Ada yang harus ditanggung ketika biasa memakai sepeda ontel antik, dengan sepeda lipat. Memindahkan satu pilihan ke pilihan lain, ada “biaya” yang harus ditanggung. Dalam ungkapan orang sekolahan istilahnya switching cost.
Biaya bukan sekedar berupa materi, tetapi juga beban psikologis yang harus ditanggung. Suami-istri, harus rukun, baik ikhlas maupun tidak ikhlas, baik sebagai pasangan yang saling menjengkelkan maupun saling menyenangkan. Mereka agak sulit untuk menyatakan perceraian kalau switching costnya tidak sanggup untuk menanggungnya.
Kadang kita melihat, ada pasangan suami istri, di mana salah satu pasangannya sungguh “dianggap” tidak “layak” karena cerewet, pelit, galak dan berbagai hal yang negatif lainnya. Namun perkawinan tetap berjalan sampai akhir hayat.
Salah satu pertimbangannya antara lain switching cost. Tidak mampu menanggung biaya penggantinya. Namun apabila sang pasangan merasa kuat menanggung switching costnya maka cepat runtuh dan selesailah bahtera rumah tangganya.
Para ibu selalu membuat switching cost, untuk dirinya sendiri, dan menjadikan dirinya terbaik di mata suami, harapannya tentu suami akan berat beralih ke lain hati. Sementara sang suami selalu berusaha mengambil posisi, untuk menjadi pria perkasa, “pria berduit”, garang ibarat harimau yang siap lepas kandang.
Bagi kaum wanita, secara umum ketika ditinggal mati suaminya sangat sulit menerima kehadiran pria lain. Lebih baik sendiri sampai mati. Terlalu berat switching costnya. Namun bagi para suami, konon ketika sang istri meninggal, seperti telah kehilangan hambatan atau barrier switching costnya.
Konon kata para ibu, ketika para suami ditinggal mati istrinya, katanya belum kering tanah kuburan istrinya, sudah “melirik” cari gantinya. Saya pun hanya terdiam dan tak berani membantah.
Banyak orang diberi “kesempatan” mencari pasangan baru ketika pasangannya meninggal. Namun sebenarnya bagi pria yang sudah usia pensiun dengan uang pas-pasan akan sangat sulit hidup dengan pasangan yang baru. Berlagak seperti pria muda yang produktif. Tidak sadar bahwa sekarang sudah menjadi pria tua yang pensiunan, bergaya mantab (makan tabungan) dan sedikit bau apek. Kira-kira wanita macam apa yang mau? Menikahi dengan pria tua yang bokek. Sudah tidak ada beban switching costnya. Dan berujung pada penyesalan dari pihak wanita, karena banyak ketidakcocokan baik dari aspek penghasilan maupun kejantanan.
Naah, mungkin itulah banyak wanita yang agak berat untuk menyambung suami. Karena betapa besar switching cost yang harus ditanggung kaum wanita dalam membangun keluarga lagi. Kalau ada wanita yang “memaksa” diri menyambung “penderitaannya”, dengan suami sambungnya, saya tidak paham kebahagiaan apa yang akan diraih, dengan pengorbanan yang luar biasa.
“Cerita di atas,” kata Kardun tidak berlaku untuk pria tua yang berduit banyak. Dan tidak peduli switching cost. Bagi pria tua yang bokek, lebih baik bermain dengan cucu, beribadah atau berkebun hidroponik atau beternak lele dalam drum. Menunggu ajal menjemput dalam kegembiraan hati. Kalau berniat mau kawin lagi, mesti dipikir ulang lagi, ternyata switching costnya mahal bosss…
BSA/24/6/20