SINOPSIS
Di tengah dunia yang kian terhubung tanpa batas, pendidikan tinggi tidak lagi berdiri sebagai institusi lokal dengan mandat semata-mata nasional. Universitas kini berada dalam pusaran globalisasi ilmu pengetahuan, mobilitas akademik, kompetisi reputasi, serta pertarungan ide dan inovasi lintas negara. Namun, ke mana sebenarnya arah internasionalisasi pendidikan tinggi Indonesia? Apakah ia sungguh menjadi jalan transformasi akademik, atau justru terjebak sebagai sekadar proyek pencitraan dan komodifikasi? Buku Internasionalisasi: “Quo Vadis?” hadir sebagai refleksi kritis, analitis, sekaligus strategis atas pertanyaan besar tersebut.
Dirangkai dengan gaya reflektif dan argumentatif, buku ini mengajak pembaca meluruskan berbagai salah kaprah tentang internasionalisasi yang kerap disederhanakan sebagai “kampus internasional”, “gelar global”, atau sekadar perburuan peringkat dunia. Penulis menegaskan bahwa internasionalisasi bukanlah proses westernisasi, bukan pula dagang gengsi akademik, melainkan sebuah transformasi mendasar tentang cara universitas menempatkan diri dalam ekosistem pengetahuan global—tanpa kehilangan akar lokal, identitas, dan tanggung jawab sosialnya.
Melalui sembilan bab yang sistematis, buku ini menelusuri peta besar internasionalisasi pendidikan tinggi: mulai dari krisis relevansi universitas lokal di tengah kompetisi global, evolusi konsep internasionalisasi, jejak sejarah mobilitas akademik dunia, hingga pengaruh era digital dan dominasi global ranking terhadap strategi perguruan tinggi. Pembaca diajak memahami bagaimana pemikiran para tokoh utama dunia—Philip G. Altbach, Jane Knight, Simon Marginson, hingga Hans de Wit—membentuk kerangka konseptual internasionalisasi modern, sekaligus membuka tabir ketimpangan epistemik antara “pusat” dan “pinggiran” ilmu pengetahuan global.
Buku ini tidak berhenti pada tataran teori. Ia menyajikan pembacaan strategis atas model dan pendekatan internasionalisasi—mulai dari model top-down, bottom-up, hingga pendekatan hibrida—serta mengilustrasikannya melalui praktik di Asia Timur, ASEAN, Singapura, Malaysia, Thailand, hingga Indonesia. Kebangkitan universitas-universitas besar di Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok dianalisis sebagai bukti bahwa internasionalisasi dapat menjadi jalan kedaulatan akademik, bukan sekadar ketergantungan global. Di sisi lain, berbagai risiko internasionalisasi juga disajikan secara jujur: mulai dari ketimpangan akses, komersialisasi pendidikan, migrasi akademik, erosi identitas, hingga dampak tidak diinginkan bagi mahasiswa.
Dengan bahasa yang reflektif namun berbasis data, buku ini menyuguhkan internasionalisasi sebagai arena peradaban, bukan sekadar proyek kebijakan. Universitas diposisikan bukan hanya sebagai institusi pengajar, melainkan sebagai bandara pengetahuan—tempat ide-ide mendarat dan lepas landas, tempat kolaborasi terbangun, serta ruang di mana masa depan bangsa ikut dirancang.
Internasionalisasi: “Quo Vadis?” adalah bacaan penting bagi pimpinan perguruan tinggi, dosen, perencana pendidikan, mahasiswa, pengambil kebijakan, dan siapa pun yang peduli pada masa depan pendidikan tinggi Indonesia. Buku ini mengingatkan kita bahwa internasionalisasi sejati bukan tentang menjadi “seperti Barat”, melainkan tentang membuat dunia merasa perlu belajar dari Indonesia. Sebuah karya reflektif yang menempatkan internasionalisasi sebagai jalan menuju kedewasaan akademik, kemandirian intelektual, dan keadilan pengetahuan global.

