Beragama karena ada kematian, saya mendapat undangan seminar melalui zoom. Sangat menarik sekali judulnya. Judulnya seru, terutama bagi para lansia, di mana banyak yang mendadak agamis setelah tua. Alasannya kematian sudah menjelang. Jadi saatnya bertobat. Sepertinya kalau tidak ada ketakutan akan kematian, agama menjadi “tidak laku”.
Apakah beragama untuk kehidupan atau kematian ? Dan katanya untuk kedua-duanya.
Itulah manusia, setelah urusan dunia sudah sulit direngkuh karena usia lanjut, maka bagi banyak para lansia fokus kepada urusan menyongsong kematian. Beragama menjadi pilihannya, artinya mengikuti anjuran agama, yang akan dijadikan “teman” menyongsong kematiannya.
Beragama adalah suatu keyakinan, bahwa apa yang diyakini adalah dari Tuhan sang maha kuasa yang dipercayai. Tuhan tempatnya kembali. Maka apabila kita “menuruti” perintah agama di hari hari para lansia, hal ini minimal akan mengurangi rasa ketakutan menghadapi kematian. Mengingat berbagai perbuatan ” tercela” yang pernah dilakukan. Ada saat, ada waktu kesempatan untuk bertobat.
Seperti sudah menjadi watak manusia, yang cenderung menyebarkan kekhawatiran, ancaman, kerugian dan ketakutan dirinya, namun sering menyimpan rapat-rapat keuntungan yang akan diraihnya. Jadi berbagai kekhawatiran tentang kematian, dan tentang agama sering menjadi “petuah” yang disebarkan.
Seperti membagikan tentang peribadatan yang dilakukannya telah dilaporkan melalui medsos. Selalu ingin mengajak orang lain. Menyebarkan tentang “ancaman’ hukuman di hari kemudian. Kenapa tidak menyiarkan nikmatnya ketenangan dan keteduhan hati ketika melaksanakan ritual ibadah. Seperti di jalan raya ada polisi dan tilang, lebih “takut” kepada tilangnya ketimbang kenyamanan kalau taat aturan. Bukankah peraturan dibuat untuk ketertiban umum.
Saya melihat seorang tua di sudut mesjid. Mungkin orang yang dianggap tidak pernah menikmati gemerlap dan kenikmatan dunia yang luar biasa, karena hanya sebagai buruh harian. Namun si orang tua beribadah tidak pernah lepas dari keseharainnya, bukan untuk menyongsong kematian karena “gagal” dalam kehidupan, namun sebagai perenungan perjalanan nasibnya. Bukan menggugat Tuhan, tetapi sebagai ucapan syukur, bahwa dapat menjalani hidup tidak harus melakukan perbuatan tercela. Bukan merasa takut kepada Tuhan, namun merasa nyaman bersama Tuhannya. Pak tuapun tidak pernah sesumbar di medsos dia sedang beribadah, mungkin sayang membuang pulsa untuk yang bersifat kebahagiaan pribadi, yang hanya layak dinikmati oleh dirinya bersama Tuhannya.
Saya hanya memandangi saja pak tua dengan “kenikmatan” hidupnya. Sementara saya hanya sibuk mendiskusikan, mencela dan mengcopas ujaranNYA saja dengan hati yang membara dan merasa sebal dengan orang yang saya anggap “tidak taat’ agama sesuai pemahaman saya. Saya mulai mikir apa yang harus saya pertanggung jawabkan di hari kemudian kelak ?
BSA/1/7/20