Home Blog Page 50

Performance Feedback

0

Masa lalu, saat ini atau masa depan, mana yang lebih banyak terpikir dan terucap ketika kita melakukan ritual ibadah ? Saya tidak tahu apa yang ada di kepala Anda. Biasanya saya beribadah berisi penyesalan akan perbuatan buruk masa lalu. Sedikit bersyukur apa yang dinikmati sekarang. Banyak mengharap tambahan rejeki dan berbagai pengharapan lainnya.

Secara jujur, saya harus mengakui bahwa porsi pengharapan masa depan lebih mendominasi dari ritual ibadah yang saya lakukan. Perenungan perbuatan dosa masa lalu yang berujung penyesalan, sepertinya sekilas saja dan mencoba untuk dilupakan. Bersyukur tentang kehidupan yang diraih saat ini, sepertinya sekedar saja.

Namun begitu giliran meminta masa depan, memohon tentang keinginan kita, begitu khusyu dan meratap. Penuh dengan kesungguhan, gasss poll.. Sepertinya kalau tidak terjadi seperti kemauan kita, menganggap Tuhan tidak adil. Itulah kelakuan saya.

Dalam manajemen ada istilah performance feedback atau umpan balik kinerja, yang dilakukan oleh bos kita. Prosesnya diawali dengan mempertontonkan perilaku masa lalu dibandingkan dengan tuntutan dan norma. Ada hal baik dan buruk. Kemudian melihat kondisi sekarang apa yang sedang terjadi. Kemudian sang bos memberikan pujian untuk yang baik dan menyarankan apa yang harus dilakukan agar dapat memenuhi syarat sesuai tuntutan pekerjaan dan dapat berprestasi.

Menjalankan ritual agama, kata Bang Kardun juga seperti proses feedback, proses “mengaca” diri, namun beda di akhirnya. Dalam feedback kita harus berubah sesuai tuntutan pekerjaan. Sedangkan ketika beribadah kelakuan kita banyak “mengumbar” permintaan dan keinginan seperti menuntut Tuhan. Kira-kira hasilnya yang baik mana bagi kebaikan kehidupan kita, beribadah model feedback, atau apa yang biasa kita lakukan ?

Setiap perenungan ada istilah pertobatan, syukur dan niat memperbaiki kelakuan. Kenapa kita sering memperbesar permintaan daripada memperbaiki kelakuan ? Makanya kata Kardun, tidak heran kalau ada istilah tobat jalan maksiat jalan. Melakukan ritual agama terlihat serius taat namun kelakuannya tetap bejat. Tidak ada deklarasi hati untuk berbuat kebaikan.

Bagaimanapun juga kita harus mempertanggung jawabkan apa yang telah kita kerjakan. Berjuta jalan kebaikan dapat kita tempuh.

BSA/26/6/20

Petuah Pak Tua

0

Ada aja, atau istilah Jawa ndilalah kersaning Allah. Semua kehendak Illahi. Pagi tadi ketika nggowes, saya berjumpa orang tua sedang istirahat jalan pagi, dan leyeh-leyeh di warung. Pak Tua berusia 90 tahun. Sudah 35 tahun pensiun. Dengan uang pensiun setiap bulan, eks ASN. Namun tetap mampu membiayai kehidupan dengan rumahnya yang besar dan terawat rapih, membayar pembantu dan supir. Menurutnya semua berkat selama ini setiap bulan ada subsidi dari anaknya yang menjadi pejabat sebesar 10 juta perbulan.

35 tahun pensiun bukan waktu yang sebentar. Tetapi toh Pak Tua masih tetap bertahan, dengan istri sambungnya yang seusia anaknya, 65 tahun. Kata Pak Tua, hidup itu dijalani saja, jangan terlalu banyak analisis dan kekhawatiran. Kadang hidup di dunia ada banyak kejadian di luar hitungan manusia. Anak-anak itu ada yang berhasil dan ada yang gagal. Namun Tuhan akan memberi tugas kepada masing-masing anak kita untuk orang tuanya. Dan itu akan diwujudkan pada masanya. Luar biasa sekali petuah pak tua ini.

Pak tua setiap pagi jalan-jalan di sekitar perumahan, dan sesekali mampir ke warung seperti pagi ini bertemu saya, sambil nyeruput teh manis panas dan makan pisang goreng di bawah pohon kersem yang rindang. Nikmat sekali pagi ini mendapat pencerahannya.

Kita tidak dapat menduplikasi kehidupan Pak Tua dengan berbagai subsidi dari anaknya, namun kita dapat meniru cara berpikir Pak Tua.

Usia 90 tahun, hidup hanya ditemani istri, teman seangkatannya sudah almarhum semua. Terus mau ngapain lagi. Selain menikmati yang ada. Sesekali anak cucu dan buyut datang menengoknya dan itulah kegembiraan di sisa hidupnya.

Pak tua semangatmu luar biasa.

Sambil melihat pak tua menyeruput teh manis panas seharga 4 ribu rupiah dan pisang goreng seharga seribu rupiah per potong, Nikmat sekali. Pelajaran hidup dan guru kehidupan ada di mana-mana. Termasuk di bawah pohon Kersem, tadi pagi.

BSA/26/6/20

Risiko Sebuah Pilihan

0

Akhir-akhir ini banyak orang tua mengamuk, karena anaknya tidak diterima masuk sekolah “pilihannya”. Akibat PPDB dengan persyaratan berbasis umur, bukan usaha dan pengorbanan. Usia tidak dapat dilawan, dan tidak dapat dibeli, karena memerlukan waktu. Jadi beruntunglah yang lahir terlebih dahulu.

Saya tidak mau berpolemik tentang peraturan PPDB. Tetapi saya hanya mau bercerita tentang risiko sebuah pilihan. Apalagi pilihan yang didambakan. Siapapun yang akan menghalangi pasti akan “disikat” dengan segenap jiwa raga.

Ketika memilih mudik di hari lebaran, maka rela bermacet ria berhari-hari. Ketika memilih ingin memakan bakso legendaris kita rela mengantri meski harus membayar.
Membayar untuk suatu pilihan tidak harus dengan uang, namun dengan segala daya dan upaya.

Demikian pula ketika anak atas pengaruh orang tuanya menetapkan sebuah sekolah sebagai pilihan. Maka dimulailah “peperangan” mendapatkan pilihannya. Ketika terhadang aturan dan gagal mendapatkan pilihannya, anak sesuai dengan usianya hanya menangisi saja kegagalannya. Berbeda bagi orang tuanya yang melihat perjuangan anaknya dalam belajar, kegagalan ini dianggap sebagai suatu suasana yang emosional. Merasa perjuangan anaknya tercampak, dan kemarahan itu mungkin wajar dilakukan oleh para orang tua. Anak gagal orang tua pusing. Orang tua gagal semua pusing.

Ketika pilihan yang kita dambakan dapat diraih dengan penuh pengorbanan, “biasanya” kita akan merasa sayang atas pilihan kita, memelihara jangan sampai pilihan kita lepas, rusak atau kehilangan. Saya tidak paham perasaan para murid baru yang ” ketiban” rejeki karena usia? Semoga tidak menyia-nyiakan rejekinya, karena telah mengorbankan ribuan kawannya yang sudah belajar “mati-matian”. Tergusur gara-gara kalah umur. Masih banyak pintu lain untuk masa depan anak. Selalu ada alternatif. Dan kata Darwin, orang yang adaptif yang mampu bertahan hidup.

Semoga segala pilihan yang kita dapat dalam kehidupan kita, tidak harus kita sia-siakan, karena bosan atau ada pilihan lain.

Silahkan saja merenung dengan termenung, sambil ngopi.

BSA/27/6/20

Olah Kreativitas Kafe Be EM

0

Setiap bisnis memiliki tantangan dan kreativitas pelakunya. Seperti anda harus menjual sisir ke biara Shaolin, di mana banyak orang yang berkepala botak. Sebagai pebisnis harus tetap memutar otak bagaimana agar tetap dapat menjual sisirnya.
Sebaliknya bagaimana apabila anda berkepala botak namun berjualan sisir. Apakah mungkin anda masih dipercaya bahwa sisir anda baik? Karena kepala penjualnya botak. Namun semuanya harus tetap berjalan, bisnis harus jalan, butuh kreativitas dan kerja keras.

Ada kafe bernama Be Em, singkatan “banyak maunya”. Itulah nama sebuah Kafe tempat nongkrong ngopi di daerah Pondok Kelapa. Dinamakan Be Em, kata yang empunya yang generasi milenial, karena untuk mengakomodir semua keinginan dan kemauan konsumennya. Mau enak, mau banyak, mau santai, mau murah dan berbagai kemauan lainnya.

Itulah kreativitas anak muda dalam membuat nama, yang mungkin tidak akan mampu terpikir oleh saya, sebagai generasi baby boomers. Kafe Be Em dengan segmen market anak muda, atau yang berjiwa muda, orang yang suka nongkrong, yang suka ngupi cantik.

Memang lokasinya strategis di pinggir jalan Pondok Kelapa Raya, yang hampir tidak pernah sepi sepanjang hari. Dan Kafe Be Em ramai pengunjung sebelum dipaksa tutup operasi karena Covid 19. Namun dengan adanya new normal, Be Em mulai diramaikan lagi oleh pembelinya. Itulah bisnis, seperti orang main gitar apabila sudah dapat nadanya, semuanya berjalan lancar dan harmoni.

Model bisnis kafe adalah menarik pembeli. Seperti memasang bubu ikan, bukan memancing yang dapat berpindah-pindah tempat. Maka begitu konsumen diperoleh biasanya akan betah, sepanjang pelayanan masih tetap sesuai dengan selera pelanggannya. Dan sekarang di antara pelanggannya pun malah sudah saling mengenal.
Sekarang malam Minggu, biasanya Kafe Be Em selepas magrib mulai ramai hingga hampir tengah malam. Saya pun berencana ngopi bersama kawan, untuk mengatasi kesumpekan di rumah saja.

BSA/27/6/20

Taktik Rope a Dope ala Kempot

0

Kempot is back ! Pagi ini ada kabar gembira, penjual mie ayam Kempot, telah kembali ke habitatnya. Setelah 3,5 bulan pulang kampung ke Wonosobo. Kempot atau Bang Soleh, melakukan strategi retrenchement, kata orang sekolahan. Minggir dulu untuk bertahan. Tinggal dikampung sambil makan tabungannya. Tinggal di kampung ibarat taktik rope a dope, bersandar di tali ring gaya Mohamad Ali petinju legendaris, biarkan lawan memukul, sampai kehabisan tenaga, baru balik serang. Kempot juga mencoba bertahan di kampung dengan tabungannya, untuk memperpanjang masa habis tabungannya. Lumayan kehidupan di kampung hampir hanya 1/2 dari kehidupan di Jakarta. Artinya durasi atau “masa hidupnya” dapat diperpanjang 2 kali ketimbang hidup di Jakarta dengan status tidak ada penghasilan.

Para UMKM model Kempot, seringkali bijak, memiliki exit strategi dalam menghadapi kenyataan yang tidak sesuai harapan. Menurutnya, dia akan selalu menyimpan dan mengunci uangnya untuk modal dan tidak dapat diutak atik untuk keperluan apapun kecuali kepepet. Sementara pejabat dan pengamat sibuk menganalisis berbagai keluhan UMKM dadakan yang cengeng, sedikit sedikit minta bantuan modal namun tidak pernah sukses. UMKM yang asli itu liat, tahan banting, dan die hard.

Konon beda ukuran, beda tempat, beda proses beda masalah, kata orang, sebagai pembelaan terhadap perusahaan besar yang sama susahnya dengan UMKM. Namun perusahaan besar kadang mempunyai posisi tawar lebih besar ke pemerintah dan pihak perbankan ketimbang UMKM. Dengan berbagai alasan akademis, mereka dapat meminta bantuan dengan berbagai istilah seperti bridging fund, bail out/ dana talangan, modal titipan, injeksi dan sebagainya. Dengan alasan adanya dampak sistemik dan alasan lainnya.

Alhamdulillah konon pemerintah tetap “keukeuh” akan menggelontorkan dana ratusan triliun untuk membantu UMKM yang kehabisan modal. Mudah mudahan tidak salah sasaran. Kadang Usaha Mikro model Kempot ini permintaannya sederhana, yang penting diberi lapak dan tidak digusur saja, sepertinya dapat hidup.

Selamat berjuang kempot !!

*Kalau anda berniat mencicipi bakmi Kempot silahkan berkunjung di warungnya di depan Ruko Taman. Modern Cakung. Tanyakan saja di mana bakmi Kempot berada. Semut merahpun tahu…hi..hi..hii lebay.

Saya selesaikan dulu makan saya ya.

BSA/28/6/20

Belajar Dari Kekalahan

0

Saya butuh waktu untuk dapat melihat anak saya beradu fisik dalam pertandingan Taekwondo. Saya belum dapat menerima anak saya disakiti dan anak saya menyakiti orang lain. Saya juga khawatir melihat anak saya mengendarai sepeda motor. Saya juga khawatir, khawatir dan khawatir, terhadap apa saja yang dilakukan anak saya.

Mungkin saya terlalu “Cemen”. Padahal saya dahulu lebih “petakilan” dan “blingsatan” ke sana kemari daripada kelakuan anak saya. Saya tidak pernah memikirkan perasaan khawatir orang tua saya. Dan orang tua saya juga seperti tidak pernah melarang. Sepertinya saya masih dalam koridor di bawah ambang batas “rasa khawatir” orang tua saya.

Terus kenapa saya begitu khawatir terhadap anak-anak saya, ketika anak saya mendaftar sekolah sesuai “keinginannya”, saya begitu khawatir, takut anak saya tidak diterima. Perwujudannya dengan marah, ngamuk ketika anak tidak diterima. Merasa tidak adil. Mulailah saya menerka dengan pikiran negatif. Ada kecurangan dan mulai membawa kekalahan anak saya ke rekan-rekan saya, untuk mendapat dukungan sosial. Itulah kelakuan saya.

Kenapa ketika anak saya kalah dalam turnamen taekwondo, saya begitu sabar menghibur bahwa kita harus menerima kekalahan, berjiwa satria dan harus lebih giat lagi berlatih. Dan disitu menurut saya ada nilai edukasi yang luar biasa, sang anak belajar menerima sesuatu yang tidak sesuai harapan. Belajar sportifitas, belajar artinya perjuangan dan kerja keras juga tidak berarti akan berhasil. Belajar menerima kenyataan pahit. Mungkin saya akan berdebat bahwa msalahnya berbeda, ini masalah masa depan anak bukan urusan Taekwondo.

Saya pun merenungi cerita Thomas Alfa Edison yang memiliki kelainan dan dianggap aneh, sehingga tidak dapat bersekolah di sekolah formal. Meski ibunya marah, namun mengatasi dengan sangat bijak. Sehingga si Thomas mampu menjadi penemu kelas dunia. Untung saja si Thomas bukan anak saya, karena saya tidak akan mampu berkata seperti Nancy, ibu si Thomas “Anak saya bukanlah anak bodoh. Saya sendiri yang akan mendidik dan mengajarinya” ucap Nancy dengan nada kesal dan marah.

Sedangkan kalau saya sederhana saja, saya akan marah dan labrak tuh guru di sekolah yang tidak mau menerima anak saya, sebagai pelanggar HAM. Saya telah lupa masa depan rahasia Tuhan, terus tugas orang tua apa ya?

BSA/29/6/20

Pak Tua di Sudut Masjid

0

Beragama karena ada kematian, saya mendapat undangan seminar melalui zoom. Sangat menarik sekali judulnya. Judulnya seru, terutama bagi para lansia, di mana banyak yang mendadak agamis setelah tua. Alasannya kematian sudah menjelang. Jadi saatnya bertobat. Sepertinya kalau tidak ada ketakutan akan kematian, agama menjadi “tidak laku”.

Apakah beragama untuk kehidupan atau kematian ? Dan katanya untuk kedua-duanya.
Itulah manusia, setelah urusan dunia sudah sulit direngkuh karena usia lanjut, maka bagi banyak para lansia fokus kepada urusan menyongsong kematian. Beragama menjadi pilihannya, artinya mengikuti anjuran agama, yang akan dijadikan “teman” menyongsong kematiannya.

Beragama adalah suatu keyakinan, bahwa apa yang diyakini adalah dari Tuhan sang maha kuasa yang dipercayai. Tuhan tempatnya kembali. Maka apabila kita “menuruti” perintah agama di hari hari para lansia, hal ini minimal akan mengurangi rasa ketakutan menghadapi kematian. Mengingat berbagai perbuatan ” tercela” yang pernah dilakukan. Ada saat, ada waktu kesempatan untuk bertobat.

Seperti sudah menjadi watak manusia, yang cenderung menyebarkan kekhawatiran, ancaman, kerugian dan ketakutan dirinya, namun sering menyimpan rapat-rapat keuntungan yang akan diraihnya. Jadi berbagai kekhawatiran tentang kematian, dan tentang agama sering menjadi “petuah” yang disebarkan.

Seperti membagikan tentang peribadatan yang dilakukannya telah dilaporkan melalui medsos. Selalu ingin mengajak orang lain. Menyebarkan tentang “ancaman’ hukuman di hari kemudian. Kenapa tidak menyiarkan nikmatnya ketenangan dan keteduhan hati ketika melaksanakan ritual ibadah. Seperti di jalan raya ada polisi dan tilang, lebih “takut” kepada tilangnya ketimbang kenyamanan kalau taat aturan. Bukankah peraturan dibuat untuk ketertiban umum.

Saya melihat seorang tua di sudut mesjid. Mungkin orang yang dianggap tidak pernah menikmati gemerlap dan kenikmatan dunia yang luar biasa, karena hanya sebagai buruh harian. Namun si orang tua beribadah tidak pernah lepas dari keseharainnya, bukan untuk menyongsong kematian karena “gagal” dalam kehidupan, namun sebagai perenungan perjalanan nasibnya. Bukan menggugat Tuhan, tetapi sebagai ucapan syukur, bahwa dapat menjalani hidup tidak harus melakukan perbuatan tercela. Bukan merasa takut kepada Tuhan, namun merasa nyaman bersama Tuhannya. Pak tuapun tidak pernah sesumbar di medsos dia sedang beribadah, mungkin sayang membuang pulsa untuk yang bersifat kebahagiaan pribadi, yang hanya layak dinikmati oleh dirinya bersama Tuhannya.

Saya hanya memandangi saja pak tua dengan “kenikmatan” hidupnya. Sementara saya hanya sibuk mendiskusikan, mencela dan mengcopas ujaranNYA saja dengan hati yang membara dan merasa sebal dengan orang yang saya anggap “tidak taat’ agama sesuai pemahaman saya. Saya mulai mikir apa yang harus saya pertanggung jawabkan di hari kemudian kelak ?

BSA/1/7/20

Distrupsi Kerja Penerbit di Tengah Pandemi

0

Program bazar buku penerbit lokal mengusung slogan #BeliBukuLokal. Pesta buku ini akan menggandeng empat lokapasar yaitu Tokopedia, Bukalapak, Lazada dan Blibli.

EDURANEWS (Jakarta), IKAPI melakukan soft lauching program #BeliBukuLokal dengan empat lokapasar (7/8). Acara ini menyajikan testimoni dari lokapasar dan penerbit yang saling bekerjasama untuk mendukung program Beli Buku Lokal dari Kemenparekraf.

Kegiatan diawali dengan pembukaan oleh Nia Niscaya selaku Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf RI yang memaparkan adanya kerjasama dengan empat lokapasar yakni; Tokopedia, Bukalapak, Lazada dan Blibli.

Keempat lokapasar inilah yang digandeng untuk memperdagangkan buku baca yang asli/orisinal. Hal itu bertujuan untuk menghindari pembajakan.

Rencananya program #BeliBukuLokal akan dilakukan dari tanggal 7 Agustus- 7 September bekerjasama dengan 82 Penerbit dengan menjual 100.000 judul dengan gratis ongkir. Kegiatan ini mensubsidi harga buku orisinil agar lebih terjangkau.

AVP Public Policy & Government Relations Bukalapak Bima Laga mengatakan bahwa platform-nya telah membuat Bukabuku. Ia juga memberikan campaign guna men-support kerjasama dengan IKAPI tak lupa disertai promo untuk pembelian buku.

Sementara, Budi Primawan dari Lazada mengungkapkan bahwa selama PPDB adanya program ini menguntungkan semua pihak dan mendapatkan produk lebih mudah. Menurutnya membaca buku dari rumah jadi alternatif selama pandemi.

Pernyataan Budi pun diperkuat oleh Wenny Yuniar dari Bibli. “Selama pandemi, karena banyak orang punya waktu luang, penjualan buku mengalami peningkatan yang cukup pesat. Lonjakan peningkatan ini dari 200-400%,” ujar Wenny.

Tak lupa M. Hilmi dari Tokopedia pun sangat antusias dengan adanya kerjasama dengan Kemenparekraf. Ia pun mendukung acara ini supaya bisa terus berkelanjutan.

Arys Hilman, Direktur Republika menceritakan keoptimisannya di awal tahun ini karena semua jenis buku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan perundangan dibebaskan dari PPN.

Ia berpesan bahwa semua buku punya peran dan harus terjangkau oleh masyarakat. “Buku itu menjadikan tiga M (bermutu, murah, merata),” kata Arys.

Sayangnya pandemi muncul, ia pun mengeluhkan industri perbukuan mengalami pukulan yang sangat telak.

“Seiring pemberlakuan PSBB di berbagai daerah toko buku tutup, pameran-pameran buku terhenti, cukup banyak rekan penerbit yang menghentikan produksi, menghentikan proses cetak buku baru, mengurangi karyawan, bahkan ada pula penerbit yang tutuptutup,” tambah Arys.

Kehadiran covid-19 mempercepat proses transformasi digital pada industri perbukuan. Penjualan buku fisik secara daring maupun produksi buku digital yang diedarkan melalui platform digital menjadi pintu keluar pada situasi ini.

Republika penerbit menunjukan adanya lonjakan penjualan buku fisik melalui kanal digital hingga lima kali lipat… Akhirnya memperkuat penjualan secara digital, baik melalui webstore kami dan kami juga membuka toko resmi di tujuh lokapasar.

Arys juga menekankan bahwa masyarakat perlu tahu produk original itu penting. “Betapa menyedihkan membeli buku bajakan. Adanya upaya digital untuk segala promosi…Dunia buku, bukan sekedar berjualan kertas atau tinta.

Buku tidak bisa disimplifikasi sekedar berapa jumlah halaman atau bobot kertasnya karena di dalamnya ada cita-cita dan darinya terbentuk peradaban.

Buku adalah cerminan intelektualitas bangsa, dengan demikian tindakan apa pun yang merendahkan ide-ide yang termaktub dalam buku itu dalah perbuatan jahat. Dan pembajakan terhadap hak karya cipta buku itu adalah kejahatan besar yang menyerang intelektualitas dan perabadan.

Terakhir testimony dari M. Rohanudin, Direktur RRI menyampaikan buku bukan hanya mencerdaskan tapi untuk membangun toleransi, untuk mengangkat martabat besar untuk Indonesia. Digitalisasi harus memberikan ruang kepada masyarakat untuk menularkan tulisan-tulisan yang baik untuk mencerdaskan bangsa.

Udin Combo dan Keteladanan

0

Udin Combo, bukan grup band jadul seperti Zaenal combo. Tetapi nama warung makan Betawi di daerah Harapan Indah Bekasi. Pemiliknya adalah H. Samsudin. Penambahan nama Combo ditambahkan ketika masih menjadi penjual buah keliling, ketika berjualan di daerah Sunter Jakarta, ada seorang haji, pengusaha kaya raya, baik hati, suka menolong orang dan gemar bersedekah. Sejak itu babe Udin menggunakan nama Combo di belakangnya agar dapat seperti H. Combo, menjadi orang baik dan suka berderma.

Dan sekarang rupanya nasib Udin seperti H Combo, idolanya. Dengan rumah makan yang berlabel “Udin Combo”, warung makan khas Betawi, sekarang memiliki 7 cabang . Anaknya 9 yang laki-laki diwarisi warung. Tinggal menjalankan. Udin Combo juga memiliki usaha lain, memiliki 2 marketplace pribadi, membuka lapak untuk dijadikan pasar dengan 20 kios dengan sewa 800-an sampai sejuta sebulan. Memiliki sekolah dan kontrakan. Kalau direk- reka, pendapatan H.Udin mungkin sudah melebihi gaji direktur utama BUMN.

Namun Udin tetap Udin, masih memilih hidup dengan cara sederhana dengan telepon genggam jadulnya. Ada beberapa prinsip yang dianut dalam bisnisnya;
1) menghitung bon berdasarkan pengakuan atau self assessment. Dan selalu ikhlas kalau pembeli mau bohong.
2) kalau ada yang mendadak kurang bayar, diikhlaskan pelanggan berhutang, untuk dibayar pada kunjungan berikutnya.
3) berderma jangan pernah putus, meski seberapapun besarnya
4) jangan putus shalat.

“Ikhlaskan saja”, kata Udin Combo. Kalau ada pelanggan bohong, kenapa tidak takut rugi, katanya toh saya tidak butuh uang buat mudik. Sambil bergurau karena memang Udin asli Bogor, Bekasi Utara di mana tempat warungnya berada.

Kalau anda baca uraian di atas, ada nama Combo, ada contoh keteladanan, spirit, ada perjuangan, keuletan, ada nasib, ada keihlasan, ada sedekah dan ada doa. Sepertinya semuanya teroplos sebagai ramuan yang handal menuju sukses. Dan butuh waktu sekitar 23 tahun. Meski sekarang mengalami stroke, namun di wajahnya tetap terlihat semangat, tidak pernah memikirkan stroke-nya sebagai masalah atau halangan untuk hidup yang produktif.

Hidup mati sudah ada jalan-Nya. Katanya menutup pembicaraan dengan saya sore tadi, ketika Udin masih aktif mengawasi cara kerja pegawainya yang berjumlah 50 orang. Yang dijaganya adalah jangan sampai pegawainya “menyakiti” pelanggannya. Sementara saya masih sering mengeluh ya?

BSA/1/7/20

Kita Hanya Seperti Talang Air

0

Cepek komplit, itulah sedekah yang saya berikan sebesar cepek atau seratus ribu, dan saya minta didoakan, banyak rejeki, diampuni dosanya, dilancarkan usahanya, dilapangkan kuburnya, diberi kebahagiaan, diberi kesehatan, diberi kebahagiaan, dilimpahkan rejeki dan berbagai hal yang bersifat “kesenangan” dunia akhirat, dan itu terdengar dari speaker rumah ibadah, diaminkan para jemaah yang hadir. Luar biasa sekali. Sangat bernilai sekali uang cepek saya.

Itulah mekanisme yang ada ketika saya berderma, memberi berharap kembali. Saya bersedekah dan minta didoakan. Saya sudah seperti pengusaha yang berinvestasi, menaruh uangnya berharap ROI (Return on Investment).

Apakah pengusaha akan diam saja setelah menaruh uangnya dalam berinvestasi? Pengusaha pasti akan tetap menjaga investasinya tidak hilang, bekerja keras dan fokus setiap hari agar harapannya dapat terwujud. Berupa imbalan yang melimpah atas investasi dan kerja kerasnya.

Berbeda dengan nasib cepek saya. Saya berikan sedekah cepek, saya merasa gembira, bangga dan kalau perlu celingukan agar dilihat orang, kemudian hari-hari selanjutanya, saya hanya pasif.

Anak yatim dan jemaah mendoakan saya. Sayapun senang hati. Ada doa yang akan mengetuk pintu langit, tentang masa depan saya yang gilang-gemillang.Saya pun tinggal menunggu kabar nasib saya. Berharap mendadak berubah. Alhamdulillah nasib saya sepertinya tetap saja, saya tidak tahu nasib saya setelah mati.

Rupanya saya sudah melakukan “akal-akalan” dari sedekah saya. Saya lupa bahwa sedekah adalah kewajiban, bukan investasi yang berharap kembali. Sedekah adalah menyisihkan hak orang lain yang dititipkan kepada saya.

Ketika sedekah dilakukan dengan ikhlas dan ketulusan serta tidak mengharapkan apa apa, malah cara Tuhan yang akan berlaku. Apa yang saya sedekahkan akan berbalik dari arah yang saya sendiri tidak menduga, dengan jumlah yang berlipat ganda. Dan itu saya sering mengalaminya.

Rumus ROI, payback period atau IRR sebagai tolok ukur kelayakan sebuah investasi, hanyalah instrumen buatan manusia, di mana dapat terwujud apabila dikerjakan dengan fokus dan sungguh sungguh. Berbeda dengan instrumen Tuhan, anda berikan sedekah dengan tulus, ikhlas, dan lupakan saja sedekah anda, namun Tuhan tidak akan lupa mencatat dan memberikan imbalannya. Tidak usah diminta. Yakinlah, kalau begitu terbesit ada keinginan minta imbalan, sepertinya akan menjadi “ambyaaar”. Cara Tuhan tidak berjalan. Sedekah kita hanya sekedar mengembalikan titipan orang susah.

Jadi nanti kalau shalat Jumat, jangan lupa sedekah, dan jangan berharap apa-apa. Itu bukan duit kita, duit orang susah yang dititipkan pada gaji atau pendapatan kita. Kita hanya seperti talang air, dan namanya talang air, sebagai penyalur air pasti basah juga ya. Ya nikmati saja air yang melewati dan endapannya. Biarkan yang lain mengalir kepada yang berhak.

Ketika saya melihat gambar Ka’bah, saya pandangi talang air atau istilahnya pancuran mas, di salah satu sisi Ka’bah. Ketika hujan talang itu mengalirkan air, jatuh ke arah Hijir Ismail, tempat banyak orang berdoa dengan khusyu.

Semoga saya diberi kesempatan kembali mengunjunginya.

BSA/3/7/20

Recent Posts