“Zaman digital dan masa pandemi memberikan tantangan yang besar bagi pembentukan literasi. Perlu adanya kolaborasi pelbagai elemen agar literasi tidak hanya membeku di lingkar wacana”
EDURANEWS (Jakarta)-Perpustakaan Nasional mengadakan Webinar Inkubator Literasi bertajuk “Pendidikan” (5/8). Webinar ini menghadirkan Muhammad Ivan dan Ahmad Syawqi.
Pemaparan Ahmad Syawqi memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai Tri Dharma Pustakawan. Ahmad Syawqi mengadopsi nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bagi Ahmad Syawqi, nilai-nilai Tri Dharma perguruan tinggi juga harus dimiliki oleh para pustakawan. Ahmad Syawqi menilai adanya keterkaitan antara undang-undang pendidikan, perpustakaan, dan tri dharma perguruan tinggi.
“Pustakawan mesti memiliki karya kreatif, kecakapan, dan inovatif,” kata Ahmad Syawqi yang merupakan pustakawan Ahli Madya dan dosen luar biasa bidang ilmu perpustakaan UIN Antasari Banjarmasin.
Di sinilah tugas pustakawan dalam kegiatannya mesti melakukan transfer pengetahuan. Tak hanya itu, dalam kaitannya dengan tri dharma pengembangan pengetahuan juga diperlukan oleh pustakawan dengan penelitian.
“Penting melakukan kajian penelitian tidak hanya sekedar berbagi informasi,” ujar Ahmad Syawqi.
Sayangnya peran pustakawan secara konvensional terkadang hanya menjadi penjaga buku dan terpaku di kantor. Padahal pustakawan dapat menyatu dengan masyarakat. Langsung menyentuh jantung literasi di masyarakat. Pengalamannya sebagai pustakawan itulah Ahmad Syawqi juga banyak terlibat program literasi di desa-desa. Ia pernah menginisiasi Program Amal Buku. Mahasiswa mengumpulkan buku-buku untuk disumbangkan ke berbagai perpustakan di daerah.
Kolaborasi
Muhammad Ivan yang merupakan lulusan pendidikan luar sekolah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memberikan pemaparan yang sangat fondasional bagi siapapun. Pertanyaan yang sangat penting diajukan Muhammad Ivan , ‘Setelah membaca, Lalu Apa?’. Menurutnya, penyeragaman di pendidikan, beban guru yang berat dalam administratif menjadikan literasi mandek di sekolah-sekolah. Inilah juga yang mengakibatkan menurunnya ranking PISA mengenai tingkat membaca dalam amatan Muhammad Ivan.
“Sekolah memiliki peran vital dan fondasional,” kata Muhammad Ivan yang juga Kasubid Ketenagaan dan Kesiswaan Pendidikan Menengah Kemenko PMK.
Bagi Muhammad Ivan , di zaman digital seperti ini diperlukan literasi sejak dini. Apalagi di masa pandemi, orang tua, guru sulit mendampingi siswa. Terlebih Generasi Z yang lahir tahun 90-an memiliki mental health yang sangat kurang. Kecenderungan media sosial membentuk mereka menjadi generasi yang membutuhkan pemirsa berupa berapa banyak like, reviews dan lainnya. Artinya kegiatan literasi mereka banyak dipengaruhi seberapa banyak pemirsa yang memperhatikan dirinya. Tantangannya siswa juga mesti mengetahui realitas di luar dirinya. Guru menjadi pendamping ketika tatap muka.
“Bagaimana siswa tidak hanya mengenal teks, tapi juga konteks,” kata Muhammad Ivan.
Aktivitas membaca menjadi bagian utama dalam pembentukan literasi. Menurut Muhammad Ivan, dalam membaca level paling kerdil, aktivitas membaca tidak perlu memilih-milih buku. Semua buku bisa dilahap, setelah itu barulah bisa memilih buku yang memang menjadi passion sesuai ketertarikan masing-masing. Juga bagaimana mengikat makna dari bacaan itu seperti apa yang dikatakan oleh Hernowo yang dapat dibagikan kepada orang lain.
“Literasi tidak hanya memberikan pengetahuan, tapi juga membentuk pengetahuan didalam diri kita,” ujar Muhammad Ivan.
Ahmad Syawqi juga memberikan penjelasan mengenai pentingnya kolaborasi antara dosen, mahasiswa ketika membangun literasi terutama dalam bidang penelitian.
“Mahasiswa atau para sarjana dapat menjadi penggerak perpustakaan di desa,” kata Ahmad Syawqi.
Akhirnya intensitas kolaborasi antar elemen di masyarakat menjadi kata kunci yang sangat penting dalam pengembangan literasi.