Concern Building Of Education (2)

0
147

Pesan Edukasi “Laskar Pelangi”

“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,”

Menurut analisa semiotik penulis terhadap kisah “Laskar Pelangi”, didapat suatu pesan bahwa pendidikan adalah hak mutlak warga masyarakat. Dengan latar pedalaman daerah terpencil, mimpi besar seorang siswa dapat terwujud. Hal inilah yang mungkin menjadi ihwal menyikapi keterbatasan menjadi hal yang menggugah semangat belajar. Penulis lebih sepaham bila kita mengistilahkannya sebagai wishfull thingking, artinya bahwa geliat pendidikan nusantara nantinya berangkat dari pelosok daerah pedalaman yang dengan keterbatasannya dapat memaksimalkan cita.

Kemunculan kisah “Laskar Pelangi” juga dapat dikatakan sebagai kritik bagi pemerintah. Terutama masalah perhatiannya terhadap pembangunan pendidikan di daerah pelosok. Hal yang memancing perhatian publik adalah bahwa sebenarnya kisah “Laskar Pelangi” adalah potret sesungguhnya tentang sikap apatisme pemerintah dalam akses pemerataan dan kualitas pendidikan. Ada pesan edukasi dalam kisah tokoh tersebut, Seperti, Ikal selaku tokoh utama yang kental dengan cita dan mimpi, Lintang yang jenius, Mahar yang artistik, Ibu Muslimah (Cut Mini) yang begitu komitmen terhadap pendidikan, serta Pak Arfan yang begitu setia pada sekolah mereka. Penjaga moral yang tak pernah surut semangatnya mengurus sekolah yang hanya bermuridkan sepuluh orang, meski tanpa keuntungan sepeserpun. “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya,” demikian lelaki renta itu menyemangati Laskar Pelangi.

Hal yang menarik dari kisah ini yaitu tidak meninggalkan tema sentral pendidikan, sebagaimana dinarasikan oleh Andrea. Kisah Laskar Pelangi, memberikan inspirasi bagi penonton dan pembaca betapa pentingnya pendidikan. Sosok Lintang yang jenius adalah potret buram pendidikan kita. Kisah ini memahamkan kita kalau di negeri ini pendidikan masih seperti menara gading yang harus di nomor duakan demi menafkahi keluarga. Minggatnya Lintang dari sekolah mereka membuktikan bahwa untuk sekolah di negeri ini tidak cukup hanya dengan semangat dan kecerdasan otak, unsur materi masih menjadi syarat utama. Di usianya yang masih belia ia dipaksa menanggung beban hidup yang belum seharusnya ia pikul. Bekerja menafkahi keluarga dan meninggalkan bangku sekolah.

Dalam Kisah ini pun dipesankan bahwa kecerdasan tidak diukur dengan nilai-nilai angka dan materi semata, tapi dengan hati, kata Pak Arfan. Bahwa memang arti kata hati terdapat pesan humanistik. Dimana pendidikan dilakukan untuk memanusiakan manusia. Membangun masyarakat cerdas untuk merencanakan kehidupan di masa depan. Kebhinekaan siswa dengan latar yang berbeda mengisi setiap kegiatan pendidikan dan kemudian menjadi kunci, bahwa pendidikan adalah perwujudan realita yang harus dijalani dengan kesabaran, keikhlasan, dan kesungguhan. Hadirnya sosok Mahar dalam film ini, setidaknya memberikan sudut pandang lain tentang paradigma kecerdasan. Bahwa bukan hanya Lintang yang cerdas, Mahar yang suka musik pun juga dapat dikatakan cerdas. Dimitri Mahayana menyebutnya sebagai Multi Intelegent.

Previous articleConcern Building Of Education (1)
Next articleSMAN Unggulan MH Thamrin Menerapkan Seleksi Ketat
Lahir di Jakarta, 13 Maret 1987. Lulus tahun 2011 dari Fakultas Ekonomi UNJ. Pernah bekerja di harian Bisnis Indonesia (2012-2019). Saat ini bekerja di EDURA UNJ, juga menjadi redaktur di UNJ PRESS. Buku yang pernah ditulis a.l. Great People to Great Business (WIKA), Lumbung Padi Organik di OKU Timur, MS Hidayat: Lima Tahun Membangun Industri, dan Antologi Liputan Landmark Jakarta: Realitas Sosial dan Ruang Publik, Sang Pelopor Jalan Tol (Jasa Marga), Signature ot The Nation (HK), Grow Fast Grow Fair (WASKITA PRECAST)