Di zaman tahun 70an, kursus “kesaktian” mencari kerja banyak dibuka. Ada 3 ketrampilan yang dicari sebagai kesaktian, yaitu mengetik, tata buku/akuntansi dan bahasa Inggris. Lulusan SMA dengan tambahan 3 bekal tersebut, rasanya lapangan kerja terbuka lebar. Meskipun sangat dicari di dunia kerja, namun sekloah tidak pernah “serius” dalam meningkatkan performa siswa dalam 3 hal tersebut. Sekolah asyik dengan dirinya sendiri.
Seiring teknologi berjalan kursus mengetik lenyap seiring “keusangan” mesin ketik, demikian pula kursus akuntansi. Hanya kursus bahasa Inggris yang tersisa. Dari pengamatan subyektif saya terhadap pengalaman saya dan anak-anak saya, sepertinya tetap saja sekolah “kurang serius”, mengajarkan pelajaran bahasa Inggris yang mendorong kompetensi siswa dapat “ngomong” dalam bahasa Inggris. Siswa SLTA yang piawai berbahasa Inggris, biasanya hasil dari luar sekolahnya, melalui kursus-kursus. Sepertinya sekolah asyik dengan dirinya sendiri.
Anak sekolah meskipun sudah ada standar kelulusan dari sekolah sesuai standar, tetap saja harus “jajan” keterampilan di lembaga kursus.
Di era 80-an ketika komputer banyak dipergunakan di dunia kerja, maka berbondong-bondong kursus komputer, dan sekali lagi sekolah “terlambat” menyiapkannya.
Di zaman medsos, google dan YouTube, siswa dapat “pinter” urusan komputer secara otodidak, meskipun tanpa ada sertifikat. Kursus komputerpun lenyap, karena tidak laku.
Di masa mendatang katanya dibutuhkan power skills, di mana terdiri dari 3 skills, yaitu, soft skills, thinking skills dan digital skills, itu yang saya kutip dari Forbes.com bulan Januari 2020 yang lalu. Terus apa yang telah disiapkan?
Terus sekolah harus ngapain ya? Apakah akan melakukan hal yang sama seperti dahulu?
Biarlah orang yang dibayar yang memikirkannya. Kenapa saya yang harus ikut mikir ya?
Saya selalu mendendangkan lagu berbahasa Italia, baitnya berbunyi:
Che sara, Che sara
Rimane la speranza
Apapun yang terjadi
Harapan tetap ada.
Semangat hari Senin.
BSA/27/7/20