Kenapa kamu tidak kawin dengan sebangsamu, seagamamu atau sekampungmu? Itulah pertanyaan orang tua zaman dahulu ketika anaknya mengajukan atau menyampaikan keinginan mau menikah, dengan calon pasangan yang tidak sebangsa, seagama atau sesuku.
Banyak dari kita merasa dan bangga secara berlebihan “Chauvinis” merasa bangsa, dan sukunya lebih baik, lebih mulia dan fanatik terhadap agama yang dianut, tidak mau diusik “pemahamannya” dengan kehadiran anggota keluarga baru yang berbeda.
Kalau berbeda agama mungkin dapat “disesuaikan” dengan pindah agama, atau “berdamai”, tetapi kalau beda suku dan bangsa, akan menjadi perdebatan tersendiri. Kita susah menukar suku atau ras kita.
Alasan beda agama adalah banyak yang menjadi penghalang utama pasangan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Agama kadang dipegang teguh sebagai faktor utama dalam menetapkan jodoh, meskipun dalam keseharian tidak pernah beribadah sesuai agamanya. Begitu kuat doktrin keyakinan yang tertanam. Jadi konsep “asal seagama” menjadi yang utama. Ada yang berpendapat bahwa “sebejad” dan “Sekacau” apapun calonmu asal seagama, masih dapat diterima.
Di Jawa mengenal istilah bebet, bibit, bobot artinya calon pasangan harus jelas riwayat hidupnya, dari keluarga yang sehat dan baik dan status sosial jelas dalam ukuran kekayaan dan pendidikan. Mungkin kalau 3 kriteria jelas dan tadi tidak banyak perbedaan, perkawinan “diperkirakan” akan berkurang percekcokan dalam rumah tangga.
Di zaman dahulu ada Sunan Gunung Jati beragama Islam menikah dengan putri Cina bernama Ong Tien. Ada raja Jawa beragama Budha menikahi putri Hindu, artinya perkawinan lintas agama dan suku bangsa, sudah terjadi. Mungkin perkawinan dapat berdasarkan suka sama suka, atau karena alasan “politik”. Apakah mereka bahagia atau tidak, saya tidak tahu, karena tidak ada catatan sejarahnya.
Di zaman sekarang, sepertinya banyak perjodohan tidak ada kriteria seperti di atas. Yang penting cocok, cinta istilahnya “ngeklik”, terus jadian. Kalau jodohnya ketemu di bus, di terminal, di mall, di warung kopi, di kampus, kalau dirasa cocok, cinta langsung “bungkus”.
“Tidak ada” pertimbangan di atas sebagai kriteria. Jadi hanya pertimbangan kecocokan fisik dan “klik”. Bagaimana dengan agama, bagi kalangan generasi Z?
Mungkin menarik untuk diteliti, jadi bahan skripsi mahasiswa. Atau sudah ada yang meneliti. Saya tidak tahu.
BSA/12/8/20