Baperan

0
258

Seandainya, dulu Ibu Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto baperan, dan “mutung” ketika dikritik dan diejek tentang proyek pembuatan Taman Mini Indonesia Indah, kita tidak akan melihat TMII sebagai tempat wisata edukasi. Kalau Jokowi baperan dicaci pembuatan jalan tol dan MRT, mungkin kita sekarang tidak dapat menikmati jalan tol dan MRT. Adalagi kalau pemimpin Uni Emirat Arab baperan dan menyerah untuk hidup di atas gurun seperti nenek moyangnya, kita tidak akan menikmati “kehebatan” kota Dubai dengan berbagai fasilitasnya yang modern.

Masih banyak lagi cerita orang yang tahan baper, kemudian menjadi “tokoh” penemu, penggagas, dan kaya raya. Demikian pula Bang Udin Kombo kalau tidak nekad dan terlalu mendengarkan kritikan dan cacian orang lain, mungkin Bang Udin tetap sebagai penjual buah pikulan berkeliling Jakarta. Kita tidak akan dapat menikmati rumah makan Pucung Gabus H. Udin Kombo yang tersebar di 7 lokasi.

Kalau kita telusuri nasib penyinyir, kritisi atau apapun namanya yang “menghambat” kreativitas, nasibnya sekarang tidak jelas dan bahkan malah dan tidak tahu malu ikut menikmati keberhasilan dari hasil kerja orang yang dinyinyiri.

Katanya kritik itu penting, tetapi para pengkritik cenderung menyerang dengan sikap membangun permusuhan. Sering terlihat dan terasa menyebalkan. Namun si kritikus juga dapat bermanfaat, agar penggagas ide baru tidak serampangan, sebagai pengontrol gratisan.

Namun di zaman sekarang ada juga orang yang berprofesi sebagai kritikus dan penyinyir, dan telah menjadi profesi, mencari nafkah dari “keganasannya” mengkritik.

Alhamdulillah, pagi ini, saya dapat menikmati “kendablekan” dan kegigihan Bang H.Udin. Sehingga sekarang saya dapat menikmati “mantapnya” nasi putih, lalap pete, bakwan udang, pecak lele, semur jengkol dan sayur asem… khas Betawi, hasil dari ketekunan kerja H.Udin berpuluh-puluh tahun.

wuuussshh…wuussssh..wusssh!!

Babat habis …cooy..

Selamat makan Indonesia.

BSA/26/7/20