Mengenal Komisi Pendidikan Perkumpulan Oost en West; Mengurusi Bimbingan Belajar Sampai Asrama

0
388

Bagaimana anak-anak muda Hindia mampu sekolah di Belanda?

EDURANEWS, JAKARTA-  Di awal abad 19, ketika politik etis menggema pendidikan mendapatkan perhatian.  Kala itu, pendidikan tinggi yang layak hanya dimilki kaum bangsawan. Mereka mampu pergi ke Belanda karena mendapatkan keistimewaan sebagai anak bangsawan. 

Tak hanya dari kalangan ningrat, beberapa mahasiswa yang pergi ke Belanda saat itu juga dari kalangan orang biasa. Mereka adalah anak-anak cerdik pandai yang direkomendasikan untuk mendapatkan  pendidikan tinggi. Mereka mampu pergi ke Belanda karena mampu memanfaatkan dana pendidikan yang ada saat itu.  

Tujuan awal pendidikan di zaman politik etis adalah menjadikan mereka juru kerja di pelbagai bidang; guru, dokter, ahli hukum untuk kepentingan di tanah jajahan. Walaupun pada akhirnya banyak dari mereka berubah haluan. Kelak politik balas budi itu mengubah mereka menjadi pemimpin pergerakan terkemuka di Hindia. 

Tan Malaka seorang cerdik pandai dari Suliki ini adalah salah satu mahasiswa yang mendapatkan semacam dana pendidikan untuk melanjutkan sekolah di Belanda. Atas usul dari Tuan Horensma, gurunya, Tan Malaka berangkat ke negeri Belanda. Tan Malaka memberikan catatan dalam biografinya bahwa ia pun berangkat ke sana karena adanya engkufonds, yakni semacam bantuan dana pendidikan dari para Engku di Suliki kampung halamanya itu.

“..Maka didirikanlah engkufonds yang disokong para Engku di Suliki buat mengumpulkan 50 rupiah setiap bulan, untuk membantu saya di negeri Belanda,” tulis Tan Malaka.

Dalam amatan Harry Poeze mahasiswa seperti Tan Malaka mampu pergi ke Belanda karena memanfaatkan dana-dana pendidikan yang ada.

“Tan Malaka dan mahasiswa Indonesia lain di masa berlangsungnya Perang Dunia Pertama jumlahnya sekitar lima puluh orang; jumlah itu relatif stabil, dan mereka beruntung dapat memanfaatkan dana-dana pendidikan yang ada waktu itu,” tulis Poeze dalam buku “Di Negeri Penjajah; Orang Indonesia di Negeri Belanda 1660-1950”

Poeze juga menulis kan pelbagai dana-dana pendidikan yang ada saat itu seperti Nederlandsch-Indisch Onderwijs-en Studiekas (Kas Pendidikan dan Pengajaran Hindia-Belanda), Max Havelaarfonds (Dana Max Havelaar), Julianafonds (Dana Juliana) dan Tjandistichting (Yayasan Candi).  

Dana-dana pendidikan itu diwakili dalam Komisi Pendidikan perkumpulan Oost en West sejak 1916. Di mana memiliki tujuan dalam memperhatikan kepentingan para mahasiswa dari Hindia. 

Komisi itu sendiri adalah badan yang dibentuk oleh jenderal Van Heutsz atas dukungan para politisi, pejabat dan pengusaha. 

Meskipun komisi itu tidak memiliki dana pendidikan yang berlimpah, kiprahnya menjadi penghubung yang dapat memudahkan  para mahasiswa  dalam mengakses pelbagai keterampilan dan pendidikan tanpa memandang identitas kebangsaan. Komisi ini juga menjadi tempat informasi dalam mengatur keuangan untuk pendidikan.

Seiring waktu, Komisi Pendidikan itu memberikan saran kepada dana pendidikan yang ada untuk dapat memberikan bimbingan kepada mahasiswa berupa nasihat-nasihat. Namun saran itu tidak berjalan dengan baik karena adanya miskonsepsi mengenai peran penasihat dan upaya komunikasi yang akan diusahakannya. 

Pelbagai bimbingan pendidikan dilakukan agar para mahasiswa dari Hindia ini dapat mengurai masalah yang terjadi selama di Belanda mulai dari pelajaran, bahasa, budaya, serta juga pengaturan bagaimana sebaiknya para mahasiswa tinggal, apakah mereka harus diawasi dalam asrama?

Asrama

Tahun 1917 terbentuklah sebuah sub komite yang diketuai Dr Hazeu yang dibentuk atas desakan Pangeran Ario Koesoemodiningrat. Ia jugalah yang mengusulkan adanya asrama bagi para mahasiswa dari Hindia. Namun usulnya ditolak secara teknis dan prinsipil. 

Penolakan itu dikarenakan ketidakmungkinan untuk mencari pribumi yang tepat untuk dijadikan pemimpin asrama. Juga dikarenakan beragamnya para mahasiswa  dalam mengambil bidang pendidikan, sehingga tidak mungkin hanya selesai hanya dengan membangun satu asrama. 

Secara kehidupan sehari-hari, banyaknya para mahasiswa yang bergaul dengan sesamanya, padahal pergaulan atau persinggungan dengan anak-anak muda Belanda diharapkan mampu menambah memajukan pengetahuan para mahasiswa hindia.

Jalan keluar yang direkomendasikan Komite adalah menempatkan para mahasiswa di rumah orang-orang Belanda.  

Komisi berpendapat, “ditumpangkan pada keluarga yang dipilih khusus untuk itu, di mana mereka dengan cara yang bijaksana dapat dibimbing memasuki pergaulan yang beradab,” tulis Poeze. 

Penempatan di rumah-rumah orang Belanda itu menjadi semacam pengawasan para mahasiswa selama mereka selama berada di Belanda. 

Residen GJ. Oudemans mulai mengawasi secara resmi di tahun 1916. Menteri Daerah Jajahan itu memulai kegiatannya untuk mengawasi para mahasiswa Hindia yang pergi ke Belanda. Di awal kegiatannya, Oudemans terlalu sibuk untuk dapat mengawasi keadaan mahasiswa yang banyak mendapatkan masalah dalam tujuan pendidikan, pembelajaran, melarnya masa pembelajaran.

Mahasiswa yang tinggal di asrama diawasi dengan pendekatan militer. Seringkali ini menjadi masalah hingga menyebabkan putusnya dana pendidikan dengan para mahasiswa pribumi. Seperti yang terjadi dengan Tan Malaka yang berdebat tentang masalah politik dengan pengawas.