Anak-Anak lebih dari Si Kwee Ceng

0
450

“Assalamualaikum sebelumnya sy minta maaf, kapan sih bu aktif masuk sekolah, soalnya anak tambah males aja klo belajar di rumah,” postingan itu dari ibu dalam grup Whatsaap orang tua siswa SMA.

Adalagi seorang anak TK diajarkan table manner, cara makan di meja makan. Harapannya sang anak dapat tertib di meja makan. Yang terjadi anak mengikuti pelajaran tersebut sambil kaki kirinya diangkat dan nangkring di kursi. Adegan itu luput dari pengamatan guru. Karena yang tampil di layar laptop gurunya hanya sebatas dada siswa.

Itulah postingan orang tua  murid pada sebuah facebook.

Kita boleh berteori tentang shifting cara belajar dan sebagainya, tetapi rupanya butuh waktu menyadarkan siswa bahwa cara belajar telah berubah. Pengalaman 5 bulan terakhir, belum mampu mengubah kebiasaan dalam belajar.

Siswa adalah anak-anak, dengan pola pikirnya. Motivasi belajar harus selalu dihembuskan di hatinya. Begitu tiupan hembusan motivasi redup, maka reduplah semangat belajarnya. Melotot di telepon genggam, di laptop, memencet sekali saja layar dapat berubah dengan game dan tontonan lebih menarik, ketimbang melihat muka gurunya di depan layar.

Konon peran orang tualah yang memberikan sentuhan untuk memotivasi anaknya, selama belajar di rumah. Karena guru telah kehilangan sentuhan dan tidak mampu memonitor berbagai perilaku yang terjadi selama proses belajar mengajar.

Katanya di dunia, banyak siswa sekolah yang kehilangan akses belajar karena berbagai sebab akibat Covid. Sekarang sehari-hari sibuk di rumah bersama orang tuanya.

Apakah dengan adanya Covid 19, para orang tua mampu menjadikan anak menjadi anak orang tuanya, karena nilai (value) yang ditanamkan  sekolah sedikit banyak berkurang dalam proses pendidikan anak dengan cara daring.

Pendidikan adalah proses belajar untuk membuat siswa menjadi “sesuatu”. Unicef mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Pemikirannya dahulu belajar secara normal di sekolahan.

Saya tidak tahu ke depan akan terus begini, belajar secara daring atau akan kembali dengan cara “tradisional” tatap muka guru dan murid dalam sebuah kelas.

Saya teringat buku fiksi cerita silat saduran Kho Ping Ho, di mana seorang pemuda yang diangap bodoh namun baik hati, jatuh ke dalam gua. Dan menemukan buku kuno jurus silat sakti dan sang pemuda mampu belajar mandiri, menjadi pendekar sakti dan tersohor. Belajar tanpa guru. Dia adalah si Kwee Ceng, sang pendekar Burung Rajawali.

Semoga anak anak kita dapat menjadi lebih sakti lagi karena belajarnya berbasis internet, ketimbang si Kwee Ceng yang hanya belajar dari kitab tua.

BSA/16/7/20