Saya butuh waktu untuk dapat melihat anak saya beradu fisik dalam pertandingan Taekwondo. Saya belum dapat menerima anak saya disakiti dan anak saya menyakiti orang lain. Saya juga khawatir melihat anak saya mengendarai sepeda motor. Saya juga khawatir, khawatir dan khawatir, terhadap apa saja yang dilakukan anak saya.
Mungkin saya terlalu “Cemen”. Padahal saya dahulu lebih “petakilan” dan “blingsatan” ke sana kemari daripada kelakuan anak saya. Saya tidak pernah memikirkan perasaan khawatir orang tua saya. Dan orang tua saya juga seperti tidak pernah melarang. Sepertinya saya masih dalam koridor di bawah ambang batas “rasa khawatir” orang tua saya.
Terus kenapa saya begitu khawatir terhadap anak-anak saya, ketika anak saya mendaftar sekolah sesuai “keinginannya”, saya begitu khawatir, takut anak saya tidak diterima. Perwujudannya dengan marah, ngamuk ketika anak tidak diterima. Merasa tidak adil. Mulailah saya menerka dengan pikiran negatif. Ada kecurangan dan mulai membawa kekalahan anak saya ke rekan-rekan saya, untuk mendapat dukungan sosial. Itulah kelakuan saya.
Kenapa ketika anak saya kalah dalam turnamen taekwondo, saya begitu sabar menghibur bahwa kita harus menerima kekalahan, berjiwa satria dan harus lebih giat lagi berlatih. Dan disitu menurut saya ada nilai edukasi yang luar biasa, sang anak belajar menerima sesuatu yang tidak sesuai harapan. Belajar sportifitas, belajar artinya perjuangan dan kerja keras juga tidak berarti akan berhasil. Belajar menerima kenyataan pahit. Mungkin saya akan berdebat bahwa msalahnya berbeda, ini masalah masa depan anak bukan urusan Taekwondo.
Saya pun merenungi cerita Thomas Alfa Edison yang memiliki kelainan dan dianggap aneh, sehingga tidak dapat bersekolah di sekolah formal. Meski ibunya marah, namun mengatasi dengan sangat bijak. Sehingga si Thomas mampu menjadi penemu kelas dunia. Untung saja si Thomas bukan anak saya, karena saya tidak akan mampu berkata seperti Nancy, ibu si Thomas “Anak saya bukanlah anak bodoh. Saya sendiri yang akan mendidik dan mengajarinyaā€¯ ucap Nancy dengan nada kesal dan marah.
Sedangkan kalau saya sederhana saja, saya akan marah dan labrak tuh guru di sekolah yang tidak mau menerima anak saya, sebagai pelanggar HAM. Saya telah lupa masa depan rahasia Tuhan, terus tugas orang tua apa ya?
BSA/29/6/20