Menelusuri Pengalaman Hidup di Bantaran Kali

0
369

Kota Jakarta selalu memiliki sisi unik untuk ditelisik. Tempat ini menawarkan imajinasi kaum urban. Melalui kegemerlapan gedung-gedung mewah pencakar langit, segala bangunan bersinar bagai di istana.

Bentuk modernisasi tercitra dalam film, musik, iklan layar kaca. Kita dibius gemerlap kota. Memaksakan diri, mencari pekerjaan dan nekat meninggalkan desa.

Hanya berbekal menumpang bus untuk sampai ke Ibukota. Siapa pun bisa berlomba mengadu di sana, mencari kehidupan yang diimpikan.

Kehidupan yang didamba ini membuat Roanne, peneliti asal Belanda tertarik membabad kisah lain dari kota.  Ia nekat mengulik soal kehidupan orang-orang di Bantaran Kali. Dalam buku Tempat Terindah di Dunia, Roanne menarasikan sering gelisah, ketika akan ke Jakarta.

“Saya menanti-nantikan saat keberangkatan ke Jakarta, sekaligus gelisah memikirkanya” (hlm. 13). Tentu bagi Roanne, tantangan hidup di perkampungan kumuh, tak bisa masuk ke akalnya. Roanne terbiasa dengan kehidupan modernnya di Belanda.

Kini untuk penelitiannya Roanne wajib menjalani kehidupan sebagai WNA (Warga Negara Asing) di Bantaran Kali. Ia menegaskan “Sebagai seorang peneliti, saya ingin tahu bagaimana rasanya tinggal di hunian yang setiap tahunnya beberapa kali dilanda banjir”(hlm. 18).

Aksi Roanne bertahan mencari-cari sendiri tempat kumuh, acap dipandang dengan tatapan sinis dan curiga dari setiap orang. Entah itu, kalangan pemerintah atau orang-orang kampung.

Meski begitu, ia tidak menyerah. Sampai perjalanannya terakhir, Roanne bertemu dengan sosok bernama Tikus. Seorang pengamen yang mengajaknya ke Bantaran Kali.

Roanne dan Tikus menyusuri jalan-jalan kecil, di sana terdapat sebuah rumah alakadarnya. “Gubuk kayu seluas kira-kira dua puluh lima meter persegi dengan lantai tanah, dinding kayu dan lembaran kardus bergelombang sebagai atapnya” (hlm. 25).

Dalam rumah ini, Roanne mencoba bermalam.  Ia pun dihadapkan dengan penerangan minim dan segala serangga yang dapat mengusik kenyamanannya selama ini.

Roanne kerap dikelilingi orang lain, mereka mengiranya takut dengan kesendirian. Padahal, ia tentu saja tidak pernah merasa takut sendirian, karena ia sudah biasa kemana-mana sendiri.

Berbeda dengan kebudayaan orang di kampung itu, yang melakukan semua kegiatan secara berkelompok. Ia pun cukup risih, dengan dikelilingi banyak orang, lantaran tak punya banyak waktu untuk mengetik laporannya, tetapi ia bersabar dan tetap bertahan di sana.

Warita Roanne dimulai dengan Tidur bersama portofon.  Portofon (alat komunikasi), orang-orang kampung menaksir harganya setara mobil atau rumah. Alat portofon, berhasil dibeli oleh Yusuf dari hasil tabungan. Dengan alat inilah, orang-orang langsung mengerubungi rumahnya.

Semua orang rela antri bermeter-meter dan berpanas-panasan, demi mendapatkan giliran melihat portofon. Alat ini tentu sangat istimewa kehadirannya, sebab bisa menangkap informasi kedatangan banjir.

“Mereka itu kayak dukunnyabanjir, makanya mereka jadi penting di Bantaran Kali. Lebih penting dibanding kepala kampung dan sesepuh kampung” (hlm. 46). 

Status seseorang pun naik karena benda portofon ini. Mendadak Yusuf dipanggil guru, sebutan ini berupa penghargaan warga kampungnya kepada Yusuf. Ia menjadi orang yang setiap hari fokus mendengarkan bebunyian dari Portofon.

Ironisnya, karenakan rajin mendengarkan benda itu, Yusuf pun dipecat dari pekerjaannya sebagai Cleaning Service. Tak ada raut muka penyesalan di wajah Yusuf, saat istrinya mengomelinya karena Portofon.

Sebab, ia merasa bertanggung jawab bakal keselamatan orang-orang di Bantaran Kali. Yusuf menganggap tentunya akan berbahaya kalau portofon ini diserahkan ke orang lain.

Selain kisah Yusuf dan Portofonnya, Roanne pun menyajikan kisah-kisah seru lainnya, selama tinggal tinggal di Bataran Kali. Kisah paling mengocok perut, begitu Roanne sedang sakit.

Ia tak pernah menyangka, setelah lima bulan tinggal di sana, baru kali itu sakit. Ia pun meminta dibawa ke dokter, tapi Enim malah menganjurkan meminum jahe merah, diterapi dengan lilin, dipijat kaki dan sampai kerok punggungnya.

Semua hal yang tak pernah Roanne alami, dampaknya badan Roanne berontak dan tambah ringsek. Ia sedari tadi meminta ke rumah sakit, tapi malah dianggap “bahaya” oleh Enim.

Tentu kisah-kisah horor terbayang oleh Enim begitu juga warga di Bantaran Kali. Mereka sudah pasti ditolak oleh rumah sakit, kalau pun diterima, mereka disuruh menunggu dan tidak akan lagi ditangani. Sampai mereka harus menyaksikan teman meninggal di rumah sakit atau pulang tanpa obat.

Lewat kesaksian itulah, Roanne memiliki ide menyusuri rumah di sekitar Menteng, demi menemukan alamat rumah palsu. Sebab, menurut Enim, Roanne tidak akan diterima kalau ia menyebut tempat tinggalnyadi Bataran Kali.

Dengan kesadaran seadanya, Roanne diantar Edi (ojek langganan) pergi mencari rumah di Menteng, sebelum  ke rumah sakit. Roanne pun tak lupa memakai pakaian kondangan dan sepatu tinggi hasil pinjaman dari tetangganya.

Sesampainya di rumah sakit, Roanne diberikan obat dan langsung terasa reaksinya. Ia diperlakukan dengan baik oleh dokter yang merawatnya. Menurut dokter ia sakit karena tujuh macam parasit dan infeksi perut.

“Anda betul-betul hanyaminum air mineral botolan dari supermarket, kalau anda tinggal di kampung miskin itu… dan sebetulnya, anda bahkan tidak seharusnya berada di sana, itu bukan tempat buat turis, kotor sekali di sana!” (hlm. 113).    

Memang terasa aneh dan janggal, seorang perempuan asing berkutat di tempat yang dalam benak dokter tidak layak huni. Dokter pun menyarankan, ia harusnya ke tempat-tempat bagus di Jakarta.

Namun, Roanne tentu  tidak mendengarkan dokter itu, iatidak merasa kapok dengan penyakit yang telah dideritanya. Roanne malah antusias segera pulang dari rumah sakit. Ketika pulang, langsung saja Roanne diberikan pertanyaan dan makanan supaya cepat pulih.

”Ada ikan goreng da tempe dibalut sambal, oseng kangkung kecap, sayur asem, nasi kuning, pisang goreng dan jus pepaya”(hlm. 115). Bapak kepala kampung pun datang menengok keadaan Roanne, semua yang mencemaskan Roanne kembali lega melihatnya lahap makan.

Kisah Roanne, seakan meruntuhkan stigma negatif dari kalangan masyarakat miskin di Bataran Kali. Stigma yang dianut dengan kepercayaan, tak ada hal kebaikan di lingkungan tersebut, tidaklah benar.

Justru Roanne menemukan sikap kekeluargaan lebih terasa di kampung itu. Bahkan menurut penuturan Roanne, ia tidak mengunci rumahnya. Tak ada maling yang merebut benda-benda elektroniknya.

Untuk dapat berbaur, Roanne pun tidak mengeluarkan kameranya, ia hanya menggunakan gawai pintarnya selama memotret. Ia sadar betul, akan terlihat kontras, kalau ia mengeluarkan benda-benda miliknya.

Membaca Tempat Terindah di Dunia tentu menyibak riwayat kehidupan yang dipertahankan oleh orang-orang di Bantaran Kali. Mereka merelakan tetap berjuang meski keadaan tak mengenakan, seterpuruk apa pun itu. Kisah-kisah ini menyiratkan,barangkali tak hanya orang kaya yang ingin bertahan hidup, mereka yang miskin pun ingin hidup.

Mereka, tentu mengingkinkan kehidupan yang lebih baik, tapi apa daya. Keinginan itu harus disertaidengan kemampuan  memiliki ijazah yang memadai. Sementara demi makan sehari-hari pun, mereka sudah kesusahan. Apalagi bakal biaya pendidikan, yang meminta anak berseragam, bersepatu, dan segala kebutuhan lain, rasanya terlalu sulit dicapai.   

Judul Buku : Tempat Terbaik di Dunia
Penulis : Roanne Van Voorst
Penerbit : Margin Kiri
Cetakan : Kedua, 2018
Tebal : vi + 192 Hlm
ISBN : 978- 979-1260-79-4