Home Blog Page 45

FGD IKADIM UNJ: Sumber Daya Manusia Menjadi Kunci dalam Pemulihan Ekonomi Nasional

0

EDURANEWS, JAKARTA –  IKADIM UNJ mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Sumbangsih Pemikiran Alumni Doktor Ilmu Manajemen Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional (1/12). Acara berlangsung secara daring dan luring di Hotel Soll Marina Serpong.

Menghadirkan pembicara kunci wakil ketua MPR Jazilul Fawaid dan para narasumber Ketua IKADIM Sri Puguh Budi Utami, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Achmad, dan Prof Dr. Budihardjo. Sri mengatakan FGD ini menjadi pertemuan penting para doktor ilmu manajemen dalam merumuskan permasalahan mengenai pemulihan ekonomi nasional. 

Selama masa pageblug, Jazilul mengatakan pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk menangani masalah itu. Seperti memberlakukan kebijakan jaga jarak, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah, kebijakan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), hingga pembentukan Satgas penanganan Covid-19. 

Prof. Budihardjo menyatakan ekonomi Indonesia masih berbasis sumber daya alam dalam pengelolaanya masih menimbulkan problem ketidakmandirian dan  kemiskinan. Ketimpangan itu dapat dilihat dalam aspek modal, SDM, dan teknologi. 

“Kebijakan protektif harus dilakukan terhadap hidup hayat orang banyak,” kata Prof. Budiharjo menanggapi kondisi di masa pageblug.  Diibutuhkan kekuatan yang tak hanya mengandalkan sumber daya alam tetapi lebih ke arah sumber daya manusia. 

Prof. Budiharjo juga mengamati komunikasi politik yang kurang singkron terutama komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.  Wacana vaksin juga jangan mengarah pada kacamata bisnis.  

Pemulihan Ekonomi Nasional

Direktur INDEF Tauhid Ahmad menyatakan keadaan masa pageblug yang belum membaik memberikan implikasi global. Neraca perdagangan global turun 20%. Indonesia pun mengalami penurunan ekonomi hampir 6%. Sebetulnya Indonesia mengalami surplus semu yakni surplus yang dikarenakan penurunan impor yang sangat tajam.

“Industri manufaktur mengalami tekanan yang sangat luar biasa,” kata Tauhid. Kebijakan pelonggaran dan pengetatan selama pageblug membuat ekonomi belum sepenuhnya pulih.

Tauhid juga memprediksi ekonomi Indonesia 2020 mengalami pertumbuhan minus 1,3. Meskipun ekonomi mulai tumbuh kembali di akhir tahun, pengangguran diprediksi akan meningkat di tahun 2021. Ahmad juga mengamati APBN dalam keadaan sakit. Penyerapan anggaran daerah menjadi kunci pertumbuhan dan pemulihan ekonomi. 

“Problemnya kemampuan bayar masih rendah, ini berbahaya di tengah situasi resesi,” kata Tauhid.  Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga tidak efektif. Dilihat dari realisasi PEN yang baru menyentuh di angka 58,7% . 

“Eksekusi kurang terutama dalam sektor kesehatan, korporasi,” ungkap Tauhid. Ini menandakan bahwa anggaran tidak terserap dengan baik. Kemampuan SDM dalam eksekusi anggaran menjadi problem.  Padahal SDM menjadi kunci dalam penyerapan anggaran.

Acara FGD diakhiri dengan pembentukan panitia yang akan membahas musyawarah besar IKADIM yang akan diketuai  Abdul Wahab. Rekomendasi dari pelbagai anggota IKADIM dicatat menjadi catatan musyawarah besar.

MUCHLAS SUSENO: Guru Honorer Memiliki Profesionalisme dan Jiwa Altruisme

0

Dari hari kehari guru honorer masih menjadi tumpuan dalam pelaksanaan pendidikan hari ini. Mereka masih terjebak antara profesionalisme dan status. Gaji dan beban kerja yang timpang masih menghantui kehidupan guru honorer. Terkadang mereka harus bekerja ekstra lebih di tengah gaji yang sangat minim. 

EDURANEWS, JAKARTA – Di masa pagebluk, guru honorer mencari kerja sambilan untuk menutupi kebutuhan hidup. Ada dari mereka yang harus berjualan di pasar, membuka usaha rumahan, membuka kantin di sekolah, pemulung dan juru parkir.

Kebutuhan hidup mereka semakin ‘mencekik’ ketika pembelajaran dilaksanakan secara daring. Kebutuhan listrik dan pulsa semakin membengkak. Nyaris gaji yang mereka miliki tak cair karena orang tua juga tak sanggup membayar iuran sekolah. 

Pemerintah pun menggelontorkan dana BLT bagi guru honorer. Mereka pun memutar otak dengan penggunaan gaji dan juga bantuan dari pemerintah. Mereka harus membagi antara kebutuhan primer seperti sembako atau  memperbaiki telepon genggam/laptop untuk kelas daring. Nasib guru honorer semakin di ujung tanduk. 

Selama pagebluk, kepala sekolah dapat menggunakan dana BOS untuk penggajian para guru honorer. Namun kehidupan mereka tak selamanya tergantung kepada kebaikan kepala sekolah.  

Di tengah situasi yang tak menentu, Pemerintah memberikan angin segar berupa janji pengangkatan status melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK). Guru honorer sekolah swasta dan negeri  yang akan diangkat adalah mereka yang terdaftar di Dapodik (data pokok pendidikan) yang belum pernah lulus PNS dan PPPK. Juga bagi guru lulusan PPG yang belum pernah mengajar. Tentu ini menjadi kabar yang sangat menggembirakan.

Minat menjadi guru

Muchlas Suseno penulis buku Mengukur Minat Profesi Guru : Instrumen dan Teknik Validasi (UNJPRESS, 2020) melihat dari aspek yang luas yang pada dasarnya masalah guru honorer ini bagaikan fenomena gunung es. Masalah banyak di bawah permukaan laut tapi yang muncul hanya sedikit. Tidak hanya tuntutan status dan gaji.

Suseno meyakini ada ciri-ciri guru profesional yang melekat pada guru honorer. Salah satunya guru honorer memiliki jiwa altruisme yakni rela mau berkorban bagi orang lain. Serta memiliki sifat untuk puas dari imbalan non materi.

“Bagaikan lilin yang rela melelehkan untuk menerangi sekitar, ” ucap Suseno yang banyak meneliti mengenai profesionlisme dan minat menjadi guru.

Mereka setia mengajar meskipun dibayar dengan gaji yang sangat minim. Sifat-sifat profesionalisme itu ada di guru honorer.

Suseno mengatakan guru honorer menjadi aset penting dalam menciptakan pendidikan Indonesia. Mereka menjadi garda terdepan dalam maju mundurnya pendidikan.

Guru honorer harus diberikan untuk berkembang dan dibina yang memadai sehingga profesionalisme dan jiwa altruisme menolong orang lain itu tetap terjaga.

Suseno juga meyakini adanya minat yang tinggi menjadi guru sangat menentukan dalam pengembangan selanjutnya. Mereka harus dibina dengan baik sehingga jiwa altruisme mereka terus berkobar. Guru-guru honorer adalah orang yang punya minat yang tinggi dalam menjadi guru.

“Sehingga jika sudah punya minat yang tinggi masalah apapun bisa ditangani dengan pas,” kata Suseno. Jika tidak ada minat ini keterpaksaan-keterpaksaan akan terjadi.

Janji untuk menaikan status Guru Honorer tentu ini menjadi janji yang sangat baik. Seleksi yang dilakukan tak hanya menguji kompetensi pedagogik, tetapi juga harus dilihat bagaimana Guru Honorer ini memiliki kemampuan sosial dan altruisme yang tinggi.

Guru honorer akan dapat berkembang kedepannya jika diberikan kesempatan yang baik dalam pembinaan guru.

Puluhan tahun guru honorer telah ditempa pelbagai janji dan ujian hidup. Sudah selayaknya guru honorer mendapatkan penghidupan dan kesejahteraan yang layak.

Tentu tak hanya melempar janji dengan insentif gaji dan status. Pelaksanaan dalam pembinaan guru mulai dari minat calon guru mesti diperhatikan.

Agar kehidupan guru honorer tak seperti kail janji yang selalu putus sebelum memancing. Terombang-ambing terbawa arus ketidakpastian dari janji pemerintah dan panggilan dari hati mengabdi sebagai guru yang berkualitas. 

REKTOR KOMARUDIN: Kampus Akan Mengembangkan UNJ Education Barometer Index (EBI)

0

EDURANEWS, JAKARTA. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sukses menyelenggarakan Wisuda Virtual Kedua Tahun Akademik 2019-2020. UNJ mewisuda 2.946 lulusan yang berasal dari Program Ahli Madya (D3) hingga Program Doktoral (S3).  Wisuda mengangkat topik “Dari Rawamangun untuk Indonesia dan Dunia”.

Topik diangkat sesuai dengan sosiohistoris rawamangun yang memiliki sejarah panjang dalam pengembagan keilmuan. Bagi UNJ usaha ini menjadi penting dalam membangun pondasi kampus yang kokoh, unggul, dan terdepan di Indonesia bahkan dunia. 

Dalam sambutannya Prof. Komarudin mengatakan tantangan terbesar dari pendidikan abad 21 adalah pemaknaan atas ilmu, pengamalan, dan indigenisasi (pribumisasi ilmu). UNJ mendorong 4 bidang keunggulan sebagai upaya menghadirkan yang terbaik bagi Indonesia dan dunia. 

Salah satunya adalah mengenai core pendidikan yang berbasis teknologi. Dalam sambutan inilah Prof. Komarudin memperkenalkan UNJ Education Barometer Index (EBI) sebagai rujukan pemeringkatan pendidikan Indonesia. Pemeringkatan pendidikan sangat diperlukan dalam upaya memetakan sekaligus menilai sejauh mana kualitas pendidikan di Indonesia.

“UNJ Education Barometer Index (EBI) dapat memetakan, membaca potensi, dan menilai kuantitas maupun kualitas Pendidikan Nasional,” ungkap Prof. Komarudin.

Sekolah dan Kursus

0

Di zaman tahun 70an, kursus “kesaktian” mencari kerja banyak dibuka. Ada 3 ketrampilan yang dicari sebagai kesaktian, yaitu mengetik, tata buku/akuntansi dan bahasa Inggris. Lulusan SMA dengan tambahan 3 bekal tersebut, rasanya lapangan kerja terbuka lebar. Meskipun sangat dicari di dunia kerja, namun sekloah tidak pernah “serius” dalam meningkatkan performa siswa dalam 3 hal tersebut. Sekolah asyik dengan dirinya sendiri.

Seiring teknologi berjalan kursus mengetik lenyap seiring “keusangan” mesin ketik, demikian pula kursus akuntansi. Hanya kursus bahasa Inggris yang tersisa. Dari pengamatan subyektif saya terhadap pengalaman saya dan anak-anak saya, sepertinya tetap saja sekolah “kurang serius”, mengajarkan pelajaran bahasa Inggris yang mendorong kompetensi siswa dapat “ngomong” dalam bahasa Inggris. Siswa SLTA yang piawai berbahasa Inggris, biasanya hasil dari luar sekolahnya, melalui kursus-kursus. Sepertinya sekolah asyik dengan dirinya sendiri.

Anak sekolah meskipun sudah ada standar kelulusan dari sekolah sesuai standar, tetap saja harus “jajan” keterampilan di lembaga kursus.

Di era 80-an ketika komputer banyak dipergunakan di dunia kerja, maka berbondong-bondong kursus komputer, dan sekali lagi sekolah “terlambat” menyiapkannya.

Di zaman medsos, google dan YouTube, siswa dapat “pinter” urusan komputer secara otodidak, meskipun tanpa ada sertifikat. Kursus komputerpun lenyap, karena tidak laku.

Di masa mendatang katanya dibutuhkan power skills, di mana terdiri dari 3 skills, yaitu, soft skills, thinking skills dan digital skills, itu yang saya kutip dari Forbes.com bulan Januari 2020 yang lalu. Terus apa yang telah disiapkan?

Terus sekolah harus ngapain ya? Apakah akan melakukan hal yang sama seperti dahulu?

Biarlah orang yang dibayar yang memikirkannya. Kenapa saya yang harus ikut mikir ya?

Saya selalu mendendangkan lagu berbahasa Italia, baitnya berbunyi:

Che sara, Che sara

Rimane la speranza

Apapun yang terjadi

Harapan tetap ada.

Semangat hari Senin.

BSA/27/7/20

Video Tutorial

0

Petersen..Petersen. !!

Seorang bocah Vietnam memanggil-manggil nama seorang serdadu baret hijau Amerika yang dikirim ke perang Vietnam. Namun tentara ya tetap tentara, terpaksa dengan berat hati si sersan Petersen, tetap meninggalkan sang bocah, dan menaiki helikopter dan kembali ke pangkalannya, sambil memandangi sang bocah yang terus memanggil namanya, seolah menatap kosong masa depan sang anak Vietnam sebagai korban perang.

Cuplikan adegan yang sangat mengharukan dari film The Green Berets, yang dibuat tahun 1967. Adegan penutup film tersebut telah berhasil meneteskan airmata banyak penontonnya. Dan adegan tersebut terbenam dalam ingatan saya, setelah 50 tahun.

Film ini dibuat dan disutradarai oleh John Wayne. Sangat menyentuh dan enak ditonton. Meskipun ada pesan tersembunyi yang hendak disampaikan. Itulah tontonan, yang memberikan “pelajaran” kepada penontonnya tanpa bermaksud mengajari. Tidak harus membuat perencanaan mengajar, seperti guru, artinya mengajar yang tidak bertujuan mengajar, tetapi pesannya sampai.

Tontonan (film) yang dibuat oleh ahli pembuat film yang handal mampu mengemas materi apa saja dengan enak, dan pesannya sampai, ketimbang saya seorang pengajar yang membuat film. Sangat paham materi yang akan diajarkan namun tidak paham membuat filmnya. Biasanya hasil filmnya “garing”, seperti tontonan di TV tertentu.

Sekarang dengan banyak belajar via daring, banyak guru memberi tugas muridnya membuat video tentang materi tertentu yang diajarkan. Saya tidak paham hasilnya nanti, apakah materi ajar akan terbenam di otak sang siswa dan bermanfaat, atau pengalaman membuat video yang melekat di pikiran siswa dan menjadi keterampilan yang bermanfaat bagi siswa di kemudian hari. Meskipun cara membuat video tidak pernah diajarkan oleh gurunya. Murid otodidak belajar dari tutorial di internet.

Saking banyaknya tugas dari guru untuk membuat video, nanti kita akan saksikan semakin banyak pembuat video konten untuk YouTube. Kelak akan banyak orang dapat mencari nafkah sebagai YouTubers. Indonesia akan menjadi negara dengan YouTubers terbanyak di dunia.

Di sisi lain akan sangat celaka sekali, kalau orang akan berkesimpulan, bahwa lebih bermanfaat ketrampilan membuat video yang belajar dari internet, ketimbang materi ilmu yang menjadi tugas (bukan diajari) dari gurunya.

Menjadi pertanyaan awam, apakah keterampilan membuat video telah teridentifikasi dalam penyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun oleh Guru ?

Apakah hanya sebagai ketrampilan tambahan yang di luar perencanaan, sehingga ketrampilan siswa membuat video, sebagai hidden curiculum di kala pandemi.

Seperti John Wayne membuat film The Green Berets, tidak ada maksud mengajari penontonnya tentang anti komunis dan anti perang yang tertulis dalam proposal pembuatannya. Namun pesannya “makjleb”, tembus ke dada.

“A man’s Got to do, what a man’s got to do”, kata bijak dari John Wayne.

Saya pun akan selalu mendendangkan lagu;

Che sara..Che sara..

Rimane la sepranza

Selalu ada harapan…

BSA/28/7/20

Makna Sebuah Foto

0

Di ruangan kerja Kardun terpampang, foto Kardun seorang pengusaha dengan presiden, berpakaian full formal dress, berjas dan berdasi. Foto dengan pembesar lain juga banyak bertebaran di dinding ruang kerja tersebut. Namun semua dengan pose dalam suasana formal. Memajang foto tersebut, Kardun bermaksud bukan sekedar menunjukkan kebanggan, tetapi ingin menunjukkan bahwa dirinya memang orang “hebat”, kenal dengan berbagai pembesar negeri dan ada bahasa tersirat, agar kalian para tamu jangan “macam-macam” dengannya. Kardun ingin menunjukkan bahwa dia memiliki berbagai dukungan atau “beking”.

Di tempat lain, ruang kerja Karto, seorang pengusaha juga, terpampang foto dengan presiden dan pembesar negeri, namun dalam suasana santai, sedang golf bersama, sedang mancing dan sedang ngobar (ngopi bareng), dengan berpakaian kaos dan celana pendek.

Siapa yang lebih hebat Kardun atau Karto?

Foto yang terpampang dapat mencerminkan dan menggambarkan tingkat kedekatan masing-masing.

Memajang foto bersama presiden negeri dengan memajang foto presiden sendiri, memiliki makna yang berbeda. Ada pepatah a picture is worth a thousand words. Ada sejuta kata dalam sebuah gambar.

Saya memasuki sebuah restoran Padang, terpampang foto lebih tepatnya pas foto dalam ukuran besar, seorang pria berkumis dengan pakaian tentara lengkap dengan pangkatnya. Ada juga foto orang pria bersorban seperti pemuka agama. Saya tidak tahu apa hubungan kekerabatan dengan sang empunya restoran. Tentunya setiap perbuatan memiliki arti, sebagai bentuk komunikasi, ada pesan yang ingin disampaikan.

Seperti di kamar anak-anak remaja, yang terpampang foto Satria baja hitam, Lee Min Hoo, Justine Biber, JKT 48 atau poster Ragnarock, mungkin ada pesan yang ingin disampaikan kepada orang yang melihatnya.

Anak-anak tidak mau memajang foto ortunya mungkin karena, setiap hari mereka jumpai, dan mungkin anak sudah “jemu”, dengan wajah ortunya, yang ketika berjumpa selalu bertanya seperti menginterogasi; memerintah seperti mandor; menasehati, seperti motivator dan ngomel, seperti banjir bandang tiada henti.

So….mungkin itu alasan kenapa anak-anak tidak mau memajang foto ortunya di dinding kamarnya.

Mudah-mudahan ini hanya perasaan saya saja… Mungkin anak akan memajang foto ortunya setelah ortunya wafat, dan ada kerinduan terhadap segala interogasi, perintah dan omelannya. Dan kasih sayang ortunya yang telah terkubur bersama jasadnya.

BSA/30/7/20

Bukti Kualitas, Ilmu Pendidikan Bahasa S3 Pascasarjana UNJ Meraih Akreditasi A BAN PT

0

EDURANEWS, JAKARTA – Pascasarjana UNJ serius mendorong kualitas pendidikan tinggi. Upaya tersebut ditunjukkan dengan prestasi yang menggembirakan. Program Studi Ilmu Pendidikan Bahasa S3 Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta berhasil meraih akreditasi “A” dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Keputusan pegesahan akreditasi tersebut berlaku sejak 10 November 2020 sampai 10 November 2025 .

Faktor utama adalah antara dokumen mutu dan implementasi serta pengendalian memenuhi kriteria standar dari BAN PT. Terdapat tujuh standar yang dilaporkan dengan baik, Pascasarjana UNJ dapat membuktikan dokumen serta implementasi di lapangan.

Sistem Penjaminan Mutu Internal Universitas Negeri Jakarta (SPMI UNJ) telah melakukan tugas menyusun dokumen dengan baik. Tentunya itu semua juga diimplementasikan dalam penyelenggaraannya.

Direktur Pascasarjana UNJ Prof. Dr. Nadiroh, M.Pd memaparkan beberapa hal terkait indikator penilaian, misalnya proses bimbingan, di mana instrumen bimbingan itu hasilnya dapat dilaporkan. Sehingga dinilai dari mulai perencanaan sampai dengan pengendalian dan hasilnya semua sinkron.

Pascasarjana UNJ memiliki sembilan program studi doktor dan sebelas program studi magister yang siap melakukan akreditasi internasional dalam waktu dekat. Standar yang akan segera dilakukan yaitu Agency for Quality Assurance through the Accreditation of Study Programmes (AQAS) Jerman.

Nadiroh mengatakan implementasi utu akreditasi internasional sudah dimatangkan. Pascasarjana saat ini sedang melakukan transformasi menuju internasionalisasi. Hal itu sesuai dengan Visi UNJ. Sakah satunya adalah mendapatkan rekognisi internasional.

“Akreditasi A itu sebuah hasil, yang lebih penting lagi bagaimana prosesnya, maka saya sebagai pimpinan selalu memotivasi kepada para koorprodi bahwa bekerja adalah rekreasi, everyday is holiday….” tuturnya dalam wawancara telepon dengan Eduranews (13/11).

Ketika Jodoh Hanya Butuh Klik

0

Kenapa kamu tidak kawin dengan sebangsamu, seagamamu atau sekampungmu? Itulah pertanyaan orang tua zaman dahulu ketika anaknya mengajukan atau menyampaikan keinginan mau menikah, dengan calon pasangan yang tidak sebangsa, seagama atau sesuku.

Banyak dari kita merasa dan bangga secara berlebihan “Chauvinis” merasa bangsa, dan sukunya lebih baik, lebih mulia dan fanatik terhadap agama yang dianut, tidak mau diusik “pemahamannya” dengan kehadiran anggota keluarga baru yang berbeda.

Kalau berbeda agama mungkin dapat “disesuaikan” dengan pindah agama, atau “berdamai”, tetapi kalau beda suku dan bangsa, akan menjadi perdebatan tersendiri. Kita susah menukar suku atau ras kita.

Alasan beda agama adalah banyak yang menjadi penghalang utama pasangan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Agama kadang dipegang teguh sebagai faktor utama dalam menetapkan jodoh, meskipun dalam keseharian tidak pernah beribadah sesuai agamanya. Begitu kuat doktrin keyakinan yang tertanam. Jadi konsep “asal seagama” menjadi yang utama. Ada yang berpendapat bahwa “sebejad” dan “Sekacau” apapun calonmu asal seagama, masih dapat diterima.

Di Jawa mengenal istilah bebet, bibit, bobot artinya calon pasangan harus jelas riwayat hidupnya, dari keluarga yang sehat dan baik dan status sosial jelas dalam ukuran kekayaan dan pendidikan. Mungkin kalau 3 kriteria jelas dan tadi tidak banyak perbedaan, perkawinan “diperkirakan” akan berkurang percekcokan dalam rumah tangga.

Di zaman dahulu ada Sunan Gunung Jati beragama Islam menikah dengan putri Cina bernama Ong Tien. Ada raja Jawa beragama Budha menikahi putri Hindu, artinya perkawinan lintas agama dan suku bangsa, sudah terjadi. Mungkin perkawinan dapat berdasarkan suka sama suka, atau karena alasan “politik”. Apakah mereka bahagia atau tidak, saya tidak tahu, karena tidak ada catatan sejarahnya.

Di zaman sekarang, sepertinya banyak perjodohan tidak ada kriteria seperti di atas. Yang penting cocok, cinta istilahnya “ngeklik”, terus jadian. Kalau jodohnya ketemu di bus, di terminal, di mall, di warung kopi, di kampus, kalau dirasa cocok, cinta langsung “bungkus”.

“Tidak ada” pertimbangan di atas sebagai kriteria. Jadi hanya pertimbangan kecocokan fisik dan “klik”. Bagaimana dengan agama, bagi kalangan generasi Z?

Mungkin menarik untuk diteliti, jadi bahan skripsi mahasiswa. Atau sudah ada yang meneliti. Saya tidak tahu.

BSA/12/8/20

Kita Seperti Xixo

0

Xixo lelaki suku Bushmen Kalahari Di Afrika, menemukan botol bekas minuman Coca Cola, yang dibuang orang dari pesawat udara. Botol kaca bening bertuliskan merek Coca Cola berwarna putih. Xixo menganggap botol sebagai barang dari langit, dan tidak paham kegunaannya. Ternyata setelah dibawa ke komunitas sukunya, sang botol diangap hanya sebagai “biang” kekisruhan saja, membuat keonaran.

Xixo sebagai penemu merasa “bersalah” dan ingin mengembalikan botol tersebut kepada yang empunya. Xixo berkeliling, di gurun Kalahari Afrika, mencari tahu siapa sang pemilik botol.

Itulah cerita film The Gods Must Be Crazy. Anda dapat memaknai kisahnya sebagai lucu lucuan saja, atau anda dapat menafsirkannya lebih dalam. Suka-suka anda dan tergantung dengan kemampuan berpikir dan pengetahuan yang dimiliki serta keinginan menafsir.

Menurut saya, Xixo sebagai gambaran satire, tentang orang yang baik dengan keterbatasan pengetahuan, keliru melihat fakta dan merumuskan persoalan, dan membuat solusi.

Saya juga sering tanpa sadar, juga berperilaku seperti Xixo, mendapat berbagai “kesempatan” namun tidak tahu apa yang harus dilakukan. Begitu banyak anugerah Tuhan kepada kita, namun kita anggap seolah-olah sebagai beban dan ingin “mengembalikannya” kepada Tuhan. Tidak mau melihat, memahami dan sebenarnya Tuhan telah memberikan apa? Apa yang dapat dimanfaatkan dari anugerah yang diberikan Tuhan. Saya pun kadang buntu. Sering sibuk dan tenggelam dalam keriyaan ketika mendapat berkah dan meratap dalam doa, ketika mendapatkan sedikit musibah. Semuanya ingin serba lancar.

Kenapa kita tidak berdoa agar kita paham. Mengerti akan kondisi yang ada. Dan memohon dibukakan akal budi kita untuk memahaminya, dan kuat lahir batin menjalaninya. Katanya, ketika kita paham apa yang terjadi adalah sebuah pelajaran dari Tuhan, kita akan tertunduk dihadapan Tuhan. Hati akan menjadi tenang, adem tidak kemrungsung. Terjadi sikap “nrimo” kita terhadap kehendak Tuhan. Selajutnya dalam hati yang tenang, akan terjadi suatu anugerah Tuhan baik berupa rejeki materi, kebahagian atau lainnya dari arah yang tidak terduga.

Saya tidak dapat mendefinisikan atau merujuk dalil tentang uraian saya dalam konteks ilmu agama, karena saya bukan ahlinya. Tetapi pengalaman saya telah membuktikannya.

Tuhan sepertinya menghendaki agar kita belajar dan paham, bukan sebagai penuntut Tuhan. Yakinlah Tuhan akan memberikan sesuai dengan kebutuhan kita. Bukan keinginan kita.

Apa jawaban kita, ketika kelak tangan dan kaki kita sebagai bagian anugerah Tuhan, memberi kesaksian di akhirat ketika ditanya tentang apa yang telah kita usahakan dengan tangan dan kaki kita?

Maaf dongengan saya terlalu serius, mungkin mengganggu hari leyeh-leyeh anda. Mari nikmati saja Minggu pagi dengan segelas kopi dan roti (kalau ada).

BSA/2/8/20

Prof Dr. Sujudi

0

Waktu kecil, setiap lebaran saya bersilaturahmi dengan berkunjung ke rumah kerabat, setelah merantau saya hanya bersurat dengan mengirim kartu ucapan lebaran via pos dan saya tanda tangani setiap kartu ucapan yang terkirim. Berjalannya waktu konon akibat teknologi, saya kirim ucapan via SMS, dengan kata yang saya karang sendiri, kemudian ada BlackBerry dengan BBM-nya saya hanya salin tempel ucapan orang lain yang saya anggap bagus.

Namun mengirim masih secara nomer per nomer, atau orang per orang. Masih ada unsur sentuhan perorangnya. Sekarang ucapan selamat Idul Fitri atau lainnya sudah jarang yang menyasar ke pribadi. Cukup anda salin tempel ucapan orang lain dan menyalin di grup. Silahkan ucapan kita dinikmati beramai-ramai.

Sentuhan pribadi antar manusia seperti terreduksi. Ikatan atau hubungan antar pribadi sudah luntur. Memberi ucapan cukup dengan mendeklarasikan dalam grup pertemanan baik whatsap, facebook, atau lainnya dan semua dianggap selesai. Kita atau rekan kita pun tidak mempermasalahkannya. Persoalan selesai dianggap angin lalu.

Kalau dahulu, anda menjadi pejabat atau pemimpin sebuah kantor, setiap idul Fitri rumah akan dibanjiri kartu ucapan, dan kita sibuk membalasnya. Demikian pula kita sibuk menandatangani ratusan kartu untuk relasi kantor dan kerabat. Sungguh “menyenangkan” dan berkesan.

Saya teringat Prof Dr. Sujudi mantan Menkes dan rektor UI. Beliau selalu rajin membalas kartu ucapan selamat Idul Fitri yang saya kirim saban tahun, dan hebatnya beliau menulis dengan tulisan tangan sendiri, dengan ada tambahan kata, apa kabar Budi? Di mana kamu sekarang? Sangat personal sekali. Meskipun sewaktu beliau sudah menjadi menteri, padahal saya mengenal beliau hanya sebatas sebagai pasien beliau.

Prof Sujudi adalah salah satu orang yang sangat berjasa dalam hidup saya. Ketika saya mendapatkan pekerjaan pertama saya, beliaulah yang mentest kesehatan saya. Hasil test kesehatan menunjukkan paru-paru saya ada flek, namun saya tidak paham kenapa beliau tidak segera menuliskan hasil test saya yang dapat menggugurkan lamaran saya. Beliau malah mengobati saya dahulu dan selang beberapa waktu menyuruh metontgen ulang. Dan beberapa waktu kemudian akhirnya flex hilang dan saya dinyatakan sehat. Saya pun diterima untuk bekerja.

Anda dapat menilai dengan “macam-macam” pandangan tentang tindakan beliau. Saya hanya membandingkan kebijakan beliau dengan kelakuan oknum dokter kemarin yang saya temui ketika berobat infeksi kuku cantengan. Sang dokter bukannya mengobati malah menyuruh saya ke salon pedikur, rasanya saya kok saya “ndongkol” seumur-umur.

Sayapun menyimpulkan bahwa ribuan tindakan dalam hidup kita terhadap orang lain, kadang dapat terkenang dengan satu tindakan yang bijak atau yang menyakitkan.

Saya akan selalu mengenang Prof Dr. Sujudi dengan segala kebaikannya sampai saya mati. Semoga Prof Dr. Sujudi diterima di sisi-Nya. Alfatehah.

BSA/1/8/20

Recent Posts