EDURANEWS, JAKARTA: Dalam sambutannya Prof. Henry Eryanto guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus dewan pakar Asosiasi Sarjana dan Praktisi Administrasi Perkantoran Indonesia (ASPAPI) mengatakan bahwa pengelolaan dokumen yang terdigitalisasi bukan lagi opsi, melainkan tulang punggung kinerja administrasi modern.
“Di era sertifikasi dan audit yang serba cepat, dokumen tidak boleh lagi “dihafal” di kepala satu orang staf. Harus ada sistem yang bisa diakses, dipahami, dan dijalankan bersama,” ungkap Prof. Henry. Hal ini dirinya ungkapkan saat kegiatan pelatihan pengelolaan dokumen digital kepada para guru dan dosen anggota ASPAPI DKI Jakarta secara daring pada 12 September 2025.
Prof. Henry juga mengungkapkan bahwa kegiatan ini diposisikan sebagai upaya memperkuat ekosistem Pendidikan vokasi bidang administrasi perkantoran. Melalui payung organisasi profesi seperti ASPAPI ini dirinya berpesan agar dapat menjadi wadah untuk peningkatan komptensi dan sertifikasi keahlianbidang administrasi perkantoran di Indonesia. “Pelatihan pengelolaan dokumen digital ini menjadi mata rantai penting antara kebijakan, proses belajar, dan tuntutan industri yang semakin terdigitalisasi,” ungkapnya.
Pada kesempatan itu Prof. Henry berharap bersama ASPAPI kegiatan ini dapat diperluas jangkauannya ke banyak daerah dan satuan Pendidikan sekaligus membuka peluang integrasi teknologi yang lebih maju—mulai dari pemanfaatan cloud storage institusional hingga kemungkinan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk membantu klasifikasi dan penelusuran dokumen secara otomatis.
“Inovasi dalam pengelolaan dokumen digital seperti ini bukan hanya soal mengikuti tren teknologi, yang jauh lebih penting adalah memastikan bahwa guru dan dosen memiliki keterampilan administratif yang relevan, terukur, dan siap dipraktikkan di kelas maupun di dunia kerja, sehingga administrasi perkantoran Indonesia tidak tertinggal di tengah percepatan transformasi digital.” Tutup Prof. Henry.
Selain itu menurut Dr. Marsofiyat, M.Pd selaku dosen UNJ sekaligus Ketua ASPAPI DKI Jakarta mengatakan pelatihan ini juga dikemas dalam program pengabdian kepada Masyarakat. Para peserta berasal dari kalangan guru SMK dan dosen anggota ASPAPI DKI Jakarta.
Dr. Marsofiyati , M.Pd. juga mengungkapkan bahwa dalam kegiatan ini para peserta juga di ajak berefleksi dan melihat Kembali cara mereka melakukan pendokumentasian dan juga pendistribusian dokumen di lingkungan kerja masing-masing peserta. “Melalui pelatihan ini para peserta tidak sekedar memahami distribusi berdasarkan pindah map kertas atau pindah folder computer semata, melainkan memahami system pengelolaan dokumen digital yang terstruktur, mudah ditelusuri, dan aman untuk jangka Panjang,” katanya.
Pada kesempatan itu Anggriawan Oktobisono, M. M. selaku Sekretaris ASPAPI DKI Jakarta mengatakan pelatihan ini juga dirancang untuk menjawab kebutuhan nyata di lapangan bidang administrasi perkantoran. Dirinya menambahkan bahwa meski sudah banyak satuan Pendidikan yang menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan tetapi Sebagian besar belum memiliki system pengelolaan arsip dan dokumen yang jelas.
“kenyataan ini juga dapat menjadi beban pekerjaan mulai dari surat menyurat, berkas akademik, dokumen ujian, hingga berkas kerja sama, sering kali tercecer di berbagai perangkat tanpa standar penamaan dan penyimpanan yang baku,” katanya.
Dirinya mengajak para peserta untuk memahami model pengelolaan administrasi yang tidak saja rapi tetapi mudah dipahami dan ditelusuri dalam jangka Panjang dengan pemanfaatan teknologi digital saat ini dan rancangan aplikasi modern yang mewadahi kemudahan dalam kerja administrasi.
Pada kesempatan itu para narasumber juga turut memandu peserta memahami konsep dasar manajemen dokumen digital, lalu beranjak pada praktik. Selain itu peserta dikenalkan pada alur kerja pengelolaan dokumen mulai dari penerimaan, klasifikasi, penamaan, penyimpanan, pencarian, hingga membackup”, dengan menekankan pentingnya konsistensi dan standar prosedur.
Pada kesempatan ini Dr. Marsofiyati, M.Pd. juga mengenalkan salah satu contoh pemanfaatan aplikasi pengelolaan arsip berbasis digital seperti DIVE APPS yang sebelumnya telah diuji sebagai alternatif sistem manajemen arsip bagi guru anggota ASPAPI.
Pada sesi praktik, guru dan dosen diminta mensimulasikan pengelolaan dokumen sehari-hari dari mulai membuat struktur folder yang logis, menyusun kode klasifikasi, menentukan format penamaan file, hingga mensimulasikan proses penelusuran kembali dokumen yang sudah diarsipkan.
Marsofiyati berharap pendekatan ini dapat membuat peserta tidak hanya memahami teori, tetapi juga merasakan langsung bagaimana sistem yang baik dapat menghemat waktu dan mengurangi risiko dokumen terselip atau hilang.
“Kalau guru dan dosennya terbiasa menggunakan sistem pengelolaan dokumen yang tertib dan modern, kebiasaan itu akan menular ke siswa. Inilah yang nantinya menjadi bekal nyata ketika mereka masuk ke dunia kerja,” paparnya.


Buku tersebut berjudul Cerita Kearifan Lokal Budaya Betawi yang terdiri dari lima judul itu (Penganten Sunat, Ondel-ondel, Nyorog, Ruwahan, dan Palang Pintu). etiap cerita di dalam buku ini mengangkat nilai-nilai kearifan lokal melalui narasi yang sederhana namun sarat makna, diperkaya dengan ilustrasi warna-warni yang menarik minat anak-anak. Melalui kisah Penganten Sunat, misalnya, anak-anak diajak memahami salah satu tradisi penting dalam siklus hidup masyarakat Betawi.
Dalam sambutannya, Dr. Linda Zakiah, S.Pd., M.Pd., Ketua Tim Pengabdian Masyarakat UNJ, menegaskan bahwa buku Kearifan Lokal Budaya Betawi sengaja dikemas dengan cara yang menarik dan mudah dicerna anak-anak. “Buku ini kami susun dengan pendekatan bercerita yang dilengkapi ilustrasi bergambar, sehingga sangat cocok untuk anak-anak. Kami ingin anak-anak merasa dekat dan betah membaca buku tentang budaya mereka sendiri,” ungkap Linda.
Yudy juga optimistis, kehadiran buku ini akan memberi dampak positif bagi anak-anak binaan di Rumah Baca Zhaffa. “Semoga buku ini mampu membangkitkan semangat belajar dan cinta budaya di kalangan peserta didik kami. Kami percaya, buku yang baik akan memberi pengaruh baik juga bagi generasi muda,” pungkasnya.
Kegiatan sosialisasi ini bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran mitra agar dapat berpartisipasi aktif dalam mendukung keberhasilan program PKM yang tengah dilaksanakan. Adapun tujuan utama dari program ini meliputi: (1) Peningkatan keterampilan mitra dalam manajemen pembelajaran inovatif berbasis digital; (2) Menumbuhkan awareness anak-anak anggota Rumah Baca Zhaffa terhadap budaya Betawi sebagai bagian dari identitas lokal; (3) Meningkatkan kapasitas mitra dalam mengembangkan konten budaya Betawi melalui pemanfaatan media digital dan fasilitas pendukung yang tersedia; (4) Mendorong kemampuan mitra dalam manajemen literasi digital yang terintegrasi dengan kearifan lokal Betawi.
Sesi sosialisasi juga dilengkapi dengan diskusi interaktif, pemetaan kebutuhan mitra, serta penjelasan rencana tindak lanjut program selama masa pendampingan. Respons positif ditunjukkan oleh seluruh peserta, baik dari pengelola maupun anak-anak, yang antusias mengikuti sesi hingga akhir. Dengan terselenggaranya kegiatan ini, diharapkan terjadi sinergi antara tim pengabdian dan mitra Rumah Baca Zhaffa dalam mewujudkan transformasi literasi berbasis teknologi dan budaya lokal, khususnya dalam penguatan identitas budaya Betawi di kalangan generasi muda.
Ketua Rumah Baca Zhaffa Yudy Hartanto merasakan manfaat dari program pengabdian ini. Anak-anak menyukai buku Cerita Kearifan Lokal Budaya Betawi yang terdiri dari lima judul itu (Penganten Sunat, Ondel-ondel, Nyorog, Ruwahan, dan Palang Pintu). “Mereka suka dengan kemasan buku cerita bergambar yang interaktif,” tuturnya.













Festival ini berlangsung pada Minggu, 11 Mei 2025, dari pukul 07.30 hingga 21.30 WIB, bertempat di GOR & Teater Bulungan – Gelanggang Remaja Jakarta Selatan. Tempat ini menjadi saksi bagaimana ratusan penari dan pegiat seni memeriahkan acara tanpa simbol-simbol kehadiran institusi negara, baik dalam bentuk dukungan logistik, pengakuan resmi, maupun kehadiran perwakilan kebudayaan nasional. Padahal, Indonesia memiliki kementerian, direktorat, lembaga kebudayaan, hingga anggaran yang secara khusus dialokasikan untuk sektor seni dan budaya.
Fenomena ini menunjukkan gejala yang dalam istilah sosiolog Antonio Gramsci disebut sebagai hegemoni kultural: dominasi representasi oleh kelompok tertentu melalui konsensus sosial, bukan lewat struktur paksaan formal. Dalam hal ini, komunitas seni berhasil merebut ruang itu karena negara, secara perlahan dan diam-diam, menarik diri dari peran aktifnya.
Sebagaimana pernah manjadi bahan diskusi di antara para kritikus tari semisal Sal Murgiyanto, Edy Seyawati dan sebagainya, kondisi ini membuat para tokoh Kritik tari bermigrasi ke tulisan-tulisan media masa.





