Akhir-akhir ini banyak orang tua mengamuk, karena anaknya tidak diterima masuk sekolah “pilihannya”. Akibat PPDB dengan persyaratan berbasis umur, bukan usaha dan pengorbanan. Usia tidak dapat dilawan, dan tidak dapat dibeli, karena memerlukan waktu. Jadi beruntunglah yang lahir terlebih dahulu.
Saya tidak mau berpolemik tentang peraturan PPDB. Tetapi saya hanya mau bercerita tentang risiko sebuah pilihan. Apalagi pilihan yang didambakan. Siapapun yang akan menghalangi pasti akan “disikat” dengan segenap jiwa raga.
Ketika memilih mudik di hari lebaran, maka rela bermacet ria berhari-hari. Ketika memilih ingin memakan bakso legendaris kita rela mengantri meski harus membayar.
Membayar untuk suatu pilihan tidak harus dengan uang, namun dengan segala daya dan upaya.
Demikian pula ketika anak atas pengaruh orang tuanya menetapkan sebuah sekolah sebagai pilihan. Maka dimulailah “peperangan” mendapatkan pilihannya. Ketika terhadang aturan dan gagal mendapatkan pilihannya, anak sesuai dengan usianya hanya menangisi saja kegagalannya. Berbeda bagi orang tuanya yang melihat perjuangan anaknya dalam belajar, kegagalan ini dianggap sebagai suatu suasana yang emosional. Merasa perjuangan anaknya tercampak, dan kemarahan itu mungkin wajar dilakukan oleh para orang tua. Anak gagal orang tua pusing. Orang tua gagal semua pusing.
Ketika pilihan yang kita dambakan dapat diraih dengan penuh pengorbanan, “biasanya” kita akan merasa sayang atas pilihan kita, memelihara jangan sampai pilihan kita lepas, rusak atau kehilangan. Saya tidak paham perasaan para murid baru yang ” ketiban” rejeki karena usia? Semoga tidak menyia-nyiakan rejekinya, karena telah mengorbankan ribuan kawannya yang sudah belajar “mati-matian”. Tergusur gara-gara kalah umur. Masih banyak pintu lain untuk masa depan anak. Selalu ada alternatif. Dan kata Darwin, orang yang adaptif yang mampu bertahan hidup.
Semoga segala pilihan yang kita dapat dalam kehidupan kita, tidak harus kita sia-siakan, karena bosan atau ada pilihan lain.
Silahkan saja merenung dengan termenung, sambil ngopi.
BSA/27/6/20