Katanya anak-anaknya Pangeran Charles, Pangeran Harry dan pangeran William menjalani masa sekolahnya di Eton. Hal ini berbeda dengan tradisi kerajaan Inggris sebelumnya seperti Pangeran Philip, Pangeran Charles, Pangeran Andrew, Pangeran Edward dan Zara Tindall semua terdaftar di boarding school, Sekolah Gordonstoun, Skotlandia.
Sekarang pangeran William dan Kate Middleton “nyleneh” menyekolahkan anaknya. Pasangan kerajaan ini memilih untuk mengirim anak-anak mereka menempuh pendidikan ke sekolah Thomas Battersea.
Itulah gaya keluarga kerajaan, “sugih” dan berkuasa. Maka “suka-sukalah” bersekolah. Orang tua lah yang berperan mengarahkan anak-anaknya memilih sekolah. Tidak harus antri “mantengi” layar hasil PPDB.
Sepertinya mirip sebagian dari kita, bersekolah sampai SMA selama ini, selalu sesuai arahan orang tua. Kita seperti diproses sesuai kehendak orang tua kita, berdasarkan pengalaman, kemampuan orang tua dan referensi terhadap cerita sukses terhadap alumni sekolah yang disasar.
Ketika saya mengantar anak ke sebuah sekolah asrama berbasis keagamaan, saya bertemu dengan banyak orang tua siswa yang bercerita alasan “mengasramakan”. Banyak alasan dikemukakan, ada karena merasa lebih irit, tidak usah ongkos dan merasa aman. Ada juga yang merasa sudah tidak sanggup lagi mengurusi anaknya yang “super bandel”. Jadi, orang tua mensubkontrakan pendidikan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut.
Sama dengan Kate Midleton, menginginkan anaknya mau jadi apa? Hampir semua orang tua juga sama, menyekolahkan anaknya sesuai dengan angan-angannya ingin anaknya menjadi apa.
Saya termasuk tidak diarahkan harus sekolah apa oleh orang tua saya, sesuka saya asal bertanggung jawab terhadap pilihannya. Untung saja saya “baik-baik” saja, saya tidak tahu hasilnya kalau diarah-arahkan atau dipaksakan sekolah tertentu. Saya tidak tahu akan menjadi apa? Dapat juga mblangsak atau lebih baik.
Kate Middleton hidup dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan menghendaki anaknya seperti dirinya.
Saya tidak tahu mana yang lebih baik, karena kita punya selera yang berbeda dalam hidup. Ada yang bahagia dengan sarapan nasi urap atau ada juga yang tidak bisa sarapan karena tidak punya uang.
Bagi saya, menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungan adalah yang paling diharapkan. Karena orang tidak akan mengusir, membenci dan mematikan orang yang memberi manfaat baginya.
Pagi ini saya “terdampar ” di suatu tempat dan melihat etalase warung makan menyajikan urap yang segar. Terlihat merangsang selera makan saya. Mungkin kehidupan saya juga mirip seperti urap, campur baur, diaduk-aduk namun enak dinikmati.
Selamat akhir pekan.
BSA/12/7/20