Um Tae-hwa sutradara film kelahiran 1980 asal Korea Selatan ini menampilkan Concrete Utopia sebagai film yang patut dicermati tahun ini. Um Tae-hwa menyajikan peristiwa yang siap mengoyak-koyak kemanusiaan kita. Berdiri di antara sikap manusiawi tolong-menolong atau menjadi manusia sebagai serigala yang menghadirkan akar-akar kekerasan demi bertahan hidup.
Concrete Utopia menjadi film yang masuk dalam nominasi Academy Award ke 96, sebagai film ‘Best International Feature Film’ tahun 2023.
Concrete Utopia menjadi film yang begitu lekat dengan cerita orang-orang Korea Selatan dengan simbol apartemen. Apartemen bagi orang korea selatan adalah budaya sehari-hari, mereka hidup dari apartemen ke apartemen. Concrete Utopia menghadirkan pengalaman yang gelap, ia bukan saja film mengenai bencana tetapi juga film yang lekat dengan isu-isu sosial. Kritiknya sosialnya sangat lekat dengan kehidupan kita sekarang, apalagi mengingatkan kita akan pandemi covid 19 yang menghadirkan manusia-manusia nir akal.
Apartemen itu adalah Hwang Goong, menjadi fokus utama di mana apartemen satu-satunya yang masih kokoh berdiri setalah dihantam gempa bumi. Pasangan muda Min Seong (Park Seo-joon) dan Myeong-hwa (Park Bo-young) adalah pasangan yang bertahan di apartemen itu. Min Seong pernah menjadi menjalani wajib militer sebagai tentara dan Myeong-hwa adalah seorang perawat.
Yang tentunya membuat Myeong-hwa memiliki jiwa penolong, dan mau menampung seorang ibu dan anaknya korban gempa dari apartemen mewah yang ada di sebelahnya. Hwang Goong adalah apartemen murah, kelas menengah yang menampung orang-orang yang memiliki profesi seperti guru dan lainnya. Yang memiliki apartemen harus bekerja keras dan menjadi impian selama puluhan tahun untuk memilikinya.
Ketika sang ibu menginginkan ia dan anaknya untuk ditampung di apartemennya dengan simbol memberikan syal yang menurutnya itu harganya sangat mahal. Adegan itu menjadi penanda ketimpangan sosial.
Setelah hantaman gempa bumi meluluhlantakkan kota Seoul, apartemen Hwang Goong menjadi ‘citra surga’ para penyintas gempa bumi lainnya. Apalagi para penyintas mulai akan menghadapi musim dingin. Status sosial tidak berharga, ketika itu, namun untuk sikap tolong-menolong tidak cukup, mereka harus memikirkan cara karena tidak selamanya mampu menampung orang lain dalam keadaan ini.
Pengalaman gelap pun sering dihadirkan dalam film ini, meski hanya dalam adegan makan, atau mengantri. Konflik sosial akibat ketimpangan sosial menjadi sumbu pemantik konflik yang mengakibatkan para pemilik apartemen ingin mengusir para pendatang. Apalagi mereka ingat atas arogansi orang-orang pendatang itu yang berasal dari apartemen mewah sebelum gempa telah menghancurkan apartemen mereka.
Concrete Utopia menyadarkan kita akan pentingnya kepemimpinan dalam kondisi penuh konflik dan kekerasan. Demokrasi untuk memilih pemimpin, mengambil suara, pembagian makanan, menjadi faktor bagaimana mereka mampu bertahan dalam kondisi bencana.
Isu sosial mengenai kepemilikan apartemen membawa kita kepada hal yang paling hakiki mengenai tindakan seorang pemimpin sementara Young-tak (Lee Byung-hun) yang menjadi sorotan utama dalam tindakan yang dilakukannya. Apakah ia ada di atas nama malaikat atau iblis? Untuk mempertahankan rumah yang tak kunjung ia miliki. Concrete Utopia mengingatkan kita, di dalam sebuah bencana akan selalu tampil wajah-wajah manusia serigala yang penuh dengan akar-akar kekerasan.