Kaleng manisan itu tergolek 2 tahun di meja rumah saya. Ribuan kilometer jarak telah ditempuh oleh sang manisan, naik turun mobil, pesawat sampai bajaj. Apakah terpikir oleh si pembuatnya UKM di pojokan kota Istanbul Turki, bahwa manisannya ada di toples rumah saya? Itulah hebatnya oleh-oleh, ditenteng oleh pembelinya ke mana-mana, menuju rumahnya, tidak usah penjual yang membawanya.
Setiap kali kita bepergian yang relatif jauh selalu menyempatkan membeli oleh-oleh atau souvenir. Perilaku impulsif banyak dilakukan para turis dalam berbelanja oleh-oleh, artinya impulsive buying, membeli tidak mempergunakan pertimbangan panjang, asal “samber”, berpikir “sak dek sak nyet”.
Begitu melihat bagus, murah atau apapun langsung beli. Katanya, turis Indonesia 69 % bepergian untuk belanja. di benaknya hanya belanja dan oleh-oleh. Destinasi wisata yang indah, cukup dengan melongok sebentar, ceprat cepret, swafoto langsung belanja. Katanya berbeda dengan orang Eropa atau Amerika, mereka lebih memaksimalkan mata dan hati menikmati destinasi wisata, belanja oleh-oleh tidak “seganas” orang Indonesia. Bagi para bule hakekat berwisata adalah pengalaman dan pengetahuan yang dibawa mati. Jadi para turis bule gemar berlama-lama menatap, merasakan dan mengagumi destinasi wisata yang dituju.
Kita melihat ketika musim haji atau umrah, rombongan jamaah Indonesia yang paling disukai pedagang di sana karena doyan belanja. Tidak peduli wanita atau pria, rajin menyusuri pasar dan pertokoan. seringkali keluar toko selalu dengan membawa bungkusan. Meskipun apa yang dibeli semua ada di pasar Tanah Abang.
Katanya impulsive buying, banyak terjadi pada kaum hawa, tidak terkecuali istri Mas Kardun. Pagi itu pamit membeli cabe ke Supermarket, pulangnya malah membeli kulkas, katanya lagi ada diskon besar-besaran. Mumpung diskon. Wueeeleh..wueleeeh… wueeleeh.
Kemarin saya juga membeli tape seember di Cirebon. saya tidak tahu apakah akan bernasib sama dengan manisan dari Turki?
BSA/17/8/20