Sport Science dapat diterapkan sejak anak usia dini. Miskonsepi kepelatihan terutama dalam duplikasi latihan dewasa ke anak menjadikan program tidak tepat sasaran dan bersifat instan.
EDURANEWS, JAKARTA– Edura Sport UNJ mengadakan webinar Penerapan Sport Science Dalam Pengembangan Prestasi Atlet Bulutangkis (19/10). Webinar ini menghadirkan praktisi dan akademisi bulutangkis yakni Basri Yusuf dan Endang Darajat. Dalam sambutannya ketua Edura UNJ Prof Henry Eryanto menjelaskan Edura Sport UNJ menjadi wadah dalam pengembangan pendidikan dunia olahraga.
“Sport Science menjadi pembicaraan dan topik yang banyak diobrolkan,” kata Prof Henry. Edura tertarik mendalami tema tersebut dengan mengundang para praktisi dan akademisi.
Menurut Basri Yusuf dalam pemaparannya, Sport Science dalam dunia bulutangkis Indonesia sebetulnya sudah diterapkan namun belum tersusun dengan rapi.
“Seharusnya penerapannya sudah 10 tahun yang lalu,” kata Basri.
Miskonsepsi
Ada filosofi yang kurang tepat dalam pembinaan atlet bulutangkis di Indonesia. Basri mengatakan ini karena adanya miskonsepsi dalam pembinaan atlet bulutangkis. Miskonsepsi ini terlihat dari pelbagai sisi, di antaranya adalah duplikasi penerapan pelatihan orang dewasa ke anak usia dini.
Duplikasi latihan orang dewasa ini terjadi ketika kebanyakan pelatih mengadopsi pelatihan orang dewasa dan bersifat instan untuk mengejar prestasi. Menurut Basri, konsep pembinaan seperti ini kurang tepat. Akibatnya si anak dicekoki oleh persoalan taktik dan strategi di usia perkembangan mereka yang belum membutuhkan hal tersebut.
Terlebih anak juga memperoleh latihan beban dengan alat yang tidak sesuai dengan tubuh mereka. Dalam usia emas ini pelatih diharapkan banyak membentuk keterampilan teknik dasar bermain dan pembentukan karakter.
“Kompetisi haruslah menyenangkan untuk anak dan jangan terlalu banyak pressure,” kata Basri.
Jangka Panjang
Dalam Sport Science pembinaan jangka panjang sangat diperlukan dalam membentuk atlet dunia. Pembinaan jangka panjang ini diperlukan waktu 10 tahun. Mulai dari usia anak dini dalam tahap pengembangan teknik dasar, otomatisasi, mengikuti kompetisi, pembinaan di klub dan penajaman di pelatnas.
Serangkaian tes dilakukan mulai dari usia dini, masuk ke sekolah-sekolah dasar untuk mendeteksi bakat anak. Pelatih di setiap klub cabang olahraga juga dapat mengevaluasi setiap bakat yang dimiliki anak.
Pembinaan dan pengembangan di klub inilah menjadi poin penting dalam pembinaan jangka panjang. Menurut Basri di klub inilah para pelatih dapat melihat background anak, riwayat cedera, dan pengembangan teknik dasar. Program pemaksimalan anak usia dini juga menekankan kepada speed, endurance, strength, coordination, flexibility.
Catatan menarik ketika banyak atlet di usia anak bisa bersinar namun semakin beranjak dewasa semakin redup dan menghilang. Fenomena ini tidak lepas dari pola pembinaan yang kurang tepat.
“Metodologi pelatihan masih lemah, pola pertandingan masih lama, maunya instan dan berprestasi,” ungkap Basri.
Endang Darajat memberikan catatan bagaimana atlet dapat mencapai Peak Performance. Peak Performance adalah kondisi terbaik atlet dapat memaksimalkan kemampuannya dalam pertandingan. Kondisi ini tidak lepas dari perencanaan pelatihan yang matang dan tidak instan.
Endang mengingatkan target dalam pertandingan bukan hanya juara tetapi juga tolak ukur bagaimana perkembangan seorang atlet. Sehingga pelatih dapat melihat dan merekomendasikan program latihan yang tepat bagi atlet ke depannya.
“Dasarnya adalah kemampuan dasar individu atlet yang menjadi tolak ukur memberikan berat ringannya latihan,” ungkap Endang dalam diskusi.