“Pendidikan nasional masih mengalami persoalan klasik. Ada masalah global yang diidentifikasi sebagai bottleneck yakni pengaruh ideologi dan filosofi. Dan ini menjadi tantangan global bagi ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila dalam merumuskan pendidikan. “
EDURANEWS, JAKARTA – Forum Diskusi Pedagogik (FDP) Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengadakan Webinar bertajuk “Mengenali Sumber Persoalan Bottleneck Pendidikan Nasional untuk Melempangkan Jalan Napas Pendidikan Indonesia (29/7). Obrolan-obrolan mengenai masalah pendidikan itu dilihat dari kacamata kebijakan dan paradigma ekonomi pendidikan yang diulas oleh dua profesor begawan pendidikan yakni Prof. Dr. Sutjipto dan Prof. Dr. Yoyon Suryono, Msi.
Rektor UNJ Dr. Komarudin Sahid mengawali diskusi dengan memberikan empat catatan penting; pertama, pendidikan yang masih bermazhab pasar, kedua, politik pendidikan yang hanya fokus pada lapangan pekerjaan, ketiga, pendidikan yang belum berkorelasi dengan kesejahteraan, keempat, pendidikan yang masih melupakan proses.
“Padahal ada yang lebih penting yaitu memanusiakan manusia,” Rektor UNJ Dr. Komarudin Sahid menekankan.
Dalam kacamata ekonomi pendidikan diperlukan rasionalitas dalam mengambil keputusan yang menguntungkan serta pemahaman perilaku individu, organisasi dan negara yang menghimpun sumber daya manusia, material dan finansial. Hal inilah yang mendasari meskipun anggaran pendidikan sangat besar, menurut amatan Prof. Dr. Sutjipto permasalahan pendidikan di Indonesia karena kurangnya koordinasi antar lembaga yang mendapatkan kucuran dana.
Prof. Sutjipto lebih cenderung melihat pendidikan sebagai sistem sehingga memungkinkan menemukan frame work pemecahan yang kompeherensif. Artinya dalam bottleneck , pendidikan tidak sibuk mencari leher botol yang tersumbat. Di sinilah Prof. Sutjipto menjelaskan mengenai entropi pendidikan, yang mengalami gangguan karena sistem tidak bekerja.
“Maka penting untuk memperlancar komunikasi,koordinasi antar sistem,” kata Prof. Sutjipto menjelaskan.
Pengaruh Global
Pendidikan juga tidak lepas dari pengaruh global. Prof. Yoyon menjelaskan dari sisi konsepsi pendidikan Indonesia yang masih belum teridentifikasi. Meskipun Ki Hajar Dewantara pernah mencoba mendefinisikan pendidikan nasional yang terpengaruh dari teori pendidikan barat yang kental dengan ekspresif budaya jawa. Konsepsi pendidikan Indonesia juga banyak ditafsirkan dengan pelbagai kekhasannya mulai dari Taman Siswa, INS Kayu Tanam dan lainnya. Keragaman inilah menjadi tantangan.
Ada masalah global yang diidentifikasi sebagai bottleneck yakni pengaruh ideologi dan filosofi. Dan ini menjadi tantangan global bagi ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila dalam merumuskan pendidikan.
Dalam mainstream ekonomi, negara membutuhkan investasi dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang berujung pada pendapatan warga negara. Pendidikan pun digenjot untuk meningkatkan kemampuan (skill) yang berujung pada kesejahteraan. Adanya direktorat jenderal vokasi adalah adanya pengaruh global yang disesuaikan dengan ekonomi global.
Pendidikan pun direalisasikan dengan pendekatan ekonomi yang berbasis tenaga kerja. Tantangan global yang luar biasa inilah menjadi amatan Prof.Yoyon yang pada dasarnya berpengaruh kepada budaya dan berpengaruh pada pendidikan nasional.
“Mainstream pendidikan kita adalah pendidikan formal, memindahkan pendidikan formal ke informal. Semua dalam kondisi tak berdaya karena melawan mainstream global dan ekonomi,” jelas Prof. Yoyon.
Perlunya Paradigma
Tidak selesainya konsepsi mengenai manusia Indonesia, meluasnya praktik ego sektoral, tidak adanya koordinasi antar lembaga menjadikan paradigma pendidikan Indonesia kehilangan arah. Secara politik anggaran yang besar, pendidikan masih dalam tahap realisasi program secara keseluruhan. Namun belum menyentuh aspek dampak dalam pendidikan di masyarakat.
Pendidikan pun dipersepsikan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan, kebahagiaan. Ini menjadi arah hilirisasi pendidikan kepada nilai ekonomi.
“Pendidikan kita model pabrikasi,“ terang Jimmy Ph. Paat yang menjelaskan ekonomisasi pendidikan dalam diskusi.
Prof. Sutjipto menjelaskan bahwa fungsi pendidikan adalah mengenai equifinality. Meskipun berbeda-beda dalam mengelola pendidikan tapi memiliki tujuan final yang sama. Tujuan pendidikan tak hanya mengajarkan anak pada cara membaca dan berhitung secara teknikal tapi juga belajar menjadi warga negara. Pendidikan Indonesia juga tidak berdasarkan penelitian pendidikan.
“Paling penting paradigma harus jelas bagi pengambil kebijakan pendidikan,” terang Prof. Sutjipto.
Syarif Yunus dalam diskusi menjelaskan mengenai pendidikan non formal yang menjadi back up pendidikan di masyarakat. Covid 19 memberikan dampak yang sangat besar bagi pendidikan formal. Kegagalan pendidikan formal yang memiliki banyak masalah menjadi sorotan.
Meski begitu, Prof. Sutjipto menjelaskan mengenai fungsi lembaga pendidikan yang memiliki fungsinya sendiri-sendiri di masyarakat. Harus ada yang dikoreksi.
Menurut Prof. Sutjipto masing-masing orang Indonesia harus menjadi yang terbaik. Jika dalam pendidikan itulah yang dimaksud dengan mutu pendidikan.
“Jika menjadi tukang sapu, jadilah tukang sapu terbaik, jika menjadi guru jadilah guru yang terbaik,” ucap Prof. Sutjipto.
Bagaimanapun pencarian mengenai konsepsi pendidikan Indonesia masih dalam proses yang sangat panjang dengan pengaruh global. Jika pra kemerdekaan pendidikan Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda dan tahun 70-an banyak terpengaruh oleh Amerika.
“Sekarang tertarik dengan pendidikan di Finlandia,” kata Prof.Yoyon yang menekankan pada faktual dan ideal bagi pendidikan Indonesia.