akan mengusir, membenci dan mematikan orang yang memberi manfaat baginya.

Pagi ini saya “terdampar ” di suatu tempat dan melihat etalase warung makan menyajikan urap yang segar. Terlihat merangsang selera makan saya. Mungkin kehidupan saya juga mirip seperti urap, campur baur, diaduk-aduk namun enak dinikmati.

Selamat akhir pekan.

BSA/12/7/20

Mars Universitas Negeri Jakarta

0

Karya: Drs. M. Soeharto Paduan Suara Universitas Negeri Jakarta & Batavia Chamber Orchestra

Pertunjukan Virtual Karya Tari “The Spirit of Indonesia” – Dies Natalis KE-56 UNJ

0

Virtual Dance ini menggambarkan tentang Kekuatan dan Semangat Bangsa Indonesia dalam menghadapi Ancaman dan Kesulitan akibat dampak dari suatu Pandemi, Untuk Bersatu Melalui Budaya Tradisi Indonesia.

UNTUKMU – Dies Natalis UNJ Ke-56

0
https://www.youtube.com/watch?v=yFthDWauGts

Lagu ini dipersembahkan oleh: VG EUPHEMIA UNJ & BATAVIA CHAMBER ORCHESTRA Lagu/lirik: Rien Safrina, M.A., Ph.D Aransemen Musik: R.M. Aditya Andriyanto, S.Pd., M.Sn. Tata Suara: Alfrinda Clara, S.Pd. Editor Audio/Video: R.M. Aditya Andriyanto/Rizky Fauzy Ananda

Recent Posts