Poirot, Logika dan Bayang-Bayang Kematian

0
85

Apakah  kesengsaraan dan dosa masa lalu dapat dibayar dengan kematian-kematian ?

Hercule Poirot (Kenneth Branagh) detektif yang sudah pensiun dengan segala ketajaman berpikirnya kembali mengajak masuk ke nuansa kelam, horor, serta dentuman kematian di sebuah Palazzo. 

Film A Haunting In Venice menawarkan presentasi yang berbeda dari dua film sebelumnya; Murder on the Orient Express (2017) dan Death on the Nile (2022). 

Poirot ditampilkan dengan agak berbeda dari dua sekuel sebelumnya. Ada sisi kemanusian yang berbeda dalam karakter Poirot, ia bergulat dengan segala logikanya melawan sebuah manipulasi horor mengenai hantu-hantu.  Segala kepintarannya mulai diragukan ketika harus melawan hantu-hantu. 

Di sini Poirot bukan saja berhadapan dengan kasus kriminal pembunuhan  yang harus dipecahkan, ia juga melawan logikanya yang mulai diganggu karena ia telah diracun, mengubahnya untuk mempercayai hantu-hantu.

Visual yang ditawarkan film ini begitu cantik dengan penggambaran kota Venice yang terasa mewah, set visual dari tim produksi ini sukses sekali menggambarkan kota Venice yang megah sekaligus mencekam dari bangunan-bangunan Palazzo Tua. Interaksi orang-orang di dalam kota selalu ditampilkan dengan elegan.   

Narasi-narasi horor dalam penggambaran dendam dari anak-anak juga dikisahkan melalui penggambaran yang artistik dengan pendekatan wayang kertas, gambar bergerak hitam putih untuk memunculkan imaji ketakutan.  

Namun imaji ketakutan dari narasi gambar bergerak itu, yang memang untuk menakuti anak-anak mungkin saja tidak begitu menakutkan dibanding Palazzo itu sendiri yang begitu lembab nan kelam, terutama ketika masuk ke kamar Allicia. 

Apalagi dengan teknik kamera yang agak bergoyang ketika masuk dengan fokus kepada benda-benda yang dimiliki Alicia menambah kesan dramatis kehororan.  

Yang selalu terasa dalam film-film Kenneth Branagh adalah pengenalan tokoh-tokoh dengan pengenalan close up di wajah yang akan memberikan gambaran dari karakter dengan gambaran  psikologi yang mengitarinya. 

Ambil saja sang cenayang Joyce Reynolds (Michelle Yeoh) dengan dialog yang kuat dan meyakinkan ia sangat percaya diri untuk tampil sebagai cenayang yang mampu menjadi medium bagi orang-orang yang telah mati. Yang coba dilawan oleh logika Poirot, ‘hanya sebuah permainan performatif’ dari sang cenayang dan asistennya.

Hal yang sangat-sangat ditunggu dari apa yang dikerjakan Kenneth Branagh, dengan karakter utama Poirot ini adalah sesi wawancara para tokoh yang dilakukannya. Kita akan menyelami karakter-karakter yang ada di dalamnya untuk curiga, mengamini atau menyanggah setiap tanya-jawab itu. 

Rasa bersalah akan kematian orang lain begitu menyiksa bagi beberapa karakter yang akan melihatkan lebih jauh sisi psikologis setiap karakter seperti Rowena Drake (Kelly Reily), Maxime Gerard (Kyle Allen), dan dr. Leslie Ferrier mantan dokter Alicia, Olga Seminoff (Camille Cottin), Vitale Fortfoglio (Riccardo Scamarcio).

Dalam  A Haunting In Venice,  kegamangan akan rasa bersalah atas kematian Alicia dan sekitarnya entah karena masa lalu yang tetap menghantui menjadikan setiap karakter memiliki motif tersendiri.  Wajah-wajah murung penuh kemarahan dan dendam kadang tersimpan dalam tatapan mata, senyuman, bahkan mimik wajah yang meyakinkan atas sanggahan-sanggahan dari pertanyaan yang diajukan Poirot. 

Akankah kematian-kematian yang mengitari Palazzo tua ini akan menyingkap betapa manusia mudah sekali menyalahkan dirinya kepada kematian seseorang hingga ketakutan merongrong begitu jauh memanggil kematian lainnya untuk menebus dosa di antara benar atau salah sikapnya di masa lalu.