Piala kambing, itulah yang kami perebutkan dahulu, ketika remaja bermain bola voli dalam mengikuti turnamen bola voli antar kampung (tarkam). Sang pemenang berhak membawa pulang seekor kambing bandot.
Setiap klub di kampung, bersiap-siap mengikutinya, ada klub yang serius berlatih, membina para remaja melalui karang taruna. Ada juga klub “jadi jadian” dengan nama “Katak Riang”, yang diketuai oleh Kardun, juragan penggilingan padi yang kaya raya di kampung. Meskipun tidak pernah latihan karena tidak ada pemainnya, namun Kardun berhasil menghimpun “jagoan voli” dari berbagai kampung lainnya. Jadi Kardun bak Sylvester Stallone dalam film Expendables. sebagai pengumpul para jagoan, yang tentunya semua pemain yang dihimpun Kardun meminta bayaran atas jasa yang diberikan. Atau istilah kerennya pemain profesional.
Singkat kata klub “Katak Riang” yang menjadi juara. Tetapi kenapa penonton dari kampung Kardun banyak yang protes. Dianggap kemenangan hambar, percuma menang kalau yang bermain bukan pemain kampungnya.
Piala kambing bukan sekedar kambing biasa, ada martabat, ada keringat, ada proses, ada kebanggaan kampung dan tentu saja butuh uang membiayainya. namun uang bukan segalanya. Kebanggaan martabat kampung adalah lebih utama, kebanggaan akan kemampuan sendiri.
Bola voli tidak sekedar kemampuan finansial. Namun harus mencerminkan proses dan kerja keras, bukan cara-cara instan. Semua serba outsourcing. Karena Para pemain profesional tidak peduli membela siapa, pemain membela orang yang bayar.
Sekarang Kardun merenungi, sambil makan bubur ayam lezat yang terasa hambar, merenungi tentang kebanggaan yang terasa hampa. Setelah dikalkulasi biaya bayar pemain menghabiskan uang sekitar 10 juta, sedangkan harga kambing tidak lebih dari 4 juta. Sekarang para pemain “hebat” meninggalkannya setelah dibayar dengan mencari majikan yang lainnya.
Kebanggaan bola voli kampung katanya harus dibangun dari orang kampung sendiri, dengan segala potensi dan keterbatasannya. Bukan dengan kehadiran para pemain bayaran yang menggantikan pemain kampung.
Terus kebanggaan apa yang diperoleh Kardun? Piala Kambing? Atau apa?
Dan bubur ayam pun ditinggalkannya, tanpa disentuh, karena penyesalan Kardun menghianati aspirasi warga kampungnya.
BSA/22/8/20