Home Blog Page 49

Belajar dari Aceh dan Maluku, Peran Universitas dalam Merajut Keutuhan NKRI

0

Pelajaran penting dapat dipetik dari penyelesaian damai dalam konflik Aceh dan Maluku. Universitas memiliki peran dalam menjaga aras restorasi. Menjadikan perjanjian Helsinki dan Malino tonggak penting persaudaraan. 

EDURANEWS, JAKARTA- 15 Agustus 2005, tepat hari ini 15 tahun perjanjian Helsinki ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Penyelesaian konflik ini menjadi sukses stori bagaimana mengelola sebuah konflik. 

Untuk menggali sukses stori itu, Pusat Penelitian Sosial, Humaniora Ekonomi LPPM UNJ dan Dewan Senat Indonesia mengadakan webinar dengan tajuk “Menjaga Keutuhan NKRI Belajar dari Penyelesaian Konflik Secara Damai di Aceh dan Maluku” (14/8). Webinar ini mencoba menggali lebih jauh cerita dibalik suksesnya proses perdamaian di Aceh dan Maluku. 

Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil berkisah di webinar ini. Saat itu, ia turut aktif menemui dan mengakomodir semua komplain dari GAM. Mulai dari penyerahan senjata sampai tahanan politik. Dalam perjalanannya, perjanjian Helsinki terus dimonitoring.

“Yang krusial pada saat itu mengenai pendirian partai lokal di Aceh,” ungkap Sofyan Djalil yang pernah menjadi negosiator perjanjian damai Aceh di Helsinki. Sofyan Djalil meyakini ada lesson learning yang dapat diambil dari perjanjian Helsinki.

Juha Christensen yang secara aktif ikut dalam beberapa perundingan juga menceritakan pengalamannya. Juni 2003, Juha Christensen pertama kali bertemu dengan pimpinan GAM di Stockholm. Juha juga aktif komunikasi dengan pemerintah untuk mempersiapkan kesepakatan bersama untuk berunding. Poin-poin penting itulah yang nantinya dicatat menjadi MOU dalam perjanjian damai. Juha mengatakan perundingan ini tidak akan tercapai jika tidak adanya keseriusan dari pemerintah saat itu.

Proses menjadi lebih mudah ketika Pemerintah Indonesia mengizinkan adanya pihak ketiga dalam perundingan. Adanya pihak ketiga juga menjadi poin penting dalam proses perdamaian. Ketika itu proses perundingan yang menjadi fasilitator adalah mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. 

“Kami sangat bangga Finlandia diterima sebagai perantara untuk menyelesaikan konflik ini,” ucap Juha.

Belajar dari Maluku

Selain belajar dari penyelesaian konflik di Aceh, webinar ini juga memberikan catatan penting mengenai penyelesaian konflik di Maluku. Tony Pariela mengatakan konflik Maluku yang sudah berakhir telah menyisakan pembelajaran yang sangat penting bagi masyarakat Maluku.

Konflik Maluku berlangsung lama. Konflik yang berakar dalam karena menyentuh simbol identitas privat dan eksklusif. Akar permasalahan diyakini ada di struktur masyarakat.

“Dampak destruktif secara bertahap mengalami restorasi yang signifikan,” ungkap Pariela yang pernah menjadi negosiator perjanjian damai Ambon Malino 2.

Penyelesain konflik di Maluku juga dapat diselesaikan karena berakar pada kebudayaan lokal. Konflik di Maluku dianggap sebagai konflik agama. Selama masa restorasi, kearifan lokal telah mengikat toleransi beragama. 

Pela gandong adalah ideologi persaudaraan,” kata Mus Huliselan, “dalam budaya pela gandong saling melindungi antar agama yang berbeda. Pela gandong menjadi nilai utama toleransi keragaman yang mengikat persaudaraan di Maluku,” lanjutnya

Peran universitas

Pelajaran penting dapat dipetik dari penyelesaian damai dalam konflik Aceh dan Maluku. Universitas memiliki peran dalam menjaga aras restorasi, Menjadikan perjanjian Helsinki dan Malino yang  menjadi tonggak penting persaudaraan. 

“Universitas adalah otak peradaban, universitas membentuk budaya inklusif,” ucap Hafidz Abbas. 

Webinar ini juga diharapkan menjadi bahan catatan penting kedepannya yang dapat diterbitkan menjadi produk akademik.

“Semoga webinar ini menghasilkan produk akademik yang monumental dalam menyambut HUT RI ke-75, berupa model-model penyelesaian konflik secara Damai di Indonesia,” ucap Rektor UNJ Komarudin Sahid.

Simak Penjelasan Hans de Wit Tentang Tanggung Jawab Sosial Universitas

0

EDURANEWS, JAKARTA – Perubahan dunia yang semakin kompleks menimbulkan banyak permasalahan. Beberapa di antaranya telah menjadi isu utama dalam kajian penelitian di banyak perguruan tinggi (PT), seperti pemanasan global, kemiskinan, kesenjangan pendapatan, konflik, dan wabah pandemi.

Lalu, bagaimana menyelesaikan masalah ini? Hal tersebut merupakan tugas yang menantang bagi universitas dalam konteks nasional, regional, dan global.

Guru Besar dan Direktur Center for International Higher Education (CIHE), Boston College, USA, Prof. Hans de Wit mengatakan universitas masih diandalkan untuk menjadi inkubator pengetahuan dan solusi untuk meningkatkan kualitas hidup, 

Ia melanjutkan bahwa penting memberikan ruang untuk universitas dapat membantu membangun dunia yang lebih baik. Hal itu menurutnya merupakan Tanggung jawab sosial universitas di tengah masyarakat. Harus ada manfaat perilaku yang diberikan atas penyelenggaraan pendidikan di PT..

Harapan yang besar dari masyarakat bahwa perguruan tinggi harus menghasilkan ilmu yang dapat memecahkan masalah kehidupan. Pada akhirnya hal itu dapat meningkatkan kualitas hidup.peradaban manusia.

Dalam prinsip penyelenggaraan PT, Sebenarnya konsep tanggung jawab sosial universitas sudah masuk dalam jam filosofi tridharma perguruan tinggi. Dalam Kedua konsep itu terdapat kesamaan yang saling berkaitan yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Hans de Wit menyatakan hal tersebut dalam kuliah umum yang dilangsungkan secara daring kemarin (13/08). Seminar bertajuk Higher Education Internationalization Strategies in the Covid-19 Pandemic tersebut dihadiri oleh dosen dan mahasiswa di lingkungan Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Peserta yang hadir berjumlah lebih dari 200 lebih. Selain itu, seminar ini juga dihadiri oleh peserta dari Malaysia dan Nepal. Peserta sangat antusias menyimak penjelasan Hans, terlihat dari sesi tanya jawab yang sangat aktif. 

HANS DE WIT: Kualitas Pendidikan Lebih Utama Ketimbang Ranking Universitas

0

EDURANEWS, JAKARTA – Hans de Wit menekankan pentingnya ranking perguruan tinggi (PT) dalam persaingan global. Akan tetapi Hal itu bukanlah tujuan, yang paling utama adalah aspek kualitas pendidikan itu sendiri.

“Dalam era globalisasi seperti ini. terkadang PT menganggap ranking sebagai tujuan utama, padahal tidak. Ranking akan ikut naik seiring dengan membaiknya kualitas pendidikan itu sendiri,” jelas Hans dalam kuliah umum yang disampaikan dalam bahasa inggris di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Dalam seminar daring yang diselenggarakan melalui platform Zoom itu, Hans mengatakan bahwa sebanyak mungkin penilaian harus tertanam dalam penilaian kualitas pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat secara keseluruhan.

“Ranking hanya menilai sejumlah kecil aspek kuantitatif dari suatu lembaga pendidikan, tidak semuanya,” tegasnya dalam seminar bertajuk Higher Education Internationalization Strategies in the Covid-19 Pandemic (13/08).

Termasuk soal akreditasi yang seringkali cenderung bersifat lebih kuantitatif daripada kualitatif. Walaupun menjadi cermin dari penilaian, akreditasi merupakan produk dari sebuah proses yang baik. Bila dari awal semua dijalankan dengan prinsip pengelolaan manajemen pendidikan, akreditasi dengan sendirinya akan naik.

Setelah kualitas, maka tahapan berikutnya, PT dapat melakukan kolaborasi internasional dalam ranah riset dan analisis, publikasi dan informasi, serta pendidikan dan pelatihan. Karena semua menuntut proses yang bertahap, Universitas harus menyadari bahwa ia adalah entitas dari ekosistem global.

Hans adalah Guru Besar dan Direktur Center for International Higher Education (CIHE), Boston College, USA. Iya mengkhususkan kajian pendidikan pada bidang internasionalisasi pendidikan tinggi. Penelitiannya berfokus pada kebijakan nasional dan kelembagaan, strategi internasionalisasi PT di seluruh dunia. 

Pandemi Covid-19, Perguruan Tinggi Dituntut Tingkatkan Kualitas

0

EDURANEWS, JAKARTA – Penyelenggaraan pendidikan masih menjadi kendala dalam menghadapi Pandemi Covid-19, tidak terkecuali bagi perguruan tinggi (PT). Di tengah kesulitan itu, pihak universitas tetap dituntut meningkatkan kualitas pendidikannya.

Implementasi tridharma perguruan tinggi masih terbatas dengan protokol kesehatan. Hal itu justru memberikan kesempatan untuk dosen dan mahasiswa untuk berkolaborasi dengan jaringan internasional. Melalui berbagai platform digital, yang dilangsungkan secara online, pihak kampus dapat dengan bebas melakukan kerja sama dengan PT luar negeri.

Guru Besar dan Direktur Center for International Higher Education (CIHE), Boston College, USA, Prof. Hans de Wit menjelaskan pentingnya perspektif global dalam pembelajaran di PT. Hal itu akan mendorong iklim yang positif, terutama dalam ranah riset dan analisis, publikasi dan informasi, serta pendidikan dan pelatihan.

“Kesempatan sangat terbuka bagi negara berkembang untuk melakukan kolaborasi dengan negara maju,” tutur Hans de Wit dalam seminar pendidikan internasional secara daring di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Acara itu mengambil tema “Higher Education Internationalization Strategies in the Covid-19 Pandemic” (13/08).

Di negara maju penawaran terhadap pendidikan tinggi sangatlah besar sementara permintaannya tidak lebih banyak dibandingkan dengan negara berkembang. Sebaliknya di negara berkembang justru penawaran terhadap pendidikan tinggi lebih sedikit dibandingkan dengan permintaannya.

INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN

Hans sendiri mengartikan internasionalisasi PT sebagai proses mengintegrasikan dimensi internasional mulai dari aspek budaya atau dimensi global dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian untuk dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat.

Dalam konsepnya, internasionalisasi tidak harus pergi ke luar negeri (internationalization abroad), akan tetapi dengan #DiRumahAja kita bisa menjalankan pendidikan internasional (internalization at home). Sehingga sangat lebih kontekstual dengan kondisi Pandemi Covid-19.

Saat ini internasionalisasi tidak lagi diartikan sebagai westernisasi atau kebarat-baratan. Lebih lanjut, internasionalisasi tidak dapat dilakukan satu arah. Hans menekankan perlu adanya konteks, yaitu kelembagaan, lokal, nasional dan regional. Hal itu akan memberikan ciri khas Tersendiri antara satu dengan yang lainnya.

Konteks berubah seiring waktu, jadi ini adalah sebuah proses yang membutuhkan jangka waktu cukup panjang. Untuk menemukannya perlu dicari keunggulan dan keunikan dari suatu entitas. Hal itulah yang kemudian akan menjadi daya saing di era internasionalisasi PT.

POST-PANDEMIC COVID-19

Hans menyatakan bahwa setelah pandemi akan terjadi perubahan. Kondisi tidak serta merta kembali kepada periode sebelumnya. Belajar dari pandemi adalah kata kuncinya, yaitu bagaimana mewujudkan pembelajaran global untuk semua, memanfaatkan keterampilan dalam memanfaatkan platform daring, bukan sekedar mengganti pembelajaran dari offline ke online semata.

Kesadaran akan sesuatu yang lebih besar menjadi global citizenship akan mendorong pembelajaran lebih berkualitas. Masuk ke dalam ekosistem ilmu pengetahuan yang lebih luas menuntut siapapun yang terlibat dalam PT memacu diri untuk meningkatkan kompetensinya.

Hans menutup kuliahnya dengan kesimpulan bahwa internasionalisasi adalah cara untuk dapat bertukar ilmu pengetahuan dengan apa yang kita miliki masing-masing. Sekaligus menjawab tantangan di era disrupsi yang serba cepat dan kompleks di dunia kontemporer.

Hans de Wit, dalam kuliah umum yang disampaikan dalam bahasa inggris, memberikan pencerahan kepada dosen dan mahasiswa akan pentingnya memperdalam kapabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam era internasional, penting kiranya setiap warga civitas akademika menyadari bahwa setiap individu adalah bagian dari global citizenship.

Ia memberikan kuliah online kepada lebih dari 200 lebih peserta yang dihadiri oleh akademisi, mahasiswa, dan kalangan tenaga kependidikan. Seminar ini juga dihadiri oleh peserta dari Malaysia dan Nepal. Peserta sangat antusias menyimak penjelasan Hans, terlihat dari sesi tanya jawab yang sangat aktif.

Rajut Kesatuan NKRI, Simak Webinar Penyelesaian Konflik Damai di Aceh dan Maluku

0

EDURANEWS, JAKARTA – Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyambut HUT RI ke-75 dengan melakukan seminar kebangsaan. Rencananya seminar tersebut akan dilakukan secara daring (Webinar). Acara terselenggara atas kerjasama antara Dewan Senat Indonesia dan Pusat Penelitian Sosial, Humaniora, dan Ekonomi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) .

Tema yang diusung adalah “Menjaga Keutuhan NKRI, Belajar dari Penyelesaian Konflik Secara Damai di Aceh dan Maluku”. Webinar bertujuan untuk menjalin persatuan dan kesatuan berbangsa dalam keberagaman.

Seminar akan dibuka oleh sambutan Rektor UNJ Dr. Komaruddin M.Si. Sedangkan berperan sebagai pengantar Ketua LPPM UNJ Dr. Ucu Cahyana, M.Si. Diskusi ini akan dipandu oleh moderator Dr. Wiratri Anindhita, S.IP., M.Sc., CPR.

Narasumber terdiri dari menteri Agraria dan Tata Ruang, Dr. Sofyan A. Djalil, S.H., M.A., M.ALD. Ia juga berpengalaman sebagai negosiator perjanjian damai Aceh di Helsinki tanda kutip jalan damai konflik Aceh dan keutuhan NKRI”

Pembicara lainnya, Ketua Komnas HAM Republik Indonesia ke-8 Prof. DR. Hafid Abbas. Ia juga menjabat sebagai koordinator Forum Senat Indonesia. Dalam seminar, ia akan berbicara tentang konflik Aceh dan Maluku. Hal itu dapat menjadi pembelajaran berharga bagi anak bangsa.

Sementara pembicara dari kalangan luar negeri yaitu mediator perjanjian damai aja di Helsinki Juhana Christensen. Ia akan berbicara tentang pengalaman mengawal proses perjanjian damai di Helsinki, Finlandia.

Pembicara terakhir yaitu Dekan Fisip UNPATTI Prof. T.D. Pariela., M.A. Ia adalah negosiator penandatanganan perjanjian damai Ambon (Malino 2). Ia akan berbicara tentang semangat kebangsaan dan jalan damai konflik Maluku.

Seminar akan ditutup oleh kesimpulan yang akan disampaikan oleh Koordinator Bidang Sosial, Humaniora, dan Ekonomi LPPM UNJ DR. A.H. Fetgehipon, M.Si. Ia akan menyimpulkan hasil diskusi untuk menjadi rekomendasi bagi seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat Indonesia.

Bagi yang berminat dalam acara ini, dapat melakukan regitrasi pada link https://bit.ly/2DDmQuF. Sementara ID Zoom 922 2906 1325, dengan password 786971. Webinar ini juga rencananya akan disiarkan langsung via Youtube dengan link berikut https://youtu.be/B21HcYrlAKs.

Bagi peserta yang mengikuti acara ini akan diberikan benefit berupa sertifikat.

Pembelajaran Jarak Jauh, antara Peluang dan Tantangan

0

Situasi pandemi Covid 19 mengubah struktur pendidikan mulai dari cara menyerap pengetahuan, belajar-mengajar, penilaian dan evaluasi.

EDURANEWS, JAKARTA- Di masa pandemi muncul istilah pembelajaran jarak jauh yang sampai kini masih dicari formula terbaiknya. Ikatan Alumni S3 Manajemen Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ)  mencoba membedah persoalan itu melalui webinar “Peluang dan Tantangan Pembelajaran Jarak Jauh” (26/7)

Webinar ini mencoba menyoroti apa saja isu yang berkembang, peluang dan tantangan selama pembelajaran jarak jauh berlangsung. Prof. Yetti Supriyati memberikan ulasan awal bagaimana pembelajaran jarak jauh memunculkan persoalan mulai dari infrastruktur telekomunikasi (sinyal), masalah kuota, dan bagaimana guru-guru melakukan penilaian dalam pembelajaran. Ketiga masalah itu menjadi masalah mendasar yang sering muncul. 

Dalam amatan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdiana, situasi pandemi Covid 19 telah mengubah cara jutaan orang mendidik. Orang-orang pun mulai mencari solusi baru untuk pendidikan yang inovatif. Namun, permasalahan juga muncul di mana kesenjangan digital semakin nyata terjadi.

Di masa pandemi seperti ini belum ada tanda-tanda sekolah akan dibuka kembali seperti semula. Pembelajaran Jarak Jauh masih menjadi alternatif penyelenggaraan pendidikan. 

“Menyelamatkan nyawa anak menjadi prioritas dibandingkan penyelenggaraan pendidikan,” ujar Nahdiana.

Manfaatkan konten digital

Pandemi Covid 19 telah mengubah struktur pendidikan yang sangat cepat. Dari data yang diungkap Hasan Chabibie, ada 19 persen sekolah belum mendapatkan akses internet. Selain masalah internet, ada 8522 sekolah yang belum mendapatkan akses listrik. Artinya pembelajaran jarak jauh memerlukan kolaborasi pelbagai pihak dalam menyediakan segala akses yang dibutuhkan.

Dalam aktivitas pembelajaran jarak jauh, guru cenderung banyak melakukan pemberian tugas. Jarangnya aktivitas respon antar guru dan murid dalam pembelajaran jarak jauh.

“Lebih dari 85 persen aktivitas yang dilakukan guru hanya memberikan soal,” ungkap Hasan Chabibie yang merupakan Plt Kepala Pusdatin Kemendikbud.

Menurut amatan Hasan Chabibie, hambatan siswa yang paling utama adalah kesulitan memahami, kurangnya konsentrasi dan tidak bisanya murid bertanya pada guru.

Selain masalah insfrastruktur learning system, Hasan Chabib juga memberikan ulasan bagaimana konten digital bisa dijadikan sumber belajar guru-guru. Kemendikbud banyak bekerja sama dengan pelbagai pihak untuk membuat konten digital.

Hasan Chabib meyakini konten digital adalah raja. Konten menjadi bahan bakar dalam proses pembelajaran. Konten-konten tersebut dapat dimasukan ke dalam kanal televisi, radio, youtobe dan lainnya. Anak-anak dapat mengakses konten belajar tersebut dari media belajar yang disediakan.

“Kolaborasi dengan segala pihak untuk mencoba menghadirkan konten-konten digital yang dapat diakses oleh guru dan peserta didik,” ujar Hasan Chabibie.

Adaptasi baru

Najelaa Shihab pendiri Sekolahmu membagikan pengalaman dalam penyelnggaraan pembelajaran jarak jauh. Dalam amatan Najelaa Shihab masalah tidak hanya terjadi di pembelajaraan jarak jauh tapi juga dalam tatap muka. Dari situ apakah siswa mampu menerima pembelajaran dengan baik.

Dampak keadaan darurat ini pada pembelajaran dirasakan semua oleh guru, orang tua, peserta didik dan masyarakat. Menurut Najelaa Shihab, banyak yang menganggap pembelajaran jarak jauh seolah-olah memindahkan aktivitas belajar dari sekolah ke rumah.

“Yang paling penting itu sebetulnya kemampuan untuk adaptasi baru,” kata Najelaa Shihab. Pendidikan harus menekankan pada kompetensi masa depan dan anak mesti mempunyai kemerdekaan belajar.

Menurut Najelaa Shihab ada empat kunci pengembangan guru yaitu kemerdekaan, karier, kolaborasi dan kompetensi. Pendidikan Abad 21 mesti menyentuh aspek merdeka belajar yang terdiri dari merdeka dalam berkolaborasi dan merdeka berkarya yang terintegrasi digital. Seharusnya juga tidak ada lagi simflikasi mengajar daring vs luring

“Ini bukan soal jarak jauh dan tatap muka, tetapi apakah kita betul-betul menyelenggarakan pembelajaran yang baik,” kata Najelaa Shihab.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan pembelajaran jarak jauh memberikan lesson learning. Semua serba mendadak dalam merespon pendidikan di masa pandemi.

“Memanfaatkan 3 bulan ini sebagai bahan yang amat kaya untuk melakukan penelitian bagaimana kita bisa melakukan pembelajaran jarak jauh dengan baik,” ungkap Anies Baswedan.

Ingat, Selalu ada Switching Cost

0

Ada yang harus ditanggung ketika biasa memakai sepeda ontel antik, dengan sepeda lipat. Memindahkan satu pilihan ke pilihan lain, ada “biaya” yang harus ditanggung. Dalam ungkapan orang sekolahan istilahnya switching cost.

Biaya bukan sekedar berupa materi, tetapi juga beban psikologis yang harus ditanggung. Suami-istri, harus rukun, baik ikhlas maupun tidak ikhlas, baik sebagai pasangan yang saling menjengkelkan maupun saling menyenangkan. Mereka agak sulit untuk menyatakan perceraian kalau switching costnya tidak sanggup untuk menanggungnya.

Kadang kita melihat, ada pasangan suami istri, di mana salah satu pasangannya sungguh “dianggap” tidak “layak” karena cerewet, pelit, galak dan berbagai hal yang negatif lainnya. Namun perkawinan tetap berjalan sampai akhir hayat.

Salah satu pertimbangannya antara lain switching cost. Tidak mampu menanggung biaya penggantinya. Namun apabila sang pasangan merasa kuat menanggung switching costnya maka cepat runtuh dan selesailah bahtera rumah tangganya.

Para ibu selalu membuat switching cost, untuk dirinya sendiri, dan menjadikan dirinya terbaik di mata suami, harapannya tentu suami akan berat beralih ke lain hati. Sementara sang suami selalu berusaha mengambil posisi, untuk menjadi pria perkasa, “pria berduit”, garang ibarat harimau yang siap lepas kandang.

Bagi kaum wanita, secara umum ketika ditinggal mati suaminya sangat sulit menerima kehadiran pria lain. Lebih baik sendiri sampai mati. Terlalu berat switching costnya. Namun bagi para suami, konon ketika sang istri meninggal, seperti telah kehilangan hambatan atau barrier switching costnya.

Konon kata para ibu, ketika para suami ditinggal mati istrinya, katanya belum kering tanah kuburan istrinya, sudah “melirik” cari gantinya. Saya pun hanya terdiam dan tak berani membantah.

Banyak orang diberi “kesempatan” mencari pasangan baru ketika pasangannya meninggal. Namun sebenarnya bagi pria yang sudah usia pensiun dengan uang pas-pasan akan sangat sulit hidup dengan pasangan yang baru. Berlagak seperti pria muda yang produktif. Tidak sadar bahwa sekarang sudah menjadi pria tua yang pensiunan, bergaya mantab (makan tabungan) dan sedikit bau apek. Kira-kira wanita macam apa yang mau? Menikahi dengan pria tua yang bokek. Sudah tidak ada beban switching costnya. Dan berujung pada penyesalan dari pihak wanita, karena banyak ketidakcocokan baik dari aspek penghasilan maupun kejantanan.

Naah, mungkin itulah banyak wanita yang agak berat untuk menyambung suami. Karena betapa besar switching cost yang harus ditanggung kaum wanita dalam membangun keluarga lagi. Kalau ada wanita yang “memaksa” diri menyambung “penderitaannya”, dengan suami sambungnya, saya tidak paham kebahagiaan apa yang akan diraih, dengan pengorbanan yang luar biasa.

“Cerita di atas,” kata Kardun tidak berlaku untuk pria tua yang berduit banyak. Dan tidak peduli switching cost. Bagi pria tua yang bokek, lebih baik bermain dengan cucu, beribadah atau berkebun hidroponik atau beternak lele dalam drum. Menunggu ajal menjemput dalam kegembiraan hati. Kalau berniat mau kawin lagi, mesti dipikir ulang lagi, ternyata switching costnya mahal bosss…

BSA/24/6/20

Mental Dhuafa dalam Wabah

0

Miskin memiliki definisi yang berbeda, tetapi tetap satu rasa, yaitu susah hati. Katanya miskin dalam buku sosiologi adalah ketika kita sudah tidak memiliki alat pokok yang dipergunakan untuk mencari penghasilan. Seperti petani tidak punya cangkul, atau tukang gado gado tidak punya cobek. Artinya orang yang tidak punya di mana seharusnya dia punya.

Apakah dapat dikatakan miskin orang yang kaya harta, tetapi ketika tidak memiliki sebutir beras pun ketika ada bencana? Atau ketika ada kerusuhan? Dalam bahasa Indonesia ada istilah lebih luas dengan istilah kata dhuafa untuk orang yang miskin seluas-luasnya. Secara istilah, kaum dhuafa merujuk kepada golongan orang-orang yang hidupnya berada dalam keadaan miskin, tertindas, tidak berdaya serta mengalami penderitaan. Termasuk orang kaya yang tidak punya beras.

Dalam pandemi Covid 19, hampir 5 bulan orang bertahan tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, yang berusaha tidak ada modal. Yang pekerja tidak ada pekerjaan, yang memiliki aset tidak punya uang. Sepertinya jumlah dhuafa semakin meningkat.

ASN atau pegawai negeri termasuk, kelompok orang yang “alhamdulilah”. Masih ada gaji setiap bulan. Sedangkan pengusaha sebagian besar masih “gelagepan” mencari dana tunai untuk modal kerja usahanya. Mereka tidak miskin aset, mungkin dhuafa.Termasuk tukang mie ayam di komplek saya, Bang Kempot, nama pemiliknya Soleh asli Wonosobo. Sepertinya Bang Kempot dalam kesulitan untuk membangun usahanya kembali. Seperti kebanyakan pengusaha mikro, hasil sehari dimakan sehari, kalau ada tabungan setahun habis dimakan paling lama 2 bulan. Terus sisanya?

Memang wabah penyakit memberikan efek perusak yang luar biasa. Tetapi tetap saja banyak yang santuy, sepedahan dan kar fri deyan, bergerombol seperti tanpa rasa takut. Jumlah korban Covid 19 diumumkan 3x sehari seperti minum obat, tetapi kita santuy saja.

Akhirnya kita kembali ke statement awal, yang dahulu kita tertawakan, seperti ungkapan mati sudah ada yang atur, atau nanti juga sembuh dengan sendirinya. Saya nikmati pecak lele Betawi dulu yak daripada kepala pusing belum nyarap.

BSA
24/6/20

Pengalaman Kawan dalam Berdoa

0

Doa yang terkabul, katanya dalam suasana hati yang tidak “kemrungsung”. Sehingga frekuensi hati sama dengan frekuensi ikhlas, yang berakhir dengan kebahagiaan. Biasanya kita berdoa selalu dalam keadaan, kecewa, marah, khawatir sehingga suasana hati kita penuh “bara”. Penuh nafsu untuk segera mengubah suasana atau hasil sesuai apa yang kita mau.

Namun ada kisah seorang pengusaha yang sedang menderita kerugian, perasaannya penuh kekhawatiran, PHK karyawan, terlilit hutang dan miskin. Sungguh menyeramkan bagi sang pengusaha. Hanya berdoa yang dapat dia lakukan, dengan niat agar usahanya bangkit lagi. Setiap hari berdoa awalnya dengan kekecewaan dan kemarahan. Dengan ketekunannya berdoa, amarah dan kecewanya mulai menurun. Sampai akhirnya sang pengusaha menemukan atau mendapatkan sesuatu berupa ketenangan hati. Hati terasa lapang, keinginan dan kekhawatirannya sudah musnah, berganti perasaan damai di hati. Ayem dan bahagia. Keinginan untuk lebih kaya, lebih maju berbisnisnya sudah terlupakan.

Meminta kekayaan ternyata yang diperoleh ketenangan hati. Sang pengusaha sekarang lebih bijak dan bukan lebih giat berbisnis. Malah gemar mengurusi agama dan perbuatan sosial.

Apakah ini berarti terkabulnya doa? yang diminta kekayaan malah jadi ngurusin agama dan berbagai hal yang bersifat spiritual?

Dengan kedamaian hatinya, sang pengusaha memulai lagi usahanya. Sambil terus berdoa. Dan “anehnya” sekarang usahanya bertambah maju. PHK tidak terjadi, hutang dilunasi dan kehidupannya lebih tenang dan berkecukupan. Perjalanan doa yang “berputar’ dan butuh waktu.

Cerita di atas adalah pengalaman kawan dalam berdoa. Ternyata terkabulnya doa, harus memutar, menunggu sampai terjadinya ketenangan hati. Sepertinya Tuhan tidak akan mengabulkan doa orang yang sedang marah, sedang galau, memaki, maki dan berteriak-teriak. Orang galau hanya akan membuat kacau. Sebenarnya dalam berbagai agama banyak menjelaskan tentang terkabulnya doa, namun kita sering hanya ingin meminta dengan memaksa, cepat terjadi apa yang kita minta dan hati yang masih membara, kemrungsung dan penuh dendam.

Memahami apa yang terjadi dalam hidup kita sekarang. Memohon dibuka pikiran dan hati untuk memahaminya serta kekuatan untuk menghadapinya. Konon akan mempercepat rasa ayem di hati.

BSA/23/6/20
Foto : sumber Google.

Bank Indonesia: Digitalisasi Ekonomi dan Keuangan Menjadi Keharusan

0

Kini kemudahan dalam transaksi keuangan bisa dilakukan di rumah hanya dengan telepon genggam. Tren digitalisasi mengubah perilaku transaksi yang dilakukan masyarakat dengan tuntutan yang lebih besar pada mobilitas, kecepatan, fleksibilitas dan keamanan

EDURANEWS (Jakarta) Bank Indonesia dan Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengadakan webinar dengan tajuk “Peran Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral dalam Digitalisasi Ekonomi dan Keuangan untuk Indonesia Maju” (10/7). Menghadirkan Asisten Gubernur Bank Indonesia Aida S. Budiman dan dimoderatori Prof. Harya Kuncara.

Webinar ini adalah bagian dari program Bank Indonesia Mengajar dalam rangka memperingati ulang tahun ke 75 Indonesia dan 65 Tahun Bank Indonesia. Webinar ini menjadi program Bank Indonesia dalam bentuk pendidikan literasi keuangan. Webinar dihadiri 800-an orang dari berbagai daerah di Indonesia serta luar negeri. 

Dekan Fakultas Ekonomi UNJ Ari Saptono memulai webinar dengan catatan mengenai tantangan ekonomi digital  pada masa pandemi. Pandemi Covid 19 membuat ekonomi digital semakin dibutuhkan.

“Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia diketahui bahkan diprediksi yang tercepat di kawasan Asia Tenggara,” Ari Saptono menekankan.  

Tantangan terkini

Aida S. Budiman memaparkan data yang sangat penting mengenai kondisi ekonomi Indonesia terkini. Perekonomian Indonesia sejak Juli 2020 setelah gelombang kedua covid 19 terus menjaga perekonomian nasional. Dalam keadaan global, walaupun covid 19 cenderung turun, gelombang kedua memberikan ketidakpastian ekonomi dunia. Semua negara mencoba menurunkan dampak ekonomi akibat covid 19.

Di Indonesia tekanan mulai berkurang  di Juni sejalan dengan relaksasi PSBB. Aida juga menjelaskan mengenai keadaan terkini  mengenai ketahanan sektoral eksternal tetap baik dan inflasi terkendali. Bank Indonesia juga menjaga kelancaran sistem pembayaran. 

“Ada lapangan ekonomi yang masih surviving, seperti jasa informasi, jasa keuangan, jasa pendidikan,” kata Aida. Pertumbuhan pertanian di Indonesia juga tumbuh akibat cuaca yang baik.

Masa pandemi membuat masyarakat banyak melakukan transaksi ekonomi non tunai. Sebelum masa pandemi keadaan kegiatan ekonomi di masyarakat  memang sedang menuju pembayaran non tunai. Optimalisasi non tunai  dilakukan Bank Indonesia di masa psychical distancing dan juga ketersediaan uang yang terjaga higienitasnya. 

“Kita pastikan sistem dan layanan Bank Indonesia berjalan lancar sekaligus penyediaan uang layak edar,” ujar Aida yang merupakan Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter. 

Oleh karena itu Bank Indonesia memiliki kebijakan Sistem Pembayaran Less Cash Society. Bank Indonesia memastikan instrumen pembayaran elektronik yang digunakan sesuai dengan fungsi, kegunaan dan segmen yang paling sesuai. 

Tren digitalisasi

Tren digitalisasi kini semakin mengglobal. Kemudahan dalam transaksi keuangan bisa dilakukan di rumah hanya dengan telepon genggam. Aida menjelaskan mengenai tren digitalisasi ini mengubah perilaku transaksi yang dilakukan masyarakat dengan tuntutan yang lebih besar pada mobilitas, kecepatan, fleksibilitas dan keamanan. Untuk transaksi di level UMKM harus memberikan kemudahan pembayaran transaksi non tunai. Misalnya bagaimana membeli bakso tak perlu lagi membawa uang tunai. 

Arah digitalisasi juga dilakukan dalam hal  transaksi besar. Elektronifikasi pun dilakukan oleh Bank Indonesia di sektor pemerintah daerah. Transaksi online dapat dilakukan mulai dari bantuan sosial, pangan non tunai, transportasi dan lainnya.  

“Transaksi e-commerce juga sangat tinggi,” kata Aida menekankan pada transaksi yang dilakukan oleh pihak non bank. 

Ini menjadi tantangan bagi Bank Indonesia terus menjaga dan memberikan kemudahan dalam transaksi non tunai. Bagaimana Bank Indonesia dapat menjamin sekuritas siber, customer protection, regulasi dan lainnya. Ketika ekosistem ekonomi dan sektor keuangan digital terbentuk dengan baik. Ekosistem ekonomi ini tidak hanya memicu sektor keuangan yang bergerak tetapi juga sektor riil juga bergerak. Sektor rill inilah yang menjadi tulang punggung pergerakan ekonomi nasional yang dapat berdampak pada masyarakat. 

“Kami harapkan 2025 Bank Indonesia dapat membentuk integrasi ekonomi digital Indonesia,” kata Aida. Digitalisasi perbankan harus dilakukan.

Seperti apa yang diilustrasikan Aida mengenai harapan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo,”Jika pergi ke pasar dan membeli sate cukup hanya dengan telepon genggam,” Aida menceritakan.

Kedepannya dalam transaksi keuangan pedagang cukup menggunakan QRIS. Seluruh aspek mulai dari sektor perdagangan ritel, sosial keagamaan dan kesehatan kedepannya akan menggunakan pembayaran transaksi yang termutakhir.

Recent Posts