Sarkadi, Anak Petani yang Sukses Jadi Profesor di UNJ

0
966

EDURANEWS, JAKARTA – Sarkadi, lahir pada tanggal 4 Juli 1969 anak dari ibu Hj. Siti Klumah (almh) dan Bapak H. Muh. Calur (alm) sebagai anak ke-5 dari 9 bersaudara.

Orang tuanya dilahirkan sebagai buruh tani. Mereka hanya mengandalkan pekerjaan dari permintaan juragan tanah, atau lazim disebut sebagai buruh tani. Kehidupan keluarga sangat pas-pasan. Artinya upah hari ini hanya cukup untuk makan hari itu juga. Sarkadi lahir dari keluarga miskin.

Sejak usia 7 tahun, Sarkadi masuk sekolah dasar di SDN Margamulya II Kecamatan Bongas Indramayu. Setiap hari, di samping sekolah dasar, sorenya melanjutkan di sekolah Madrasah, dan malamnya belajar mengaji.

Pada usia 10 tahun, karena kondisi ekonomi keluarganya, Sarkadi turut membantu orang tuanya menjual es mambo dengan cara mengambilnya di agen sambil berangkat ke sekolah. Di sekolah itu es mambo ditaruh diuar kelas, dan dijual saat istirahat tiba. 

Saat pulang sekolah, sebelum sampai rumah, Sarkadi keliling kampung untuk menghabiskan jualan es-nya. Pulang dari berjualan es mambo itu sebagai hasil untungnya diberikan ke ibunya untuk membantu kebutuhan keluarga. 

Setelah selesai jualan es mambo Sarkadi membantu orang tuanya “ngangon” (ngurus) kambing milik orang lain dengan sistem “maro”, yaitu suatu sistem kerja sama yang dimana bila lahir kambing 2, maka satu untuk yang punya kambing dan satunya untuk orang tua Sarkadi. 

Siklus kehidupan Sarkadi setiap harinya dari mengurus kambing, sekolah, dan belajar ngaji terus berlangsung sampai ia menamatkan sekolahnya di SD tersebut selama 6 tahun.

Sarkadi juga menjadi teladan bagi orang tuanya, berkat kemampuan agamanya, Sarkadi mengajarkan ilmu – ilmu agama yang ia dapatkan di madrasah dan pengajiannya kepada kedua orang tuanya dan keluarganya. Hingga kehidupan religius di keluarga terbangun dan menjadi kebiasaan, baik ibadah wajib maupun sunnah.

Menjelang lulus SD, orang tua Sarkadi kebingungan apakah bisa lanjut sekolah atau tidak, karena tidak bisa membiayai uang sekolahnya nanti. Ternyata kakaknya yang tinggal di Bekasi yang sehari-harinya sebagai kondektur bus PPD meminta agar Sarkadi ikut sekolah di Cibitung Bekasi bersama kakaknya.  Sarkadi pun sangat senang karena bisa melanjutkan sekolahnya. 

Sarkadi masuk di SMPN Cibitung Bekasi (sekarang SMPN 1 Cikarang Barat). Saat itu sekitar tahun 1982 di Cibitung tempat tinggal kakaknya sambungan listrik belum ada. Setiap Sarkadi rutin membantu kakaknya menyapu, membersihkan lampu – lampu minyak dan mengisi minyaknya, cuci piring, cuci baju, gosok baju.

Sarkadi juga membantu memasak dan mengangkut air dari sumur tetangga yang airnya lebih jernih yang jaraknya lebih dari 1 KM. Itulah sehari-hari yang dilakukan Sarkadi di sela-sela sekolahnya. 

Saat sekolah SMP, Sarkadi pun selalu dapat rangking pertama, sehingga kakaknya selalu berbangga hati ketika mengambil raport. Setelah lulus SMP, Sarkadi melanjutkan sekolahnya di SMAN 1 Bekasi. Saat itu, sekolah yang dimasukinya adalah sekolah terbaik.

Jarak antara rumah tinggal kakaknya ke SMA 1 Bekasi cukup jauh, lebih dari 10 KM. Sarkadi menjalani rutinitas sekolahnya dengan semangat meski jarak yang ditempuh cukup lumayan. Selama bersekolah Sarkadi selalu naik angkutan umum. Kebiasaan itu pun terbawa hingga saat ini. Sarkadi lebih senang naik angkutan umum dibandingkan membawa kendaraan pribadi. 

Dalam hidupnya Sarkadi berprinsip dengan menggunakan transportasi umum bisa berbagi dengan tukang ojek, tukang bajaj, kernet mobil, supir angkot, bahkan para pengamen dan lain-lain. Sarkadi tidak merasa malu menggunakan transportasi umum seperti. Ia menyadari bahwa dirinya lahir dari keluarga yang tidak mampu dan sudah terbiasa melakukan seperti itu.

Pada tahun 1988, Sarkadi lulus dari SMA 1 Bekasi dan melanjutkan ke Prodi PMP-KN IKIP Jakarta (sekarang UNJ) melalui jalur prestasi Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Saat ketika mengisi formulir PMDK, Wali Kelasnya bertanya kepada Sarkadi mau melanjutkan kuliah kemana? Dengan sigap Sarkadi menjawab, “saya ingin jadi guru pak”. Untuk itu Sarkadi memilih IKIP Jakarta saat ditanya wali kelasnya tersebut. 

Saat kuliah di IKIP Jakarta, Sarkadi menempuhnya dalam waktu 4,5 tahun, saat itu hanya 3 orang mahasiswa yang lulus 4,5 tahun bareng bersama Sarkadi. Saat wisuda Sarkadi mendapat predikat Cumlaude sebagai lulusan terbaik dari fakultasnya. Suatu kebanggaaan bagi Sarkadi dan keluarga.

Akhirnya Dekan FPIPS saat itu memintanya untuk menjadi dosen di program studi PMP-KN yang kebetulan di samping lulusan terbaik Sarkadi juga mengambil beasiswa Ikatan Dinas. Dimana ikatan dinas Sarkadi ditempatkan di IKIP Jakarta sebagai dosen. Tahun 1993 lulus tes, dan tahun 1994 diangkat jadi CPNS sebagai dosen. 

Setelah bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan, tanggungan hidup orang tuanya dibantu oleh Sarkadi termasuk menyekolahkan adik–adiknya hingga tamat sarjana. 

Dalam perjalanan sebagai dosen, pada tahun 1996 Sarkadi melanjutkan studi ke S2 UI mengambil program studi Ilmu Komunikasi. Selama menjadi dosen pernah menduduki jabatan sekretaris jurusan, ketua jurusan, dan wakil dekan 3 selama dua periode. Pada tahun 2003 melanjutkan studi S3 di UNJ mengambil program studi Manajemen Pendidikan.

Pekerjaan lain yang digeluti Sarkadi disamping kiprahnya sebagai dosen UNJ, Sarkadi pernah menjadi konsultan di Kemdikbud, Subdit Penghargaan dan Perlindungan Guru selama 2 tahun (2007-2009), pernah juga menjadi narasumber nasional kurikulum 2013 (2014-2016), punya pengalaman sebagai tim pengembang Lomba Budaya Mutu Sekolah Dasar di Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Kemdikbud (2014-sekarang). 

Pekerjaan itulah yang menyebabkan Sarkadi menginjakkan kakinya ke seluruh provinsi yang ada di Indonesia, bahkan sempat menjadi salah satu narasumber nasional kurikulum 2013  yang terpilih memberikan pelatihan di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) tepatnya di negara Myanmar pada tahun 2014.

Lebih dari 30 tahun menjalani karir sebagai dosen, pada  1 Desember 2020 melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 120368/MPK/KP/2020, Sarkadi ditetapkan menjadi Guru Besar/Profesor dalam bidang Ilmu Manajemen Pembelajaran PPKn. 

Raihan gelar Guru Besar/Profesor ini menjadi bukti bahwa walaupun Sarkadi berasal dari Keluarga Petani, namun dengan kerja keras dan komitmen atas profesi yang dijalaninya, cita–cita menjadi Guru Besar/Profesor pasti bisa diraih.

Sarkadi percaya bahwa kerja keras akan menghasilkan sesuatu yang berharga yang dicita-citakannya. Bagi Sarkadi jabatan atau kedudukan adalah amanah yang harus dijalankan dalam hidupnya, dan jabatan akademik tertinggi sebagai profesor adalah jabatan yang juga harus disyukuri. 

Sarkadi berkomitmen untuk terus bisa membahagiakan orang tuanya, keluarga, saudara dan orang-orang yang membutuhkannya. “Insyaallah itu sudah menjadi komitmen hidup Saya untuk selalu berbagi dengan orang-orang disekitarnya yang membutuhkannya”, ungkap Sarkadi. 

Kisah Sarkadi, menjadi inspirasi bahwa seorang anak petani pun bisa menjadi Guru Besar / Profesor asalkan mau bekerja keras dan komitmen atas profesi sebagai dosen.