EDURANEWS, JAKARTA. Kualitas pendidikan di Indonesia masih menghadapi permasalahan dasar. Hal itu diucapkan Prof. Yuli Rahmawati dalam orasinya yang bertajuk “Pendidikan Kimia Transformatif menuju Pengembangan Kompetensi Generasi Emas 2045” di Aula Latief Hendraningrat Gedung Dewi Sartika UNJ (20/12).
Tantangan pendidikan di Indonesia masih berada dalam tataran kualitas sumber daya manusia. Terutama ketika pandemi covid melanda pendidikan mengalami permasalahan yang signifikan. Baginya pendidikan menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan global.
Pendidikan kimia pun tak lepas dari tantangan itu. Namun miskonsepsi pendidikan kimia pun sering terjadi dalam pembelajaran. Dalam Pembelajaran kimia seharusnya melibatkan kehidupan sehari-hari. Di sini menurut Prof. Yuli Rahmawati menganggap pendidikan kimia haruslah bermakna.
Pendidikan Transformatif
Pendidikan kimia juga haruslah kontekstual. Khususnya pendidikan kimia yang mengarah kepada kemampuan kompetensi dasar dan holistik siswa.
Menurut Prof. Yuli maka diperlukan guru atau dosen yang juga memiliki identitas sebagai pendidik reflektif dan transformatif.
Baginya pendidikan kimia transformatif harus mengakomodasi komponen kurikulum yang progresif yang berfokus pada bagaimana kurikulum diciptakan yang tidak hanya fokus pada penguasaan keilmuan tetapi juga dalam pencapaian kompetensi lulusan.
Kurikulum tradisional yang dialaminya selama proses pembelajaran kurikulum hanya dipandang sebagai kumpulan materi pembelajaran, perencanaan pembelajaran hanya di kelas, serta tugas yang dilaksanakan dan pemahaman konsep terbatas sehingga tidak terciptanya proses berpikir kritis.
Amatan Prof. Yuli ada tiga prinsip mendasar yang dapat dijadikan acuan dalam pembelajaran transformatif yakni; (1) constructivism as referent, (2) empowering teacher-student relationship, (3) dialectical thinking. Di sini kuncinya adalah adanya ruang partisipasi aktif dalam pembelajaran
Model Pembelajaran Transformatif
Dalam penelitiannya Prof. Yuli menjelaskan model-model pembelajaran transformatif yakni socio emotional learning, dilemma teaching pedagogy, life cycle, green chemistry, cultural responsive teaching, dan STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, Mathematic.
Hal yang menarik ketika siswa mengkonstruksi pemahaman pembelajaran kimia dari latar budaya sehari-hari yang dipahami siswa seperti “padusan” untuk menganalogikan proses ionisasi. Meskipun kurang tepat Prof. Yuli menjelaskan dapat memudahkan siswa memahami konsep ionisasi jika menggunakan analogi kehidupan sekitar.
Menurut Prof. Yuli Pendidikan Kimia Transformatif harus memperhatikan 5 prinsip dasar yakni cultural-self knowing, relational knowing, critical knowing, visionary and ethical knowing, dan knowing in action.
Jadi pembelajaran kimia tidak hanya fokus pada pencapaian angka/skor namun pada perubahan paradigma yang mendasar.